Scene 02

32 3 0
                                    

Tebak siapa yang lagi bercerita.

“Apa itu, Bang?” Aku berhenti di depan pintu berwarna cokelat di kamar Tora. Aku sudah siap berangkat ke sekolah tetapi Tora nggak kunjung keluar kamar. Biasanya aku akan menunggunya di ruang duduk, tetapi hari ini, entah kenapa, aku bersikap sedikit tidak sabaran.

Beberapa meter di depanku, Tora baru saja berhenti menggeledah laci nakasnya karena menyadari kehadiranku. Di tangan Tora, ada sebuah benda yang menurutku sangat asing.

“Sania?” Dengan cepat Tora menyimpan benda aneh itu ke dalam nakas. Dia menatapku panik. Aku balas menatapnya, alisku berkerut. “Ngapain lo di sini?!”

Aku berjalan mendekati Tora. Mataku melirik laci nakas yang tertutup, lalu bertanya pada lawan bicaraku lewat tatapan mata; benda apa itu, Bang? sekali lagi.

“Bukan apa-apa,” jawab Tora. Tetapi aku yakin ada apa-apa.

“Coba gue lihat.” Aku bermaksud membuka laci nakas, tanganku sudah memegang gagangnya. Namun, Tora menahanku. Tangannya mencekal tanganku. Bahkan, cekalannya kali ini terasa sangat kuat membuatku meringis dan melepas gagang nakas. “Kenapa, sih, Bang?! Tangan gue sakit, tahu!”

Tora melepaskan tanganku. “Apa yang mau lo lihat?” sengitnya. Dia akhirnya membuka laci nakas, namun laci nomor dua, bukan laci yang pertama. “Tuh, cuma laptop sama speaker-speaker punya gue doang. Nggak ada apa-apa.”

Enggak, Tora. Lo nyembunyiin sesuatu dari gue.

“Lo ngebuka laci nakas yang di bawah, bukan yang di atas! Lo nyembunyiin sesuatu apa dari gue?”

“Nggak ada, Sania Lo apa-apaan, sih, nuduh-nuduh gue nggak jelas gini?”

Aku menatap Tora semakin berani. “Gue nggak bakalan nuduh kalau Abang nggak mencurigakan kayak gitu!”

“Mencurigakan gimana, sih? Gue biasa aja dari tadi. Lo, tuh, yang masuk kamar orang nggak ngetuk-ngetuk.”

Biasanya juga kayak gini. “Emang selama ini gue pernah ngetuk kalau masuk kamar lo? Enggak, ‘kan? Terus, kenapa lo bermasalah sama hal itu padahal dari dulu nggak pernah mempermasalahkannya?”

“Sania!” bentak Tora.

“Apa?” sahut gue.

“Keluar dari kamar gue!” teriaknya.

Astaga. Jantungku tiba-tiba berpacu hebat. Tora nggak pernah kayak gini ke aku.

“Kenapa? Nggak mau bilang? Apa karena di dalam laci itu lo nyembunyiin kejahatan dari gue, dan mama papa?” Sumpah, aku merasa kepalaku mendidih. Emosiku bergolak tiba-tiba.

Tora mengacak rambut cokelatnya frustrasi. Dia menatapku dengan kemarahan yang semakin terpancar di wajahnya. “Omongan lo dijaga, ya, Sania Hazelda! Gue nggak pernah ngajarin lo buat ngomong nggak sopan kayak gitu ke orang yang lebih tua! Dan lo nggak perlu nanya-nanya lebih banyak kalau gue udah nggak mau jawab, gue punya privasi!”

Please, Tora nggak pernah kayak gini sebelumnya. Dia jadi tempramental seperti ini dan dia selalu menyalahkanku. Sedangkan satu pertanyaanku nggak sama sekali dijawabnya. Memangnya, apa susahnya, sih, menjawab pertanyaanku yang sangat sederhana itu?

Aku menarik napas dalam-dalam. Tadi aku lupa melakukannya hingga terlalu emosi. Sekali lagi, aku menatap Tora. “Kalau lo nggak mau ditanya-tanyain, tinggal aja sendiri sana. Mengasingkan diri dari orang-orang biar nggak ada lagi yang nanya-nanya!” ucapku lalu keluar dari kamar Tora. Napasku memburu.

Saat aku berada di undakan tangga pertama, Tora berteriak dari dalam kamarnya, “Tungguin di mobil! Jangan coba-coba berangkat sendirian tanpa gue!”

[BADBOY SERIES#1] Skandal KAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang