1

74 13 0
                                    

Gadis itu terlihat sibuk mengubrak-abrik ransel hitamnya, mencari sebuah buku tulis yang dari tadi tidak ketemu.

"Ca! Nyari mati lo? Ini bu Ina pasti udah ada di ruang musik!" Teriak Chika dari luar kelas.

"Bentar anjir! Ni buku sialan ga ketemu ketemu, lo juga bukannya bantuin, ih!" Balas Ica.

Chika yang sedari tadi menunggu di luar memutuskan untuk masuk niat membantu, bersamaan dengan buku tulis yang sudah Ica temukan.

"Udah ketemu?" Tanya Chika.

"Udah. Bangke ni buku sok-sokan ngilang" ujar Ica berbicara sendiri.

-----

Kedua gadis itu berlari tergesa-gesa menuju ruang musik, membayangkan apa hukuman yang akan diberikan jika mereka telat oleh guru killer itu.

Mereka sampai didepan ruang musik, pintu sudah tertutup rapat. Bukannya segera masuk, kedua gadis itu malah ribut siapa yang akan mengetuk pintu dan masuk terlebih dahulu.

"Chik, lo aja deh yang ngetok, gue ikhlas" ujar Ica.

"Gue yang ngetok, lo yang masuk duluan? Oke" ucap Chika bertanya dan menjawab ucapannya sendiri.

"Kalian ngapain anjir, buruan masuk!" Teza muncul dari balik pintu. Kedua gadis itu akhirnya masuk dengan Chika yang masuk lebih dulu.

Kedua gadis itu menghela napas lega, bu Ina yang mereka kira akan memberi hukuman ternyata sedang membimbing band sekolah yang akan tampil beberapa hari lagi.

"Kenapa kita nggak disuruh balik kelas aja sih?" Tanya Chika kepada salah satu teman kelas mereka.

"Kita disuruh nunggu disini karena kita disuruh liat gladi bersih mereka."

"Dih males banget. Ca, keluar yuk" ajak Chika.

Ica tak menjawab, gadis itu bahkan tak mendengar apa yang Chika katakan. Ia diam terpaku, menatap cowok yang sedang asyik memainkan bass, dengan seragam putih abu-abu dengan kemeja putih yang dikeluarkan, kancing paling atas dibiarkan terbuka membuat kaos hitamnya terlihat sedikit, tidak memakai dasi pula, rambutnya sedikit gondrong tak tertata, entah bagaimana ia bisa terhindar dari razia rambut yang sering diadakan tiba-tiba.

"Ca" Chika menggoyangkan tubuh temannya itu, membuat Ica mengerjap dan kembali tersadar.

"Apa?" Tanya Ica menoleh.

"Keluar yuk, males banget nungguin ginian"

"Nggak usah elah, bentar lagi kelar kan ni, nunggu sini aja bentar"

Chika menghembuskan napas kesal, membuat Ica merasa menang dan kembali memperhatikan si cowok pemain bass tadi.

"Chik, itu yang lagi pegang gitar siapa?" Tanya Ica, sengaja tak menyebutkannya secara spesifik melihat yang memegang gitar ada tiga orang.

"Yang mana?"

"Itu tuh, yang itu" jawab Ica menunjuk kecil ke arah yang tidak jelas.

"Ohh, Budi" jawab Chika.

"Seriusan namanya Budi?" Tanya Ica kaget tak percaya.

"Ngawur aja gue, lo nggak jelas sih nunjuk yang mana" jawab Chika tertawa kecil.

"Hihh, noh yang itu" ujar Ica geram menunjuk pemain bass yang dimaksut.

"Ohh, yang jelas dong makanya. Dia Abin IPS 1" jelas Chika. "Kenapa? Lo suka?" Tanya Chika

"Apasi enggak, orang nanya doang." Jawab Ica memalingkan muka, malu.

"Ohhh, kirain" balas Chika dengan nada mengejek, ia tau jelas apa yang terjadi jika Ica sudah seperti ini.

Ica kembali memperhatikan Abin, bagaimana ia bisa terlihat menawan hanya dengan bermain gitar. Abin yang merasa diperhatikan mengangkat kepalanya, dengan jari jemari yang masih sibuk pada bass yang dimainkan, cowok itu menatap Ica tepat di bola matanya.

Gadis itu tersentak, bingung harus bagaimana, akhirnya jadi salting sendiri.

"Eh, liatin diatas tuh ada apaan, cicak bukan sih, apa tokek, eh kadal kali ya, eh nggak ding, bener cicak" ujar Ica panjang lebar kepada Chika sambil menunjuk langit-langit ruangan.

"Apasi, Ca. Orang kaga ada apa-apa, gajelas lu" balas Chika ikut memperhatikan apa yang ditunjuk Ica dan menyadari bahwa tidak ada apa-apa disana.

Abin yang ternyata sedari tadi memperhatikan jadi tertawa kecil, tanpa sadar merasa gemas dengan tingkah konyol gadis itu.


BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang