04. KEBANGKITAN ATAU KEHANCURAN

5 1 0
                                    

"Rasa jeruk, atau...Apel?"
Fakhri memegang dua botol minuman dengan rasa yang berbeda dengan kedua tangannya. Laki-laki itu tengah serius memilih minuman yang akan ia beli. Walaupun hanya sebuah minuman, ia sepertinya cukup berpikir keras untuk menentukan minuman mana yang akan ia beli di depan lemari pendingin di minimarket.
"Disini dituliskan...ooo...Yang rasa apel sedikit lebih mahal."
Fakhri sepertinya tengah mencari 'fakta-fakta tambahan' untuk memudahkannya menentukan pilihan. Sebagai seorang anak IPS, Fakhri sepertinya tengah mengamalkan ilmu yang ia dapat di sekolahnya. Dia berlaga bak seorang hakim yang akan menentukan seorang terdakwa, apakah ia patut dinyatakan sebagai tersangka, atau bisa saja ia menyatakannya sebagai seseorang yang tidak bersalah. Dengan seragam sekolah dan tas yang masih menempel di punggungnya, Fakhri masih serius dengan 'hasil keputusannya'.
"Hmmm... Benar-benar pilihan yang sulit."
Dengan wajah yang masih telihat serius, ia membolak-balikkan kedua botol minumannya untuk melihat 'perbedaan yang mencolok' antara botol minuman rasa jeruk dan rasa apel yang masih berada dalam genggaman kedua tangan. Matanya memperhatikan keuda minuman botol itu, lalu sesekali melirik kedalam lemari pendingin. Matanya semakin menyipit.
"Aaahh..Aku pilih rasa nanas saja."
Fakhri yang tadinya kebingungan dengan dua botol yang berada di tangannya, akhirnya meletakkan kedua botol itu kedalam lemari pendingin, dan mengambil botol minuman dengan rasa yang berbeda. Senyuman tersirat di wajahnya. Ia melihat dirinya di depan kaca lemari pendingin itu. Senyumnya melebar, setelah ia melihat bayangannya yang tidak terlalu jelas di kaca lemari pendingin itu. Ia sesekali membenarkan rambut hitamnya, agar terlihat lebih sempurna.
"Ouhh.. Fakhri.. Kau benar-benar tampan. Ketampananmu bisa sampai membuat seseorang tidak sadar. Wajar saja Alice menghindarimu. Mungkin aja dia takut terjadi sesuatu jika melihat wajahmu yang tampan ini. Hihihi.."
Senyum Fakhri tambah melebar sesaat setelah di pikirannya terbayang seseorang yang ia sukai sedari pertama bertemu. Ia sesekali tertawa pelan ketika memikirkan kelakuan lucu Alice yang menghindarinya dengan kaki mungilnya.
Fakhri berbicara kepada bayangannya sendiri di minimarket itu. Ia juga sesekali mencoba bergaya di depan lemari pendingin itu.
"Eee.. Maaf.. mas."
"Iya? Apa ada yang bisa saya bantu?"
Tanpa pandangannya dari lemari pendingin, Fakhri menanggapi seseorang yang menepuk bahunya. Dengan wajah yang meyakinkan, ia bertanya dengan nada seorang lelaki yang siap mengabulkan setiap permintaan gadis tercintanya. Nadanya seperti seorang ksatria yang siap melindungi primaisurinya dari segala macam mara bahaya. Bahkan seseorang pasti berpikir nadanya seperti seseorang yang menyerahkan seluruh kehidupannya untuk wanita terkasihnya. Dan senyumannya. Senyumannya begitu menawan. Fakhri kembali membenarkan rambutnya.
"Anu.. Saya boleh ngambil minuman?"
"Ah? Ini? Ini bukan minuman biasa. Saya menentukan ini dengan semua fakta yang saya kumpulkan. Benar-benar pilihan yang sulit. Tapi, kalo mba mau, saya bisa memberikannya."
Fakhri sepertinya belum tersadar dari khayalan anehnya. Fakhri membalikkan badannya dengan sangat percaya diri. Dengan tubuh sedikit membungkuk, Fakhri menyerahkan minuman yang ada di tangannya kepada seseorang di belakangnya itu. Dan terakhir, Fakhri memberikan perempuan itu kedipan mata dan senyuman manisnya.
"Bu..Bukan.. Eee..Saya mau ngambil minuman yang ada di lemari pendinginnya."
"O? Lemari pendingin?"
Seketika Fakhri terdiam. Sekarang hanya terdengar suara lagu yang diputar di minimarket itu. Saking asyiknya mengagumi penampilan sempurnanya, Fakhri sampai tidak meyadari bahwa dirinya menghalangi lemari pendingin di minimarket itu. Dia melihat lemari pendingin di belakangnya. Wajahnya memerah. Senyumnya sempat terhapus, namun untuk menutupi rasa malunya, Fakhri kembali melebarkan senyumannya. Kali ini dengan gertakan gigi.
"Aaahhh... Lemari pendingin. Tentu saja. Aahahaha Tentu."
Dengan wajahnya yang semaki memerah, Fakhri tertawa terbahak-bahak untuk menutupi rasa malunya. Namun, setiap orang yang mendengar tawaan itu pasti tahu tawa Fakhri itu hanya dibuat-buat. Perempuan berhijab yang masih berdiri di depan Fakhri itu hanya tersenyum melihat keanehan Fakhri.
"Eekkhheemm.. Mohon maaf. Silahkan."
TIba-tiba Fakhri menggati tawanya dengan deheman untuk membuatnya semakin berwibawa. Tentu saja itu bisa menutupi rasa malunya. Namun, wajah merahnya, seperti tidak bekerja sama kali ini.
Fakhri membungkukkan badan, dan meninggalkan lemari pendingin itu untuk segera pergi ke meja kasir. Tangannya semakin erat menggenggam sebotol minuman di tangan kanannya. Keringat dingin sedikit bercucuran di kening Fakhri. Ia pun sesekali menyekanya dengan lengan kirinya.
"Ouhhh.. Apa itu tadi?"
Di meja kasir, Fakhri menghembuskan nafas panjang. Dengan wajah yang masih memerah. Ia mengelus elus dadanya. Mencoba untuk menenangkan diri dan mengatur nafasnya agar kembali normal.
"Lho? Kasirnya mana?"
Fakhri akhirnya melupakan kejadian 'tidak menyenangkan' -nya di depan lemari pendingin tadi setelah melihat tidak ada siapapun yang berdiri di meja kasir. Fakhri melihat sekeliling minimarket. Mencoba menemukan kasir minimarket itu supaya Fakhri bisa membayar minuman di tangannya sebelm akhirnya dia menghabiskannya.
Fakhri kembali memperhatikan sekeliling minimarket. Pandangannya pun terhenti sesaat setelah ia menemukan seseorang dengan seragam kasir di parkiran minimarket itu. Dia perempuan separuh baya ternyata. Dengan masker hijau yang menutupi setengah wajahnya, kasir itu sepertinya tengah berbincang-bincang dengan dua pria kekar yang mengenakan jaket kulit hitam di parkiran minimarket di malam itu. Sepertinya sebuah percakapan yang sangat penting untuk dibicarakan di kegelapan malam itu. Fakhri memperhatikan gerak-gerik mereka. Sepertinya Fakhri semakin melupakan kejadian memalukannya tadi. Alih-alih memanggilnya untuk segera melayani pelanggan minimarket itu, Fakhri malah tertarik memperhatikan kasir yang tengah membungkuk-bungkukkan badannya di depan kedua pria kekar itu. Salah satu pria kekar itu menunjuk-nunjuk kasir itu dengan wajahnya yang sedikit marah. Fakhri merasakan ada seseuatu yang aneh. Sepertinya pria kekar itu sedang memarahi kasir yang masih sesekali membungkukkan badannya.
"Ngapain sih itu?"
Fakhri mengernyitkan dahi, menyipitkan matanya untuk memperhatikan mereka. Fakhri ingin sekali mendengarkan percakapan mereka. Namun, sepertinya itu bukan sesuatu yang bagus untuk dilakukan. Fakhri hanya berdiri di depan meja kasir, meletakkan minumannya sembari menunggu percakapan mereka selesai. Fakhri kembali melihat-lihat sekeliling minimarket itu. Dia juga melihat sampai ke langit-langit minimarket itu sambil sesekali membenarkan rambut hitamnya.
"Merokok membunuhmu."
Ia membaca peringatan yang ia lihat di kotak rokok di belakang meja kasir itu. Dan ia kembali terdiam.
Dan seketika pintu minimarket terbuka. Fakhri melirik ke pintu itu. Dan ternyata itu adalah ibu kasir bermasker yang ia nantikan. Melihat ibu itu kembali, berarti percakapan mereka selesai. Fakhri melihat ke parkiran yang gelap, Ia tidak melihat siapapun disana. Sepertinya kedua pria itu sudah pergi.
"Mas?"
"Ah iya ini."
Fakhri memberikan botol minuman yang ia ambil dari lemari pendingin tadi untuk segera di proses oleh kasir minimarket itu.
Tit.
Suara mesin kasir terdengar setelah barcode berhasil di scan mesin kasir minimarket itu.
"Totalnya jadi delapan ribu tujuh ratus mas."
"Ah iya."
Fakhri menyerahkan selembar uang pecahan sepuluh ribu dan menerima minuman yang ia beli. Fakhri memerhatikan wajah ibu kasir itu. Matanya berlinang. Wajahnya juga sedikit memerah dengan sedikit cucuran keringat di keningnya. Tapi, sepertinya ia pernah menemui ibu kasir itu sebelumnya. Wajahnya tampak tidak asing. Semakin ia perhatikan, semakin terngiang-ngiang wajah ibu itu. Ia benar-benar pernah bertemu kasir itu. Tapi, ia tidak ingat kapan dan dimana mereka bertemu.
"Mas. Silahkan kembaliannya. Terima kasih. Silahkan datang lagi."
Ibu kasir itu membungkuk dan mengatakan apa yang biasanya ia katakan setelah selesai melayani pembeli. Namun, kasir itu tidak sedang baik-baik saja. Suaranya terdengar serak. Dia terlihat ketakutan. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Iya."
Fakhri menerima kembalian dan struk pembelian dari kasir itu.
"Mmm.. Ibu baik-baik saja?"
Alih-alih keluar dan pulang ke rumahnya setelah membeli minuman di mini market itu, Fakhri malah menanyakan keadaan kasir itu.
"Ah? Iya... Saya baik-baik saja. Apa ada yang bisa saya bantu?"
"Tidak. Terima kasih."
Dengan wajah penuh kecurigaan, Fakhri pun meninggalkan minimarket itu. Walaupun ibu itu mengatakan bahwa ia baik-baik saja, namun, setiap orang pasti tahu ia berbohong. Apalagi dengan mata berlinang, wajah memerah, dan suara yang serak. Bahkan bisa dikatakan, ibu itu mencoba menguras habis air laut. Tidak mungkin. Fakhri teringat ketika ia melihat ibu itu berbincang di tengah gelapnya malam dengan dua pria kekar. Apakah kejadian itu ada hubungannya? Soalnya, Fakhri tidak pernah melihat kasir yang tidak berdiri di mesin kasir selama minimarket itu buka. Wajah ibu itu juga terlihat tidak asing bagi Fakhri. Apa yang sebenarnya terjadi?




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Last Hope : The PhoenixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang