𝑜𝒻𝓁:𝑒𝓂𝓅𝒶𝓉

35 7 8
                                    

Menikmati pemandangan pantai di  malam dari jendela kamar yang tidak terhalang gorden adalah aktivitas pertama yang Farren lakukan. Ia menarik sudut bibirnya ketika memandang deru ombak yang menghantam pesisir, sangat damai. Terkadang ia ingin seperti ombak, indah, tenang, dan damai. Seperti tidak memiliki beban hidup yang terkadang membuatnya tertekan, ia benci itu.

Senyumnya memudar dan digantikan dengan kerutan di kedua alisnya  ketika melihat sekelebat bayangan perempuan sedang berjalan ke arah laut, sendirian. Ia masih terdiam, memerhatikan perempuan itu.

Farren segera melangkahkan kakinya keluar villa ketika melihat perempuan itu terus berjalan menjauh dari bibir pantai, sungguh gila pikirnya. Mengapa perempuan itu memilih untuk mengakhiri hidupnya di pantai sebagus ini? Mematikan pariwisata saja!

Farren menghentikan langkahnya ketika ia tidak melihat lagi bayangan itu, pandangannya menatap sekeliling, mencari keberadaannya. Tapi nihil, Ia tidak bisa menemukannya.

"Kamu mencari aku ya?"

Farren tersentak ketika mendengar pertanyaan itu, lalu membalikkan tubuhnya menghadap lautan luas dan melihat perempuan itu sedang berdiri di atas air dan menatapnya. 

Tunggu, di atas air? Apakah Ia tidak salah liat?

Melihat raut kebingungan Farren, membuat perempuan itu menarik seringai tipisnya.

"Ayo, sini dong! Temenin aku"

Farren masih terdiam membisu, pikirannya masih mencerna ucapan perempuan itu secara cuma-cuma, ditambah lagi seluruh rentetan kejadian malam ini, sungguh diluar nalar. Seruan ombak damai yang menerpa kedua kakinya semakin membuat Farren tidak bisa berpikir jernih, seakan semuanya meluap begitu saja. Ia tidak tahu harus melakukan apa sekarang.

"Farren, tolong aku..."

Perhatiannya Farren teralihkan ketika mendengar seruan pertolongan dari perempuan itu. Raut wajah paniknya tak bisa Ia sembunyikan lagi.  Ia melihat perempuan itu mulai termakan ombak. Farren bingung, tak tahu harus melakukan apa, jika Ia terus berjalan dan menyelamatkan perempuan itu, kemungkinan besar Ia juga akan termakan oleh ombak ganas dan tidak akan selamat. 

Farren tidak mengerti dengan tubuhnya yang tiba-tiba melangkah mendekati perempuan tersebut, berjalan perlahan semakin menjauh dan meninggalkan bibir pantai yang mulai menghilang dari penglihatannya. Ia merasa air laut sudah menerpa separuh tubuhnya. Ketika ia ingin menapakkan kaki lebih jauh, ia merasa sebuah tangan yang melingkar di tubuhnya dan  menariknya kembali ke bibir pantai.

Bulu kuduknya berdiri ketika mendengar sebuah bisikan di sampingnya,

"Kamu jangan ke sana, itu berbahaya"

Setelah mendengar bisikan itu, Farren berbalik dan menatap seseorang yang telah menariknya.

"Lo apa-apaan sih?!"

Alis sang empu mengerut, Ia heran mengapa gadis ini sangat marah terhadapnya? Ia baru saja menyelamatkan gadis itu!

"Kamu mau mengakhiri diri sendiri di pantai sebagus ini? Mematikan pariwisata saja"

Farren mendelik, menatap tak percaya. Apa-apaan dia?! Bisa-bisanya Ia menyebut Farren mau mengakhiri dirinya sendiri. Farren memejamkan matanya, meredakan emosi yang sebentar lagi akan meledak. Mengingat kejadian malam ini, membuat kepalanya pusing seketika.

Farren membuka kedua matanya yang langsung bertatapan dengan mata hitam legam itu. Ia menatap nyalang, kebencian terpancar dari kedua sorot matanya, sangat kontras dengan sang empu yang juga menatapnya. Tenang dan meneduhkan. Farren benci tatapan itu.

"Lo galiat kalo gua mau nyelamatin cewe yang tenggelam di sana?" ucap Farren sambil menunjuk lautan luas dibelakangnya.

Laki-laki itu menatap arah tunjuk Farren, kemudian menatapnya kembali.

"Mau berapa kali kamu mencoba berbohong sama saya?"

Farren berdecak, "Gua serius"

"Sepertinya kamu membutuhkan alat bantu penglihatan. Penglihatanmu sangat buruk"

Farren mendengus pelan, membalikkan kembali tubuhnya menghadap lautan luas. Ia ingin membuktikan bahwa Ia tidak salah lihat! Laki-laki itu, benar-benar mencari masalah dengannya.

Farren terdiam, Ia tak mampu berkata apa-apa. Ia menggosok kedua matanya, memastikan jikalau Ia melewatkan sesuatu. Tetap sama, Ia tidak melihat siapapun.

"Sudah kubilang jangan menggosok kedua matamu"

Mendengar bisikan itu, Farren mendengus kesal. Ia jengkel dengan laki-laki ini, bisakah Ia tidak bertemu dengannya lagi? Farren menjatuhkan tatapan ke arah bawah, lalu kedua bola matanya membulat seketika.

Bugh...

Ia berbalik lalu melayangkan sebuah pukulan ke arah laki-laki itu dan membuatnya seketika tersungkur. Kedua matanya berkilat marah, kali ini Farren benar-benar tidak bisa menahan amarahnya. Sekarang Farren merasa beruntung karena bisa menyelesaikan latihan beladirinya, bisa digunakan dalam keadaan seperti ini.

Laki-laki itu menatap Farren, sedikit meringis akibat pukulan Farren terhadapnya. Ia menatap kedua netra berwarna cokelat terang itu, kebencian besar terpancar di sana.

"Kamu itu kenapa sih?!"

Farren menatap tajam laki-laki itu, tidak mengerti dengan jalan pikirannya.

"Lo ga punya kaca ya di rumah, makanya ga bisa ngaca lo habis ngapain?"

Laki-laki itu terdiam, tidak membalas apapun.

Farren melangkahkan kakinya menjauh dari bibir pantai, baru beberapa langkah Ia merasa tangannya ditarik seseorang hingga membuatnya tersungkur. Farren terjatuh dipangkuan laki-laki itu. Farren menatap laki-laki itu tajam, berusaha mengintimidasinya, mendesaknya untuk  mengakhiri dan melupakan seluruh kejadian malam ini, sungguh Farren sangat lelah. Farren mendengus sebal ketika tidak mendapat respon apapun.

Sadar akan posisinya, Farren berdiri dan hendak melanjutkan langkahnya. Tapi semua itu sia-sia ketika ia masih merasa ada yang memegang lengannya erat.

"Kamu tidak ada niat untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu ini?"

𝓸𝓷𝓮 𝓯𝓻𝓸𝓶 𝓵𝓪𝓼𝓽Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang