03. APA SEMUA INI BENAR BENAR NYATA

5 1 0
                                    

        Burung-burung berkicau memulai hari. Terbang bebas melalui angin pagi yang bertiup lembut. Suara menenangkan aliran sungai menambah rasa ketentraman hati di pagi hari. Suaranya begitu merdu. Aliran sungai yang begitu tenang. Suara langkah kaki orang lalu lalang mulai terdengar sedikit demi sedikit. Sesekali langkah kaki itu terdengar cepat. Mungkin seseorang terburu-buru mengejar sesuatu. Sesekali juga langkah kaki terdengar santai dan pelan. Mungkin seseorang tengah menikmati suasana nyaman dengan kicauan burung dan suara aliran sungai yang menambah ketentraman suasana pagi. Sesekali, terdengar juga suara rantai sepeda yang melesat di jalanan.
' Tin..tin…Tett..Tet….
Dan akhirnya, klakson mobil dan motor mulai terdengar. Menambah suasana pagi di Jakarta yang tengah bersiap untuk menghadapai hingar bingar dan keramaian sesungguhnya. Ahhh.. Suasana ini. 
Tunggu. Aliran sungai? Langkah kaki? Klakson?
Suasana nuansa pagi itu seharusnya terdengar indah dan nyaman bagi siapapun yang menikmatinya. Semua orang. Namun tidak bagi Alice. Setelah menyadari ada sesuatu yang tidak seperti suasana yang Alice rasakan biasanya, mata bulat Alice terbuka sedikit demi sedikit. Alice membuka matanya dengan rasa khawatir di dalam dadanya. Langit masih belum terang sepenuhnya. Hanya terlihat cahaya jingga dari ufuk timur. Sesekali terlintas burung yang bertebrangan di langit yang masih sedikit gelap itu. Gedung-gedung menjulang tinggi dan  masih memancarkan satu-dua cahaya lampu di dalam ruangannya. Aliran sungai masih terlihat tenang seperti biasanya. Seketika itulah, mata Alice terbuka lebar.
“Hah?! Ini bukan kamarku!!.”
Setengah tubuh Alice terangkat dengan mata yang terbuka lebar meskipun ia baru terbangun dari tidur lelapnya. Alice melihat sekeliling dengan mata lebarnya. Dan alangkah terkejutnya Alice ketika mendapati dirinya duduk di kursi panjang yang terpajang di hadapan aliran sungai tenang kota Jakarta.
Aku tidur disini? Oh tidak! Ibuku!
Alice segera beranjak dari tempat duduknya. Dengan pakaian yang masih ia pakai sejak malam tadi, ia berlari menuju rumahnya.
Masih sempat..Ibu dan Lucy masih tidur jam segini.
Alice berlari mencoba mendahului Ibu angkat nya dan saudara angkatnya terbangun setelah melihat langit masih belum terang sepenuhnya. Bisanya Ibu Rose dan Lucy hanya terbangunkan dengan cahaya matahari yang menyilaukan mata mereka. Alice berlari sekuat tenaga. Jalanan masih tidak terlalu ramai. Jadi Alice bisa berlari dengan leluasa. Tubuhnya yang tadi sedikit menggigil karena angin pagi di jalanan kota Jakarta, sekarang terasa sedikit memanas. Nafasnya terengah-engah. Matanya menyipit sesekali karena angin yang berhembus kencang melawan arah Alice yang berlari sekuat tenaga. Alice juga sesekali melihat langit yang masih belum terang. Jantungnya berdebar kencang setelah menyadari bahwa dia tidur diluar rumah. Jantungnya semakin berdebar kencang ketika ia berlari berlomba dengan cahaya matahari. Walaupun Alice malam tadi menghadapi kesalahpahaman yang begitu menyakitkan, namun Alice harus segera melupakan itu semua, menyiapkan sarapan, dan hidup seperti biasanya. Alice harus rela membuat keputusan yang sulit, demi menjalani kehidupannya agar tidak semakin memburuk. Alice masih lari. Ternyata jarak antara jembatan dan rumahnya lumayan jauh. Rupanya Alice berlari cukup lama dari rumahnnya malam tadi. Rambut Alice yang masih terikat, mengambai-ambai tertiup angin pagi yang berlawanan arah dengannya. Alice fokus berlari. Tidak memedulikan arus jalanan yang masih belum ramai. Alice benar-benar harus memenangkan perlombaannya dengan matahari kali ini. Di seberang jalan terlihat rumah Alice. Perempuan itu, tanpa melihat jalanan, mencoba berlari lebih kencang sesaat setelah melihat ‘garis finish’-nya. Namun, ketika ia mulai melewati zebracross, seseorang menarik lengan kanannya.
Tin…tin..Bruuuuumm…
Mobil melintas dengan kencang di depan matanya. Mobil putih itu persis melewati zebracross yang akan Alice lewati. Mata Alice terbuka lebar dengan pandangan lurus ke depan. Sungguh? Apa itu tadi ? Apa yang akan terjadi jika Alice masih berlari melewati zebracross itu?
“Kamu mau kemana, hah?”
Seorang pria dengan kaus putih dan celana pendek yang melengkapi penampilannya. Sepertinya pria itu tengah berolahraga pagi di sekitar sini. Dengan headset yang terpasang di kedua telinganya, lelaki berambut hitam legam beperawakan tinggi itu baru saja menarik Alice dari lari kencang yang tidak memedulikan arah itu. Atau bisa saja disebut, menyelamatkan Alice dari kecelakaan yang tidak terbayangkan bagaimana akhirnya. Tangan kirinya yang berhiaskan jam rolex buatan luar negeri itu memegang pergelangan Alice dengan kuat. Alice hanya terdiam. Membayangkan apa yang akan terjadi jika saja pria itu tidak menarik tangannya. Perempuan yang terburu-buru itu malah tercengang dengan mata yang terbuka lebar atas apa yang terjadi. Bahkan perempuan lucu itu mengabaikan pertanyaan yang rasanya tidak terlalu perlu dijawab itu.
“Hey! Alice! Kamu gapapa?”
Alice tersadar dari lamunannya. Dengan mata yang masih terbuka lebar dan tangan yang masih dipegangi dengan kuat, Alice menjawab pertanyaan yang pria itu ulangi. Dan, Apa yang baru saja ia dengar? Pria itu memanggilnya Alice? Bagaimana dia tahu namanya Alice?
“Ah..Iya.”
“Biasa saja. Jangan terburu-buru. Nanti terjadi apa-apa gimana?”
Dengan jantung yang semakin berdetak kencang, Alice merasa bingung dengan pernyataannya kali ini. Dia merasa bimbang antara harus menjawabnya dengan “Maaf” atau “Terima kasih.”
“O? I..Iya.. eee.. Eh?”
Alih-alih menjawab pria itu dengan kata-kata yang ia pikirkan, Alice malah menjawabnya dengan kata – kata yang semakin membuat dia kebingungan.
“Hati-hati, ya.”
Pria dengan wajah seperti pengusaha muda itu, akhirnya melepaskan tangan genggamannya dan membenarkan headset di telinganya. Kemudian, kembali meneruskan lari paginya.
“Tunggu!”
Alice yang dari tadi berlari dengan kecepatan kencang demi memenangkan perlombaannya dengan sang surya, malah menghampiri pria itu.
“Iya?”
Dengan melepaskan satu headset di telinganya, pria itu pun berbalik.
“Ooo.. Begini..Tadi kamu memanggilku Alice. Eeee.. Apakah aku mengenalmu?”
Dengan kata-kata yang terpotong-potong dan nada bicara yang canggung, rasa penasaran Alice mengambil alih pikirannya. Ia mencoba memberanikan diri untuk memahami apa yang baru saja terjadi.
“Aku tidak begitu yakin. Tapi… kita baru bertemu kemarin.”
Dengan senyuman manisnya, pria itu pun kembali memasangkan headset di telinganya, dan kembali meneruskan lari paginya.
Alice hanya terdiam. Kembali mencoba memahami jawaban yang baru saja ia dengar dari pertanyaan yang yang ia berikan kepada pria misterius itu. Alice terdiam sejenak.
“Oo? Kita..pernah bertemu?”
Alice malah kembali tenggelam dari lamunannya. Mencoba memikirkan apa yang terjadi kemarin. Ia hanya memikirkan rasa kesal dari kesalahpahaman yang membuat nya mengalami pagi yang rasanya benar-benar menegangkan ini.
“Oh? Haaaahhhh,.. Pria yang kayak pengusaha itu!”
Akhirnya Alice teringat sesuatu. Mereka memang pernah bertemu. Pria itu ternyata pria yang terlihat seperti pengusaha muda yang tidak lama lagi akan segera mengambil alih perusahaan ayahnya. Dengan kemeja putih berdasi hitam dilengkapi jas hitam yang membuat penampilannya semakin sempurna. Wajah tampan dan tubuh kekar nya kembali terngiang-ngiang di pikiran Alice. Dari pertemuan keduanya tadi, apakah mungkin pria itu tinggal di dekat rumahnya. Namun, Alice tidak begitu yakin ia bertetangga.
Biarlah…
Walaupun pertemuan pertama mereka tidak disengaja dan tidak begitu menyenangkan bagi Alice, namun rasanya itu pertemuan yang begitu berharga. Pertemuan yang bahkan sampai bisa menyelamatkan Alice dari kecelakaan yang tidak terduga.
Alice yang semakin tenggelam dalam lamunannya, akhirnya tersadar dengan sinar matahari yang menyilaukan matanya.Langit terlihat semakin terang. Setelah kejadian itu, terasa ada sesuatu yang mengganjal di hati Alice. Dan alangkah kagetnya Alice setelah ia menyadari tujuan awalnya berlari sampai hampir saja mengalami hal terduga.
“Ah.. Gawat!!!.”
Dengan jantung yang kembali berdebar kencang, Alice pun kembali berlari dengan wajah memerah dan mata yang sesekali menyipit tertiup angin pagi.
“Hah..hah..hah.”
Alice membenarkan rambutnya dengan nafas yang masih tersengal dan jantung yang masih berdebar.
Alice pun mencoba membuka pintunya dengan senyum yang biasa ia lakukan. Namun, Alice melupakan sesuatu. Pintunya masih terkunci.
“Haaah? Iya juga!”
Seharusnya Alice menyadarinya. Jika Ibu Rose dan Lucy masih tertidur, pastinya belum ada orang yang membuka pintu. Alice berpikir sejenak. Bagaimana caranya Alice bisa masuk?
Tiba-tiba Alice melihat jendela terbuka di dapur. Seketika Alice pun segera berlari menuju bagian belakang rumahnya. Dan memanjat jendela dapurnya. Alice hanya memedulikan dirinya. Dia tidak membuang-buang waktu sempitnya untuk memikirkan apa yang ibunya lakukan semalam sehingga jendela dapur masih terbuka. Untung saja tidak ada siapapun yang memasukinya. Kalau seandainya saja seorang perampok melihatnya lalu memasukinya, maka barang-barang yang sudah Ibu beli dengan jeri payahnya akan ludes semuanya.
Alice pelan-pelan memanjati jendela dapurnya pelan-pelan. Setelah berhasil masuk lewat jendela dapur, Alice merapikan rambut, menepuk-nepuk baju dan celananya.
“Alice!.”
Alice seketika terdiam membeku. Suara Ibu Rose yang terdengar setengah berteriak itu mengagetkan Alice yang diam-diam masuk rumah lewat jendela. Jantung Alice berdebar kencang. Bahkan tangan Alice sedikit bergetar kali ini. Alice pelan-pelan mengatur nafasnya. Perempuan itu pun sedikit demi sedikit membalikkan badan dan melirik ke sumber suara.
“Iya..Bu?”
Ibu Rose memandanginya dengan matanya yang tajam. Dengan baju tidur dan rambut yang masih berantakan, Ibu Rose berdiri memandangi Alice di depan pintu dapur.
Hati Alice semakin tidak karuan. Detak jantungnya semakin berdebar kencang. Di pikirannya terbersit sesuatu yang tidak seharusnya.
Apa ini? Apa mungkin Ibu melihat aku masuk lewat jendela? Atau mungkin Ibu mau memarahiku karena apa yang terjadi semalam?
Pikiran Alice melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang kembali membuat rasa penasaran dan rasa khawatir Alice bercampur dan meraung-raung.
“Cepetan. Laper nih.”
Namun, apa yang terjadi setelahnya, sepertinya jauh dari apa yang ia duga. Ibu Rose mungkin terlalu lapar untuk memarahinya. Atau Ibu angkat Alice itu mungkin terlalu lelah untuk memikirkan kapan dan bagaimana Alice memasuki rumah yang terkunci setelah kejadian semalam. Alice hanya menghembuskan nafas panjang. Mengambil celemek, dan mulai membuat sesuatu untuk dihidangkan menjadi menu sarapan. Alice mulai membuka lemari es, mengambil beberapa telur, sekotak susu, dan menutupnya kembali. Alice juga mengambil roti dari lemari di atas wastafel dan meletakkannya di wajan yang sudah ia lumuri mentega di atas kompor yang menyala. Sesekali Alice tersenyum. Merasa terhibur dengan apa yang ia alami pagi ini. Aneh. Lucu. Menegangkan. Benar-benar pagi yang luar biasa. Sambil menunggu rotinya matang, Alice mengambil 3 gelas dan mengisinya dengan susu dan mengocok telur yang ia ambil dari lemari es. Setelah itu, Alice mengangkat roti yang telah ia panggang, kemudian mengisi wajan dengan sedikit minyak goreng dan memasak telur yang ada ia kocok tadi. Setelah itu, Alice hanya perlu menunggu telurnya matang dan menu sarapan pagi ini sudah siap. Sekali lagi, Alice teringat sesuatu ketika menunggu telurnya matang. Alice merasa ada sesuatu yang masih janggal. Apa mungkin karena ia belum mandi? Atau mungkin pria yang baru ia temui? Atau apa? Pikirannya teralihkan dari sarapan sejenak. Ah, Iya. Ini mengenai pria. Bukan, pria yang ia temui pagi tadi. Tapi pria yang menemuinya malam tadi. Apa pria itu hanya khayalan, atau kejadian malam tadi hanya sebuah mimpi? Tapi ketika terbangun, Alice mendapati dirinya tertidur di kursi panjang dengan posisi terlentang. Alice tidak membawa burung yang pria itu berikan padanya. Mungkinkah burung itu terbang bebas? Tapi, semalam, jika Alice perhatikan keadaan burung itu sepertinya burung itu tidak bisa terbang. Atau mungkin saja Alice meninggalkannya di kursi tadi? Tapi Alice tidak menemukan apapun sejak ia terbangun tadi. Atau mungkin, semua itu memang mimpi? Walaupun begitu, mimpi itu terasa sangat nyata. Walaupun pria malam tadi hanya seorang pria khayalan, kata-katanya sangat memotivasi Alice. Ia benar-benar harus berterima kasih kepada pria itu.
Alice yang sedari tadi melamun, akhirnya tersadar dari lamunannya dan mengangkat telur dadar yang sepertinya sudah matang itu. Alice meletakkannya di piring yang ia ambil dari lemari di atas kompor. Alice yang masih memakai celemek itu, menyusun sarapan yang baru saja ia untuk dihidangkan di meja makan. Alice meletakkan sarapan itu di atas baki dan membawanya ke meja makan.
“Silahkan, Ibu, Lucy.”
Setelah menghidangkan sarapan, Alice meminum susu yang ia letakkan di dapur tadi. Dan berlari menuju kamar mandi untuk segera pergi sekolah.
Namun, Alice merasakan ada sesuatu yang aneh ketika ia mengambil handuk di kamarnya. Alice sepertinya melihat sesuatu dengan mata ngantuknya. Alice mencoba memastikan apa yang baru saja mengganjal di pikirannya. Ia melihat sekeliling kamarnya. Semuanya tetap sama. Kecuali.
Alice tercengang dengan apa yang baru saja ia lihat. Perempuan dengan handuk di pundaknya itu, melihat burung pipit  yang bertengger di atas lampu belajarnya.
“Apa?! Berarti…itu semua nyata  ?”

The Last Hope : The PhoenixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang