01. SESUATU AKAN SEGERA MUSNAH

67 6 3
                                    

“Huuuh… aku bisa.”
Terdengar suara samar seseorang yang halus melewati telinga. Hanya suara itu yang terdengar. Sunyi. Seorang perempuan berdiri di ruangan yang sunyi. Sendiri. Tidak tampak seorang pun. Terlihat sebuah cermin memantulkan bayangan yang tidak jelas terpampang di hadapannya. Cermin itu berbingkaikan emas, dengan hiasan bunga mawar putih di setiap sudutnya. Keindahan cermin itu menyatu dengan warna putih bersih dinding yang juga dihiasi bunga bunga mawar merah nan indah. Di dinding itu terpajang foto-foto sebuah keluarga. Mereka memakai pakaian yang serasi. Seperti keluarga bangsawan. Bahkan terlihat seperti mereka itu benar-benar keluarga kerajaan. Tapi, wajah – wajah mereka tidak terlihat jelas. Walaupun rasanya kedua bola matanya menyipit berusaha memperjelasnya, namun mereka tetap tidak terlihat jelas. Kain sutra emas pun terlihat mengambai dari sudut langit langit , menyatu di sekeliling hiasan yang merefleksikan cahaya lampu bak berlian. Melihat berlian yang menggantung di tengah langit langit itu, tiba- tiba terasa tangan memegang sesuatu. Dia melihatnya. Ternyata sebuah berlian kecil ada di genggaman tangannya. Berlian itu merefleksikan cahaya ultraviolet yang menyilaukan mata. Sambil duduk di atas dipan yang sangat lembut dan empuk, perempuan itu mengagumi keindahan berlian ini. Cantik. Benar-benar cantik. Indah. Benar-benar indah. Senyuman pun terlukis di wajahnya.
“Apakah aku sudah secantik berlian ini? Apakah aku sudah seindah berlian ini? Sehingga aku pantas memiliki ini semua?”
Pertanyaan-pertanyaan yang tersirat dipikirannya semakin mewarnai senyuman diwajahnya. Namun, terdengar aneh juga rasanya. Dia mengagumi keindahan berlian yang masih dia pegang dengan dua jarinya, sambil sesekali menikmati sekeliling kamar yang penuh dengan keindahan dan kemewahan ini.
“Sebenarnya apa arti ini semua?”
Lagi – lagi pikirannya melemparkan pertanyaan yang membingungkan. Dalam kesunyian dan kesendirian ini, tiba-tiba terdengar teriakan dari luar ruangan. Teriakan itu semakin lama semakin terdengar nyaring dan jelas.
”Apa yang terjadi?” pikirnya.
Jelas teriakan itu bukan teriakan kesenangan atau kemenangan. Itu teriakan penderitaan. Teriakan itu memudarkan sedikit demi sedikit senyuman di bibirnya. Terdengar juga ledakan yang sangat keras. Jantungnya berdetak. Tubuhnya gemetar. Dentuman dan kilatan petir semakin menyala nyala di balik jendela. Berlian indah ini, masih tetap aman di genggaman tangan mungilnya. Dia beranjak dari dipannya. Sedikit demi sedikit melangkah mendekati jendela yang dihiasi bunga-bunga mawar dan kain sutra yang mengambai. Langkah demi langkah kaki diiringi rasa penasaran mengenai apa yang terjadi di luar. Dia melangkahkan kaki dengan lembut.

Braakkkk!!!

Pandangannya teralihkan dari jendela dan langsung melirik ke sumber suara. Mengalihkan pandangan dan rasa penasarannya. Sekaligus membangunkannya dari tidur nyenyak yang memimpikan hal yang tidak terbayangkan. Matanya terbuka. Dia diam. Senyap. Pikirannya masih belum sepenuhnya pulih. Suasana kamar indah, dan teriakan – teriakan itu masih terngiang - ngiang di pikirannya.
“Selasa..” suara lembut seorang remaja yang terdiam setelah bangun dari mimpinya.
Setidaknya itu kata pertama yang bisa ia ucapkan di Selasa pagi yang belum memperlihatkan silau dari sinar matahari yang terbit. Langit diluar masih sedikit gelap. Hanya fajar dari ufuk timur yang terlihat dari balik jendela yang tidak bergorden dan tidak berhiaskan kain sutra emas yang mengambai.  Dengan mata bulat yang masih terlihat mengantuk, perempuan yang bernama Alicianna itu pelan-pelan mengangkat setengah tubuhya dari tempat tidur. Terlihat jam dinding menunjukkan pukul 05.12. Dia meregangkan tangan dan kaki sambil sesekali menguap panjang. Dia tidak terlihat bingung. Wajahnya bahkan terlihat sedikit kesal. Namun, kekesalan itu dapat dia atasi dengan mudah. Dengan wajah mengantuk dan sesekali menguap, dia melipat selimut yang menutupi setengah tubuhnya. Kemudian beranjak dari tempat tidur sederhana yang jauh berbeda dari dipan yang tergambar di mimpinya. Dia memang sudah sering memimpikan itu semua. Tak terhitung seberapa sering ia mendapat mimpi yang lagi-lagi baru saja ia dapatkan. Yang ajaibnya, ia selalu mendapat mimpi itu setiap hari selasa. Walaupun begitu, mungkin karena terlalu sering dia memimpikan ruangan yang cantik, indah dan megah itu, dia pun terlalu malas mencari tahu mengapa dia memimpikan hal yang sama berkali-kali. Dia mengambil handuk dan masuk kamar mandi. Dengan langkah yang masih lemas. Perempuan yang akrab dipanggil dengan nama Alice itu bersiap siap.

The Last Hope : The PhoenixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang