0

145 16 0
                                    

"Chik"

"Hm?"

"Gue tuh.. kayaknya... aduh bentar ah malu, lo jangan liatin gue gitu dong"

Chika sedang menikmati siomay nya dan menyempatkan diri untuk memperhatikan Ica menjadi memutar bola mata malas.

"Siapa lagi sekarang? Lo suka sama siapa?" tanya Chika sewot.

"Dih, kok lo ngomongnya gitu. Dikira gue cewek apaan" balas Ica tak terima, padahal kan memang benar begitu. Ia sering kali gonta-ganti gebetan atau lebih tepatnya orang yang dia suka.

"Lo tau Abin dari IPS 1?" tanya Icha sumringah.

"Heem tau" balas Chika fokus dengan siomay nya.

"Waktu tadi kita baru keluar kelas, dia tuh lewat depan kelas kita"

"Masa?"

"Iyaaa. Lo tadi udah jalan duluan"

"Terus?"

"Kan gue lagi mau ngikutin lo kan, waktu gue jalan tuh dia jalan sampingan gitu loh bareng gue"

"Terus intinya?" tanya Chika menghadap Ica sambil mengunyah siomay nya.

"Gue ngerasa kita kek lagi jadi pengantin tau" ucap Ica tersenyum malu

Chika diam, menatap Ica datar sambil mengunyah siomay yang dari tadi tak habis-habis. "Ca, lu apaan sih anjir," ucap Chika yang akhirnya tertawa geli.

"Mana tadi si Abin ganteng banget lagi. Ah, gila nih gue"

"Emang lo mah dari dulu udah gila"

"Eh tapi, dia ngapain ya ke gedung IPA?"

"Tau. Niat nyari gue kali ya?" Ucap gadis itu menunjuk diri sendiri.

Raisha Kusuma Setiawan, gadis cantik dengan pipi bulat menggemaskan, rambut hitamnya kadang dibiarkan terurai begitu saja atau dikucir kuda jika ia merasa gerah. Seringkali orang-orang mengira Ica masih bocah SMP, bahkan orang -orang kadang tak percaya suara yang dikeluarkannya memang benar suara Ica, pasalnya muka baby face nya bertolak belakang dengan suara serak basah yang dikeluarkan gadis itu, penampilan bisa menipu.

Bukan kali pertama Ica suka seseorang dengan alasan tak masuk akal begini. Bulan lalu dia bilang ke Chika kalau dia suka sama kakak kelas karena dia punya mantan bernama Ica, dua minggu setelahnya dia bilang dia suka sama adik kelas karena namanya mirip dengan nama adiknya. Seminggu lalu dia bilang udah nggak mau suka-sukaan lagi karena akhirnya juga nggak ada yang nyantol, tapi nyatanya hari ini malah suka sama Abin anak IPS 1.

"Terus rencana gimana?" tanya Chika menghadap Ica setelah melahap habis makanannya.

"Rencana apa?" tanya Ica tak mengerti.

"Habis ini lo mau gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana. Diem aja kek biasa," jawab Ica.

"Dari dulu gitu terus gimana mau ada kemajuan"

"Lebih baik gini Chik, diem aja daripada dia tau nanti menjauh" ucap Ica mendadak melow.

"Menjauh gimana sih? Dia aja nggak deket sama lo"

"Ya maksudnya tuh nanti jadi makin jauhh" kata Ica sedikit kesal.

"Palingan habis ini juga ganti lagi" ucap Chika dengan nada meledek.

"Ya kalau ada yang lebih baik kenapa tidak."

-----

Kedua gadis itu menuju kelas dengan terengah-engah. Berlari dari koridor kelas seberang karena pintu kelas telah ditutup, mereka kira pak Tejo, guru fisika sudah masuk dan mengajar. Nyatanya, pintu ditutup tapi pak Tejo tidak ada didalam kelas.

"Anying. Ngapain ditutup sih pintunya?" Ujar Ica menuju tempat duduknya, masih mengatur napas agar kembali normal. Sementara Chika sudah berlarian kesana kemari, menghampiri teman-temannya satu persatu, menanyakan tugas yang diberikan sekaligus mencari jawaban.

"Nih, udah dapet 1 sampai 20, sana lo cari sisanya" perintah Chika yang telah kembali dari ekspedisinya mencari jawaban.

"Ah, males banget. Suruh ngerjain apa sih?" Tanya Ica

"Di buku halaman 56" jawab Chika sambil membuka buku Ica yang masih tertutup, terlihat masih bersih kelihatan sekali jarang dibuka.

"Nih" Ucap Chika menyodorkan buku yang masih bersih itu.

"Males" rengek Ica.

"Ca, buruan elah. Lo nggak mau cari jawaban, gue juga nggak akan bagi jawaban gue."

"ISH. Iya iya" ucap Ica kesal. Gadis itu kemudian beranjak dari tempat duduknya dan mulai mencari jawaban kesana kemari.

"Nih" ucap Ica sembari menyodorkan bukunya dengan tatapan malas, padahal itu jawaban kan buat dia juga.

"Kok cuma dapet lapan sih, Ca" protes Chika.

"Iya tadi pada belom semua" jawab Ica seadanya, itu juga karena dia malas mencari-cari jawaban lagi.

"Heh Teja! Ini gimana sih bapak lo bukannya ngajar malah ngasih tugas seenak jidat" ujar Ica galak kepada lelaki yang duduk didepannya, Teza.

"Ada apa ratu?" Teza menoleh ke belakang, menampakkan wajah tampan dan hidung mancung yang membuat iri seaentro kelas. Rambutnya yang gondrong membuat Teza dengan mudah memamerkan pesonanya dengan menyibakkan rambutnya kebelakang, dahinya terekspos bebas.

Ica terpana, padahal ia tak ingin. Ia tak ingin jatuh lagi kedalam pesonanya.

Karena Ia tau, jatuh hati padanya hanya akan memberikan luka.

Teza menaik turunkan alisnya dengan tangan yang masih sibuk menyibakkan rambut ke belakang.

"Ngapain sih lo?! Pamer jidat?! Gue juga punya nih!" Ucap Chika sebal sembari mengangkat poninya menunjukkan jidat lebar yang bersinar. Ica yang tadinya diam melamun menjadi tersadar.

"Nyolok mata soalnya, jadi nggak jelas buat ngelihat ratuku yang cantik" Lagi-lagi Teza menaik turunkan alisnya, menyunggingkan senyum miring, menatap ke arah Ica.

Nggak usah natap gue, please. Nggak capek apa bikin gue blushing teruss. Aduh pingin senyum lagi, EH NGGAK! NGGAK BOLEH SENYUM! ICA TAHAN ICAA!!

Ica diam, malah bergelut sendiri dengan suara hatinya.
"Gimana sih? Bapak lo ngasih tugas buanyak banget. Adoooh," ucap Ica akhirnya memutuskan untuk buka suara.

"Ah! Kenapa sih nama gue harus Teza, kan jadi disama-samain sama tuh bapak-bapak" ucap Teza kesal.

"Nggak cuma nama sih, Ja. Kelakuan juga hampir sama," ucap Chika meledek.

"Sembarangan kalo ngomong!" Teza menoyor pelan kepala Chika. Keduanya malah jadi toyor menoyor kepala satu sama lain sambil tertawa kecil.

Ica diam memandangi mereka berdua, tak ada yang tau bahwa sebenarnya ia sedikit terluka.

Atau sangat terluka?

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang