PERINGATAN⚠
Cerita ini untuk remaja usia 13+
Mengandung unsur kekerasan fisik serta kata-kata kasar yang tidak patut ditiru.
Pembaca diharap untuk bijak dalam membaca.Ambil pembelajarannya dan buang sisi negatifnya.
Selamat membaca!
🍀🍀🍀
"Bagiku, derita telah menjadi kawan lama yang setia."
-Rasya Vionela- - - Aksara Ungkap Rasa - - -
"Cih, masih berani-beraninya lo masuk sekolah? enggak malu sama mulut bisumu itu?" ejeknya setelah lewat di sampingku.
Aku terdiam. Iya, memangnya apa lagi yang bisa kulakukan? Melawan? Tentunya aku tak seberani itu. Protes? Sudah pasti tak mungkin.
Aku menunduk, mencoba fokus pada buku yang kubaca. Mencoba sekuat tenaga mengabaikan semua suara-suara makian seperti biasanya. Meskipun, tiap malam sebelum tidur pasti terpikirkan lagi tentang semua hinaan mereka itu.
"Acha jangan gitu dong, 'kan bagus kalo si Rasya Vionela ini tiap hari masuk." Tenang, aku yakin pasti bisa. Abaikan, jangan menoleh sedikit pun ke sumber suara itu.
"Kok lo jadi belain si bisu, sih? Nala, pala lo tadi kepentok apaan dah?" tanya Acha dengan suara hebohnya yang sudah pasti kudengar jelas karena dia masih ada di belakang kursiku.
"Yaelah, lo gimana sih, Cha?! Kalau dia masuk berarti 'kan ada yang bakal ngerjain tugas kita." Nala tertawa dengan nada puas, membuat tanganku bergetar dan hatiku berdenyut nyeri.
Tidak, kumohon jangan lagi. Sebelumnya mereka selalu memaksaku mengerjakan PR atau tugas mereka, dan jika aku menolaknya mereka pasti akan menyiksaku. Tapi jika aku mengerjakan tugas mereka, tugasku sendiri jadi terbengkalai.
Seperti kemarin, aku dihukum guru untuk berdiri di lorong kelas selama 4 jam penuh karena aku tidak mengerjakan tugasku. Padahal itu murni akibat aku sibuk mengerjakan tugas Acha dan Nala.
Aku harus mencoba menolak perintah mereka. Aku harus sesekali melawan demi diriku sendiri. Aku harus memberi tahu mereka, bahwa aku bukan bonekanya.
"Oh iya, bener juga. Iya 'kan, Ras?" Acha tiba-tiba mendekatkan wajahnya di depanku, aku terkejut karenanya.
Aku menggeleng dan dengan cepat kuraih notebook milikku. Menuliskan kalimat 'Aku tidak mau, aku bukan boneka kalian' di atas lembar yang kosong. Kutunjukkan padanya sembari berharap semoga setelah ini tak terjadi hal-hal mengerikan yang biasanya terjadi.
Nala tertawa saat turut membaca tulisanku. "Orang seperti lo emangnya bisa apa? Mau sok ngelawan kita, huh?" ancam Nala dengan tatapan tajam yang membuatku bergidik ketakutan.
Kulirik Acha yang tengah santai melihat jam tangannya. "Masih ada 20 menit sebelum bel masuk, nih. Yuk, kita main sebentar, Ras?" ajaknya padaku dengan senyum licik. Bulu kudukku merinding seketika. Bagaimana bisa gadis berusia 17 tahun itu memiliki sifat yang mengerikan seperti ini?
Aku menggeleng cepat. Mataku bergetar ketakutan. Tuhan, apa lagi yang akan mereka lakukan padaku kali ini?
Nala meraih pergelangan tanganku dengan kasar, menarikku ke luar kelas dengan cepat. Aku memberontak, berusaha melepaskan diri. Namun semakin aku berusaha ingin lepas, cengkraman tangan Nala semakin kuat. Membuatku sesekali meringis kesakitan dibuatnya.
Mereka membawaku ke toilet, sepertinya aku akan berakhir dengan air pagi ini. Dan memang benar dugaanku. Acha menarikku mendekati sebuah ember besar penuh berisi air. Aku menggeleng ketakutan, air mataku meluruh jatuh. Kutatap Acha dengan tatapan melas, kuharap ada keajaiban yang membuatnya merasa kasihan padaku.
Kumohon, sekali ini saja ..., batinku memohon entah pada siapa.
Sepertinya keajaiban seperti itu tak mungkin, pasalnya tatapan mereka semakin tajam seperti serigala yang hendak menerkam mangsanya. Air mataku semakin deras menetes. Kakiku lemas membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi.
Byurr!
Nala tiba-tiba memasukkan kepalaku ke dalam ember tanpa aba-aba, tentu membuat jantungku kaget tak karuan.
Tolong, aku tidak bisa bernapas! batinku menjerit sekuatnya. Kupejamkan mata dengan erat, menahan napas semampuku. Aku meronta-ronta tepat saat stok napasku hampir habis. Sungguh, leherku seperti tercekik tak bisa bernapas. Kuulurkan tanganku ke atas meraih tangan mereka yang bertahan menekan kepalaku, mencoba melepaskan diri.
Entah Acha ataupun Nala, rambutku ditarik hingga kepalaku keluar dari air itu. Segera kuusap wajahku dan mengambil napas sebanyak-banyaknya.
"Ini akibatnya kalau lo ngelawan kita!" Suara bentakan Nala kepadaku.
"La, pegangin kedua tangannya!" Aku mendengar Acha memerintah. Langsung kulangkahkan kaki hendak melarikan diri dari toilet. Namun sial, mereka dengan cepat menangkapku lagi.
Aku meronta sekuatnya. Entah sudah berapa banyak air mataku yang tersamarkan oleh sisa-sisa air tadi. Sungguh ingin kuberteriak, namun apalah dayaku. Selain tak mampu, jika bisa pun pasti tak ada yang mendengar karena di jam pagi hendak pelajaran seperti ini biasanya toilet memang sepi.
"LO BISA DIEM NGGAK!" bentak Acha dengan menarik rambutku. Sakit, sangat sakit rasanya hingga membuat mataku terpejam.
Lagi ....
Acha mendorong kepalaku dengan keras masuk ke dalam ember, namun kali ini lebih brutal. Dia mengeluarkan kemudian memasukkan lagi kepalaku ke dalam ember berulang kali dengan cepat. Seolah aku seperti pakaian yang sedang ia cuci.
Napasku terengah-engah, aku bahkan tak bisa mengambil udara ketika kepalaku telah terangkat karena wajahku penuh bekas air. Tanganku digenggam erat oleh Nala, tak bisa kuusap wajahku karena itu.
"Cha, udah! Nanti dia bisa mati!" Kudengar samar suara Nala lewat dalam air ember.
Akhirnya tangan yang menekan kepalaku itu perlahan menjauh, membuatku segera menjauhkan kepalaku dari air. Bahuku bergerak naik turun dengan hebat. Kuhirup udara sebanyak-banyaknya.
"Ya udah, bentar lagi bel masuk juga. Kita cabut, La," ajak Acha dan dibalas oleh anggukan Nala. Mereka berlalu meninggalkanku begitu saja seolah tak terjadi apa-apa. Sedangkan aku bertahan di sini dengan segala derita.
Aku bersandar di pintu toilet, tenagaku terkuras terlalu banyak. Hidungku sedikit perih, sepertinya tadi tak sengaja kuhirup air itu. Aku terbatuk-batu sembari mengusap dadaku, berharap semoga tak terjadi hal buruk dengan pernapasanku. Bibirku bergetar merasakan dingin di sekujur tubuh bagian atas. Setelah kulihat, ternyata kemeja seragamku turut basah. Mungkin akibat rambut panjangku yang basah ini.
Air mata mengalir dengan tenang melalui pipiku. Sampai kapan aku akan terus seperti ini? Kenapa hidup ini tak adil? Aku juga manusia. Aku juga seorang gadis biasa. Hanya karena aku tak mampu berucap, lantas aku tak pantas mendapat kehidupan seperti remaja yang lainnya? Hanya karena aku tak dapat berbicara, lantas hidupku harus terus menderita?
Sebenarnya, di mana keadilan bersembunyi?
🍀🍀🍀
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Ungkap Rasa (Unpublish)
Teen Fiction[Baca versi lengkapnya di aplikasi Joylada dengan judul yang sama] Blurb: "Aku iri sama angin, Sya. Dia bisa terbang bebas ke mana pun yang dia mau." Aksa tersenyum sambil menghela napas ketika angin malam menerpa tubuhnya, kembali menatap langit de...