2. Benar saja?

31 7 4
                                    

"Assalamualaikum." Kataku ketika memasuki kosan. Ya, aku anak kos anak kuliahan di salah satu universitas negeri di Semarang. Tidak ada yang favorit memang, tapi aku cukup bangga bisa kuliah disana.

Riska melongok dari balik pintu kamar. Dia teman sekamarku, "Gimana?"

Aku mengangkat alisku, mengabaikan dia yang mulai kesal dan masuk kembali ke dalam kamar.

"Salamnya dijawab dulu Ris."

Dia hanya diam,masih kesal mungkin. Aku tidak terlalu peduli. Nanti juga baik sendiri. Meletakkan tubuhku lebih penting saat ini.

"Baru tahu aku kalau kasur senyaman ini."

"Kemarin jadinya muncak dimana?" Suara Riska setelah beberapa menit. Kan dia baik sendiri, dia emang begitu.

Mataku tetap terpejam, capek juga ternyata tapi kalau ditanya nyesel? Jawabannya enggak!, "Sesuai rencana Sindoro. Yang nggak sesuai, Andra ngajakin pacaran."

"Kamu gimana?"

"Engggg, nggak tahu."

Aku mengela nafas, "Cinta itu gimana sih Ris? Yang seperti apa? Delapan belas tahun, aku nggak pernah percaya dengan cinta karena orang yang bilang pun tidak bisa mendefinisikannya dan buat aku takut."

"Kecuali sama satu orang. Orang yang bahkan mampu menghilangkan ragu dan takutku." Lanjutku dalam hati.

Riska diam, aku bangkit duduk disampingnya. Memandanginya, dia yang selalu tahu kisah cintaku dua semester ini. Dia yang selalu tahu siapa yang mencoba mendekatiku dan berakhir sia-sia. Sama, karena aku takut dan nggak percaya sama analogi cintanya.

"Mungkin, ketika kamu ngerasa ada something gitu? Aku juga nggak tahu sih, kamu pengen dengar jawaban yang seperti apa. Kalau aku bilang, yang bisa bikin nyaman ntar kamu jawab kasur dong, temen, sahabat juga butuh rasa nyaman. Kalau yang bisa buat deg-degan ntar kamu jawab waktu presentasi aku deg-degan, berati aku cinta sama presentasi gitu? Terus kalau aku jawab--"

"Udah-udah aku udah tahu apa yang bakal kamu bilang." Selaku terkekeh.

"Kamu itu nggak harus perlu mendefinisikan apa yang kamu rasa Ntik. Cukup rasain nikmatin gitu aja. Kalau seneng ya seneng aja. Kalau cinta ya cinta aja. Nggak perlu pake segala tanya cinta itu gimana sih?"

"Kalau nggak tahu definisinya seperti apa, kenapa bisa bilang kalau itu cinta? Okey kalau seneng, aku tahu itu rasa dimana seseorang merasa puas, lega akan sesuatu yang dimiliki tanpa ada rasa kecewa. Kalau cinta?"

Riska diam. SE LA LU, seperti itu setiap kita beradu argumen tentang cinta. Entah mengalah atau memang tidak tahu tapi Riska selalu berakhir diam.

"Dia bilangnya gimana?" Riska mendekat mengalihkan pembicaraan.

"Ntik kamu itu beneran Antik ya. Nggak heran kalau aku suka kamu."

Aku mengangguk waktu dia tanya, "Dia bilang gitu?"

"Terus kamu gimana?"

"Aku cuma senyum, terus aku bilang sama dia, aku memang Antik karena namaku seperti itu. Kamu lucu deh Ndra, aku tahu kamu suka aku. Kita kan teman nggak mungkin dong kalau kamu benci."

"Terus, kalau aku bilang aku cinta kamu??"

"Aku cukup tanya, cinta yang seperti apa?, Terus dia diam."

"Udah gitu aja? Dia nggak jawab?" Tanya Riska setelah aku terdiam lama.

Aku menonyor kepalanya lalu merebah lagi, "Lola."

"Aku nunggu lanjutannya dodol, eh malah udahan."

"Tapi masa dia diem aja, terus setelah itu kalian gimana?"

"Ya, emang gitu RISKA." Aku menghela napas jengah, "Ya nggak gimana-gimana? Lo maunya kita gimana?"

****

Terkadang kuliah memang menjadi rutinitas yang paling membosankan. Presentasi tanpa penjelasan. Analisis tanpa keseriusan, semua itu hal-hal yang monoton. Terus berulang tak ada pembenahan.

Rasanya melelahkan, meski tidak ada yang serius dan berjalan begitu begitu saja. Aku ingin rehat sebentar, menjauh dari keramaian. Mengasingkan diri, siapa tahu aku bisa menemukan Semesta, dalam bentuk lain mungkin.

"Hai"

Kalian pasti tahu kan? Siapa yang menyapa dan duduk disampingku ini.

Siapa lagi kalau bukan Andra yang sedang melancarkan aksinya. Bukan aku tidak mengerti tapi aku hanya berpura-pura bodoh saja akhir-akhir ini. Biar Andra menikmati perannya. Aku tidak ingin menghancurkan harapannya diminggu pertama.

Cukup tersenyum, itu sudah cukup untuk membalas sapaannya. Dia sesimple itu sebenarnya, tidak banyak aturan, mengalir begitu saja. Hidupnya mudah diikuti, tapi aku tidak tertarik padahal aku suka hal-hal yang berbau ketenangan.

"Suka banget mandangin ikan." Celetuknya mengacaukan hening.

"Lo ngapain disini? Bukannya udah pindah ya? Sejak semester satu berakhir."

"Iya, gue lagi main aja kesini. Ada yang dikangenin soalnya." Dia menyenggol pundakku tersenyum, manis sekali. Khas punya Andra.

"Lo udah tahu kan Ndra?" Tanyaku memandangnya. Akankah keputusanku membiarkannya melangkah salah?.

****

Sepotong bakwan memasuki mulutku lalu tempe mendoan berganti masuk, terus seperti itu berulang-ulang sampai jadi kotoran yang sering aku pandangi saat aku keluarkan. Seperti itu, seperti itu waktu berlalu, berjalan, sedang dilakukan kemudian berakhir jadi kenangan yang tidak bisa diulang. Kaya kotoran kan? Nggak mungkin diproses atau dimakan ulangkan?.

"Pelan-pelan kali Ntik, kalau habis aku beliin lagi." Kata Sangga menyodorkan minum untukku.

Aku mendelik tidak terima, "Ini juga pelan kali Ngga, emang dasar kamunya aja yang kebanyakan deket sama cewek kalem. Liat aku yang bar-bar jadi aneh kan."

"Yang lain mana sih? Lama banget."

"Iya, kamu chat Ngga!" Kataku lagi, masih menikmati mendoan gratisanku.

"Katanya lagi otw."

--OFFSET--

_____

Happy reading readersku ❤️❤️

OFFSET (HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang