Sesaat dari kejauhan, orang-orang dijalanan hanya melihat Tukang sate itu sedang mendorong gerobaknnya sendirian, namun siapa sangka, di atas gerobak itu terdapat sosok Kuntilanak yang sedang bermain kaki sambil "menguncang-uncang angge" kakinya secara perlahan.
Senyumnya yang seakan membelah langit pada malam hari yang sunyi membuat siapapun yang melihatnya akan merasakan hawa merinding. Setiap kali ada orang yang melihat si Mbak Kunti ini naik di atas gerobak, keesokan harinya akan sakit demam yang amat tinggi, kadang malam harinya akan menggigil.
"Pak, kenapa kita mengikuti tukang sate itu? Apakah ada yang ingin bapak ketahui tentang si Mbak (Kuntilanak) nya?"
"Lion, dia nanti kamu tahu sendiri, jangan sampai kamu jauh dari Bapak ya nak."
"Iya pak."
Pak Bromo masih memandangi arah Tukang sate itu berlaju, dia membelokkan diri ke sebuah gang yang berdekatan dengan jejeran kosan disekitaran situ. Memang tempatnya seperti kosan pada umumnya, namun jaraknya agak jauh juga dari pemukiman warga.
"Nduk, wis mudun."
(Nak, sudah turun.)Mbak Kunti turun secara perlahan disertai ringikan tawanya yang begitu familiar.
"Dodolanku wis entong, hik hik hik."
(Jualanku sudah habis, hik hik hik.)Tukang sate itu hanya tersenyum, lalu menaruh gerobaknya persisi didepan rumahnya dan membawakan barang-barang lainnya guna persiapan esok hari nanti.
Hasil penjualan hari ini laris manis, hanya saja dia masih kebingungan dan heran dengan anak kecil yang mampu melihat si Ratih (Nama si Mbak Kunti) tersebut.
"Tih, mergo awakmu ojo muncul malih yo?"
(Tih, nanti dirinu jangan keluar lagi ya?)Ratih mengangguk senang, lalu dia mulai menusukkan sate nya seperti biasa. Para pembeli tidak menyadari bahwa bapak yang menjual sate ini menggunakan daging ayam yang sudah mati kemarin (TIREN).
Alasannya sederhana, karena lebih murah dan lebih kenyal dagingnya, tinggal direndam saja lalu diberi formalin agar bau busuk dan warna kekuningannya menghilang dengan seketika.
"Tih, aku arep turu ndisik yo."
(Tih, aku ingin tidur dulu ya.)"Hik hik hik hik."
Pak Bromo dan Lion mendengar suara itu dengan jelas, namun seketika tubuh Lion menjadi panas.
"Kamu mau pulang?"
Lion hanya terdiam saja, dia tahu si Ratih sedang mengawasinya dari dalam."Hik hik hik, arep ndelok ndelok opo?"
(Hik hik hik, mau lihat-lihat apa?)Tiba-tiba si Ratih muncul tepat dihadapan Pak Bromo dan Lion. Lion sempat terjatuh karena saking kagetnya dia berhadapan langsung dengan sosok Ratih.
"Nak, kamu ndak papa kan?"
"Iya pak, Lion baik-baik aja."Si Ratih masih menatap sinis kepada Lion.
"Arep ndelok-ndelok opo, hah?"
(Mau lihat-lihat apa, hah?)Tanya Ratih dengan nada meninggi. Sosoknya sangat mengerikan, belakang tubuhnya bolong, wajahnya penuh dengan luka sayatan, rambutnya gimbal dan berantakan. Ratih menampakkan wajah penuh dengan amarah.
"Ojo diteruske dodolan kang ora elok."
(Jangan diteruskan jualan yang tidak baik.)"Udu urusanmu, menusa serakah."
(Bukan urusanmu, manusia serakah.)"Ora usah ngenteni kang udu alame."
(Tidak usah menunggu yang bukan alamnya.)Ratih menghilang dengan seketika sambil terdengar suara ringikan tawa.
"Pak, dia kemana?"
"Dia telah pergi, nak."
"Terus bakal balik lagi tidak pak?"
"Pastinya."Pak Bromo dan Liones segera meninggalkan tempat itu, sementara Pak anjar, penjual sate itu mulai melilir (bergumam).
"Tih, tih. Kamu dimana."
Sambil meraba-raba disekitaran tubuhnya.
"Tih, tih!"
Teriak Pak Anjar."Tih, kamu dimana?"
Sulit bagi Pak Anjar untuk menerima kenyataan ini, dia tahu ada yang membuat Ratih marah sehingga dia meninggalkan tempatnya tanpa pemberitahuan Pak Anjar.
"Sepertinya ada yang mulai mengganggu Ratih, aku harus beri dia pelajaran."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hierophant
ParanormalLiones yang merupakan anak yang berdarah iblis harus bertahan hidup dengan tantangan misterinya. Dibantu oleh Pak Bromo yang merupakan ayah angkatnya, dia akan memecahkan kasus demi kasus yang berkaitan dengan kematian, kejanggalan, dan lainnya. Ala...