Chapter 2

484 33 15
                                        

Hidup selama ribuan tahun berdampingan dengan manusia membuat Enzo banyak belajar banyak hal, membaur layaknya manusia biasa. Sesekali ia juga memakan makanan manusia selain meminum darah.

"Dia mirip dengan Eliz, apa itu alasanmu membawanya kemari? " itu pertanyaan pertama yang keluar dari Evan disarapan pagi mereka kali ini. Enzo meletakkan gelas berisi darah di atas meja.

"Ku pikir juga begitu. Tapi mereka memiliki sifat yang berbeda. "

"Kenapa kau tidak menahannya di sini? "

"Tidak perlu. Aku punya rencana lain untuk memilikinya. " Evan menaikkan sebelah alisnya. Manusia berdarah dingin itu menyeringai.

"Kau tertarik dengannya, karena dia mirip dengan Elizabeth?" tebak Evan. Ia sangat tau bahwa adiknya ini masih sangat mencintai Elizabeth Durova.

"Entahlah, aku rasa mereka adalah orang yang sama. Walaupun ada sedikit perbedaan. "

"Bisa jadi dia reinkarnasi dari Elizabeth, kan? "

"Itu juga benar, " ucap Enzo, pikirannya memelesat jauh pada memori 605 tahun lalu. Di saat ia memiliki seorang wanita bangsawan Rusia bernama Elizabeth Durova. Anak ke empat, dari pasangan Raja Dominic Durov dan Ratu Michael Durova.

Namun nahas hubungan itu berakhir ketika seluruh keluarga Durov dibantai habis oleh sekelompok makhluk berjubah hitam, sampai saat ini Enzo masih belum bisa memastikan makhluk apa yang sudah membantai mantan kekasihnya itu.

"Aku tau kau masih belum bisa melupakan Eliz, " ucap Evan dengan nada datar.

"Hm, kau tau bukan dia Istriku, terlebih lagi saat itu dia sedang mengandung. Aku sudah gagal menjaga mereka. "

"Jangan salahkan dirimu, aku berjanji akan terus bersamamu sampai pelakunya tertangkap. "

"Itu sulit kau tau bukan? Entah mereka makhluk apa. "

"Mungkin bukan sekarang, tapi aku yakin kita bisa menemukan mereka. " Kalimat itu berhasil menenangkan perasaan Enzo, ia sudah nyaris putus asa mencari pelaku selama bertahun-tahun.

Rasanya kehidupannya yang lama sungguh tidak berguna.

***

"Hey, Alexa!"

Alexa menolehkan kepalanya ke sumber suara. Anna sudah melambaikan tangannya sambil berlari menghampiri. Napasnya tersengal ketika sudah sampai di depan Alexa.

"Ada apa? " tanyanya polos yang dapat tepukan ringan pada pundaknya.

"Kau kenapa meninggalkan kafe dengan terburu-buru kemarin? Kau tau susahnya aku mencarikanmu alasan kepada Bos, lain kali jangan diulang lagi, jika kau tidak ingin menganggur. "

"Eumm, aku merasa tidak enak badan. Maaf sudah merepotkanmu, " alibinya. Anna akan menganggapnya sedang berkhayal jika menceritakan kejadian yang sesungguhnya.

"Sudahlah tidak apa. Itulah gunanya teman, kan? " Anna tersenyum tulus. Ya, selama ini hanya Anna yang dimiliki Alexa sebagai teman baik. Walaupun sudah tidak mempunyai kedua Orang tua atau pun kerabat dekat, Alexa tidak pernah merasa kesepian.

Mereka berdua kini tengah berjalan bersisian di lorong kampus. "Kau masih sering mendapatkan surat-surat itu?" tanya Anna ketika mereka ada di depan loker milik masing-masing.

"Hm, sepertinya tidak ada surat hari ini. Tapi kemarin aku masih mendapatkannya, " jawab Alexa sambil menelisik lagi lokernya yang hanya berisi buku catatan, satu potong pakaian, dan kotak kecil berisi surat-surat yang selama ini ia dapatkan.

"Wah-wah. Apa isinya keterlaluan lagi. Kita harus melapor pada rektor jika si pengirim surat sudah sangat keterlaluan. " Terdengar helaan napas dari Alexa. Ia menutup lokernya dan menyandarkan tubuh pada rak loker itu.

"Kau tau, aku tidak bisa melakukan itu, " desahnya. Memang benar yang dikatakannya itu, sekalipun adanya bukti-bukti ia tetap tidak bisa melapor. 

"Kenapa? "

"Kau tau alasannya, " ucapnya lalu berjalan lebih dulu ke kelas, Anna mengikutinya di belakang.

"Mau minum kopi setelah ini? " tawar Anna. Alexa menatapnya sekilas.

"A—"

"Sttt, jangan menolak. Kali ini kau harus mau, tenang aku yang bayar. " Anna sahabatnya itu berujar dengan riang. Alexa mendesah, baiklah kali ini ia tidak bisa menolak.

"Oke, aku mau kali ini. " Anna bersorak gembira, ia tertawa lebar menampilkan deretan gigi rapinya. Senyumnya menular pada Alexa. Mereka harus berpisah ketika di persimpangan, karena mereka memang tidak satu kelas.

Lorong terlihat sepi, hanya ada beberapa pelajar di dekat loker sedang berbincang. Sebagian mungkin sudah berada di kelas masing-masing mengikuti pelajaran.

Seorang pria jangkung bertubuh tegap dengan rambut cokelatnya berjalan dari arah berlawanan, menatap Alexa dengan seringaian. Wanita itu mengernyit, merasa pernah melihat pria itu sebelumnya. 

Wait, Alexa ingat sekarang. Dia pria yang ada di dalam mimpi dan kehidupan nyatanya. Alexa mundur perlahan lalu berbalik. Mengambil langkah lebar-lebar menjauhi pria vampir itu.

Namun sialnya pria itu malah ada di depannya sekarang. Tersenyum mengejek. Alexa meringis, hampir saja tubuhnya menabrak pria itu.

"Ka-kau? " ucapnya terbata. Merasa heran dengan kehadiran pria itu di kampusnya.

"Hai, love, " sapanya. Masih dengan panggilan yang terdengar menggelikan di telinga Alexa.

"Sedang apa kau di sini...," susah payah ia menelan ludahnya. Alexa takut sekarang. Pupil matanya menjelajah di sepanjang lorong. Beberapa terlihat tidak peduli dengan dirinya yang saat ini sedang gemetar.

"Menjadi salah satu mahasiswa di sini, " tuturnya dengan santai.

Ini mimpi buruk untuk Alexa. Hari-harinya akan bertambah tidak tenang berada di kampus. Cukup sudah dengan surat-surat itu, sekarang manusia vampir ini lagi di hidupnya.

Seorang dosen wanita datang di antara mereka. Berdeham dengan nada tidak suka melihat muridnya masih berada di lorong ketika pelajaran akan dimulai.

Alexa mengangguk dengan gugup, lalu langsung melangkah lebar menuju kelasnya. Ia sangat berharap tidak sekelas dengan manusia vampir itu.

Namun kesialan lagi-lagi menimpanya. Kini seorang dosen pria dengan kacamata bulat membingkai wajah tirusnya itu memasuki kelas dengan Enzo di belakangnya.

Para wanita di kelas memekik girang. Merasa sangat beruntung memiliki tambahan pria tampan di kelas mereka, sedangkan Alexa hanya bisa pasrah dengan hari-hari selanjutnya.

Enzo mengambil tempat paling belakang. Terhalang dua meja dari Alexa yang ada di depannya. Wanita itu takut menoleh ke belakang.

Pelajaran sudah berlangsung, namun Alexa sama sekali tidak fokus dengan apa yang disampaikan, ia merasa sedang diawasi sekarang. Merasa tidak tenang Alexa meminta ijin untuk pergi mencuci muka. Ia baru bernapas lega ketika sudah di luar, walaupun nanti harus merasakan sesak lagi.

Alexa berderap menimbulkan suara sepatu yang beradu dengan lantai marmer, entah mengapa ia merasakan ada langkah lain pada lorong ini, matanya menjelajah menatap keseluruh tempat. Tidak ada orang. Alexa menoleh ke belakang dengan cepat. Lagi-lagi memang tidak ada siapa pun.

Ia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya di saat merasakan ada suara lain lagi di belakangnya. Alexa membeku, ia tidak bisa bergerak, terlalu takut untuk menoleh ke belakang. Setelahnya Alexa bisa mendengar suara langkah kaki yang tergesa. Refleks Alexa menoleh ke belakang, dilihatnya seseorang yang menimbulkan suara itu tengah berlari kencang di sepanjang lorong lalu berbelok ke arah lain.

Alexa memutuskan tidak mengejarnya, ia masih terpaku terlebih lagi dengan surat yang ada di bawah kakinya. Surat yang sama seperti yang selama ini ia terima. Alexa sangat yakin bahwa orang tadi adalah pengirimnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Bride Of VampireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang