Scientist's Request (part 1)

136 17 0
                                    

Hiyoshi membuka koran pagi dan melihat sebuah isi artikel yang tertera di dalamnya. Ishtoria seperti biasa menuangkan secangkir kopi panas untuk kekasihnya tersebut. Setelah menuangkan kopi, Ishtoria biasa mencium pipi Hiyoshi sebelum ia kembali ke dapur untuk sarapan.

"Oh... bra dengan busa yang membuat dadamu terlihat lebih besar," baca Hiyoshi saat ia membaca sebuah iklan.

Ishtoria lewat dan menaruh omelet isi nasi goreng di depan Hiyoshi. Hiyoshi melirik dada Ishtoria yang besar dan terlihat kenyal seperti agar - agar. Kancing piyama yang tidak menutup belahan dadanya memperindah pemandangan di depan mata Hiyoshi tersebut.

"Kalau Ishtoria yang pakai, branya pasti tidak muat," pikir Hiyoshi dengan senyum mesum.

Ishtoria melirik Hiyoshi. Hiyoshi terkejut dan segera membuang pandangannya ke koran. Tidak lupa ia membalik halaman koran itu.

"Hiyoshi?," kata Ishtoria.

"Iya?," kata Hiyoshi biasa saja, walaupun dalam hati berpikir dia berkata, "mampus aku."

"Mau tambah kopinya?"

Hiyoshi menghela nafas lega, namun hanya sekedar di hati. Ia lalu menjawab, "tidak terima kasih. Kau saja yang minum."

"Kau tahu aku tidak suka kopi."

"Bagaimana jika aku membuatkan kopi yang tidak pahit?"

"Memang bisa?"

Hiyoshi berdiri dan berjalan menuju dapur. Ia mengeluarkan bubuk kopi, bubuk vanila, dan gula dari lemari. Ia menyeduh kopi, lalu memasukan bubuk vanila dan gula. Kemudian ia aduk. Setelah itu, ia membawa kopi itu ke Ishtoria.

"Silahkan diminum, sayang," kata Hiyoshi.

Ishtoria menatap cangkir kopi itu. Ia mengangkat cangkir, tapi belum meminumnya. Ia lalu menatap Hiyoshi.

"Apa ini bisa diminum?"

"Tentu saja bisa. Kalau tidak bisa aku tidak akan memberikannya kepadamu," kata Hiyoshi, "kalau kau tidak suka, aku akan tambah uang jajanmu bulan depan."

"Benarkah?," Ishtoria tersenyum.

Hiyoshi mengangguk. Ishtoria menyeruput kopi itu, lalu terdiam beberapa saat. Ishtoria menyukai kopi itu. Ia lalu menghabiskannya dalam seteguk.

"Bagaimana?," tanya Hiyoshi gugup.

"Rasanya tidak enak," kata Ishtoria, "sekarang mana uang jajanku?"

"Ah... kau bohong. Kalau tidak enak, kau tidak akan menghabiskannya."

Ishtoria tertawa kecil, "aku hanya bercanda. Ini sangat enak. Ajari aku agar aku bisa membuatkannya untukmu juga."

"Tidak perlu. Aku tidak minum kopi seperti ini terlalu sering. Terlalu banyak Gula membuatku berpikir terlalu cepat," kata Hiyoshi sambil membuka koran, "tapi ya, aku akan mengajarimu lain waktu."

Ishtoria melirik bacaan Hiyoshi. Ishtoria tidak terlalu menyukai koran walaupun ia gemar membaca. Menurutnya koran terlalu kaku dan serius. Tapi ia kadang membaca komik kecil di bagian hiburan. Tapi ia tidak tahu kapan komik itu muncul, sehingga ia mengintip koran Hiyoshi setiap hari.

"Komiknya muncul setiap hari minggu, Ishtoria," kata Hiyoshi yang mengetahui keinginan Ishtoria.

"Eh, benarkah?"

Tiba - tiba, seseorang mencoba membuka pintu toko. Karena Hiyoshi belum membukanya, pintu itu terkunci. Orang itu melambaikan tangannya kepada Hiyoshi dan memberikan isyarat untuk keluar.

"Aku keluar sebentar, ya," kata Hiyoshi. Ia lalu melirik belahan dada Ishtoria yang walau ia suka intip, tapi tidak suka orang lain mengintipnya, "kancingkan bajumu, Ishtoria."

Hiyoshi keluar dari toko dan menemui orang yang hendak membuka pintu tersebut. Orang itu memakai sebuah kemeja hijau dengan mantel putih kekuningan yang terlihat sedikit kotor. Bau orang itu menyengat seperti belum mandi selama beberapa hari. Wajahnya kusut dan terlihat lelah.

"Selamat sore, Tuan Takeda," kata orang itu.

"Um... ini masih pagi, Tuan."

"Iya, itu maksudku," kata orang itu. Ia lalu memberikan tangannya, "namaku Günther, aku adik bungsu Wilhelm."

"Wilhelm von Blütcher?," tebak Hiyoshi dengan nada tidak percaya jika orang ini adik Tuan von Blütcher mengingat umurnya tidak jauh lebih tua dari Hiyoshi.

"Iya, itu dia. von Blütcher. Namaku Günther von Blütcher."

Hiyoshi menjabat tangan Günther, "ada yang bisa kubantu?"

"Aku datang meminta bantuanmu sebagai pembunuh bayaran," kata Günther, "apa kau mau?"

"Mari kita dengar dulu tawaranmu."

"Begini, aku seorang ilmuwan militer. Tapi aku tidak terlalu sukses tidak peduli sebesar apa dedikasiku terhadap pekerjaanku."

"Baik..."

"Semua karena seorang ilmuwan sainganku. Namanya Jefferson Noweed. Dia sekarang sedang melakukan penelitian di sebuah hutan di Kaledonia yang jauh dari sini. Aku ingin kau membunuhnya dan mencuri penelitiannya. Lalu berikan penelitiannya kepadaku."

"Berapa yang akan kudapat?," kata Hiyoshi, "ini akan mahal. Kaledonia tempat yang sangat jauh dan..."

"Aku punya surat dari kakakku," Günther memgeluarkan sebuah surat, "dia yang merekomendasikanmu dan dia memintaku memberikan ini jika mengikuti rekomendasinya."

Hiyoshi membaca surat itu.

Tuan Takeda, tolong terima permintaan adikku ini. Tolong layani permintaannya meski permintaannya aneh - aneh. Apapun yang dia minta kerjakanlah. Aku akan memberikanmu 25.000 Gulden dan menggratiskan sewamu bulan depan.

*tolong jangan beritahu Greta. Dia tidak suka Günther karena... suatu hal.

Hiyoshi melipat kembali surat itu. Ia lalu mengangguk tanda setuju.

"Bagus," Günther girang, "kalau sudah selesai, datang saja ke rumahku di Hnidenburd Straße, Westphalia."

"Di mana?"

"Hidenburg Street."

Hiyoshi mengangguk. Günther lalu meninggalkan Hiyoshi. Hiyoshi merasa sedikit tertantang. Ini pertama kalinya ia menjalankan misi di luar Saxonia. Terlintas juga di pikiran Hiyoshi untuk membawa Ishtoria mengunjungi lab tempat ia menemukan Ishtoria. Untung Hiyoshi masih ingat di mana lab itu tersembunyi.

"Ishtoria," kata Hiyoshi.

"Ada apa, Hiyoshi?"

"Besok kita liburan ke Kaledonia. Aku ingin menunjukan sesuatu padamu."

Me As Bounty Hunter In This Foreign WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang