𝑜𝒻𝓁:𝒹𝓊𝒶

42 6 2
                                    

"Farren..."

"Farren..."

"Farren..."

Panggilan-panggilan itu sukses membuyarkan pikiran Farren. Membuatnya yang sedang merevisi novel perdananya itu menjadi tidak fokus. Ia menelungkupkan wajahnya, lalu menghela napas pelan, berharap suara-suara itu segera menghilang.

Farren terbangun ketika merasakan tepukan pelan di pundaknya. Ia menghadap belakang, menatap empu yang melayangkan tepukan itu, lalu memutar bola matanya.

"Kenapa Kak?"

Resya tersenyum, "Jangan tidur, rapat akan dimulai sebentar lagi," ujarnya.

Farren mengangguk lemas, "Iya, aku ngga lupa."

Resya menepuk pucuk kepala Farren pelan, lalu menyodorkan sebungkus plastik kepada Farren.

"Jangan lupa dimakan," ujar Resya sambil melangkahkan kakinya ke luar ruangan.

Farren tersenyum tipis, ketika melihat seniornya yang sangat baik kepadanya, hingga menganggapnya seperti adik kandungnya sendiri.

Farren menatap kantong plastik itu, membukanya, lalu mengambil makanan yang terbungkus di sana. Ia makan sambil memfokuskan pandangannya ke arah komputer yang ada di hadapannya. Membaca dengan teliti rentetan huruf yang terdakang bisa membuat pikirannya menjadi pusing, ditambah lagi banyaknya radiasi yang di keluarkan komputer itu, membuatnya harus menggunakan kacamatanya.

"Farren, Dengerin aku mau ngomong!"

Farren tersentak ketika mendengar teriakan melengking dari sampingnya, sontak ia melemparkan pandangannya sepenuhnya menghadap ke arah sosok itu. Gadis yang sedang merajuk kepadanya.

Farren menaikan sebelah alisnya, membiarkan sosok itu melanjutkan ucapannya.

"Dia kembali Farren, Dia berbahaya"

Farren mengernyit, Ia bingung.

"Dia kembali Farren, Dia ingin merebut apa yang kamu punya!" jawabnya seolah-olah Ia bisa menebak apa yang Farren tanyakan.

Farren masih terdiam, Ia sangat bingung dengan apa yang gadis ini ucapkan terhadapnya.

"Gini ya, jujur gua gak tahu apa yang lo omongin. Sosok 'Dia' yang lo sebut juga gua gak tahu," jeda Farren.

Farren melirik arlojinya, lalu menghela napas pasrah.

"Mendingan lo balik, gih. Udah sore. Gua ada rapat bentar lagi"

Gadis itu menatap Farren dengan tatapan datar, namun tersirat sebuah kecemasan di sana. Farren bisa melihatnya, sungguh. Mata gadis itu tidak berbohong. Namun yang menjadi pertanyaan Farren, apa yang gadis ini khawatirkan tentangnya?

Farren yang hendak melayangkan sebuah pertanyaan terhenti, ketika mendengar namanya terpanggil. Farren menatap Resya yang sedang berdiri di ambang pintu, memberi kode bahwa rapat akan segera dimulai.

Farren mengangguk pelan, memberi kode bahwa ia akan segara menyusul. Di jawab anggukan oleh Resya serta terdengar suara langkah kaki berjalan menjauh. Menandakan Resya sudah berjalan terlebih dahulu ke ruang rapat.

Farren hendak menatap kembali gadis yang ada di hadapannya, dan segera menyusul ke ruang rapat. Namun ketika ia mengalihkan tatapannya, gadis itu sudah menghilang. Farren menyapu pandangannya ke penjuru ruangan, namun Ia tak menemukan siapapun. Ruangan itu kosong.

Farren mendengus pelan, apakah gadis itu tidak mengetahui etika ketika mengunjungi seseorang?

***

"Baik, saya akhiri rapat hari ini. Semoga liburan kalian menyenangkan," ucap Hoshi dengan sebuah senyuman yang terpancar dari wajahnya. Menatap satu persatu karyawannya yang sudah Ia anggap seperti saudara sendiri kemudian beranjak keluar.

"Farren!" panggil Hoshi sebelum dirinya benar-benar meninggalkan ruangan tersebut.

Yang dipanggil pun mengalihkan pandangannya, lalu menatap atasannya itu dengan alis yang mengkerut.

"Ada apa, Pak?"

"Saya tunggu di ruangan saya, ada sesuatu yang ingin saya bicarakan sama kamu," jawabnya sambil meninggalkan ruangan itu.

"Libur kamu mau di potong tuh!" sahut Resya tiba-tiba.

Farren mendelik, kemudian berdecak pelan. "Itu mah liburnya Kakak aja. Aku gausa di bawa-bawa"

Resya memutar bola matanya malas, kemudian sebuah senyum jahil tercetak di bibirnya.

"Ren, biasanya Pak Hoshi ga pernah manggil karyawannya sampe masuk ruangannya loh," Jeda Resya.

"Kayaknya kamu beneran di potong liburnya atau bahkan potong gaji Ren?" lanjutnya sambil terkekeh pelan.

Farren mendengus kemudian menghela napas pasrah, Ia bangkit lalu berjalan mengekori atasannya itu. Menepis semua ucapan Resya yang tidak masuk akal dan berhasil menghantui pikirannya.

Farren berhenti di depan ruangan atasannya dan menghembuskan napas untuk kesekian kalinya. Tiba-tiba saja ia merasakan atmosfer yang sedikit tidak mengenakan. Seperti mencekam dan terintimidasi. Atmosfer yang sedikit berbeda dari biasanya, seingatnya atasannya tidak pernah memunculkan atmosfer semacam ini. Sedikit aneh.

Farren mengetuk pelan pintu, lalu masuk ke dalam ruangan. Ia menatap atasannya yang mempersilahakan ia untuk duduk di sampingnya, kemudian mendudukan dirinya. Farren mengalihkan pandangan pada seorang pria di samping atasannya itu. Ia mengernyit, Siapa dia?

Hoshi berdeham, "Farren, ini teman saya, Sigra"

Farren menatap pria yang bernama Sigra itu, tanpa mendapat balasan. Bisa Ia lihat pria itu sedang fokus dengan lembaran-lembaran kertas yang ada di pangkuannya.

Hoshi yang melihat tingkah temannya itu, berdecak pelan. Menyikut Sigra agar pria itu menghargai Farren yang sedang ia kenalkan padanya. Sigra mendengus pelan, segera mengalihkan pandangannya ke arah Farren yang tidak memutus kontak matanya sejak tadi.

Farren sedikit terkejut ketika Sigra balas menatapnya. Mata hitam legam itu, seolah menyimpan sejuta misteri yang ia tak tahu apa. Tapi entah mengapa, mampu menghipnotis setiap mata yang memandang. Misterius dan berbahaya.

"Sigra," balasnya kemudian.

"Farren"

Hoshi tersenyum kecil, hendak menyampaikan alasan mengapa Ia memanggil Farren ke ruangannya.

"Farren, saya memanggil kamu ke sini bukan membahas tentang pemotongan libur bahkan gaji," Jeda Hoshi.

Farren terdiam, menyembunyikan keterkejutannya.

"Tapi saya mau membahas tentang salah satu karya kamu yang akan di film-kan"

"Teman saya, Sigra. Ia adalah salah satu sutradara film dengan karyanya yang terkenal dan Ia tertarik untuk memfilmkan salah satu karya kamu, apakah kamu berminat?"

Farren terdiam. Ia tak tahu harus membalas apa. Jujur ini sangat tiba-tiba dan mengejutkan. Sigra yang melihat Farren terdiam menyeruakan pendapatnya,

"Jangan khawatir. Urusan naskah dan skenario, saya serahkan padamu"

Farren masih terdiam, membiarkan Sigra melanjutkan ucapannya.

"Saya paham. Saya tidak akan membuat alur cerita yang berbeda dengan yang ada di buku. Maka dari itu saya serahkan naskah dan skenarionya kepada kamu"

"Bagaimana, apakah kamu terima penawarannya?"

Farren menatap Sigra lamat-lamat. Mencari kebohongan di sana, sebenarnya ia bukan orang yang langsung percaya kepada orang baru. Kalau bisa ia tidak ingin dikaitkan dengan orang lain. Semenjak kejadian itu, merubahnya menjadi sosok yang sedikit tidak peduli dan tak bisa tersentuh sama sekali.

"Baiklah"

𝓸𝓷𝓮 𝓯𝓻𝓸𝓶 𝓵𝓪𝓼𝓽Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang