Kami mengadakan pertemuan di salah satu kafe sekaligus bar yang ada di Kemang. Sebelum menjalankan mobil ke tempat ini, gue dan Tora serta adiknya menjemput Liam terlebih dahulu. Pertama kali saat sampai di rumah Liam yang sedikit lebih ‘masuk akal’ besarnya daripada rumah Tora yang pantas disebut sebagai rumah sultan itu, gue mendapati Liam yang tengah menggeledah isi mobilnya. Cowok itu memakai celana jins selutut dan kaus biru dongker. Rambutnya yang hitam benar-benar tidak tertata dan seutas kalung yang terbuat dari benang menjuntai sepanjang dada di leher cowok itu.
Liam nggak sedang berkamuflase. Itulah dirinya yang asli.
“Lo sendiri? Bukannya kita mau berangkat bareng Tora? Kan, dia yang punya rencana buat ketemu Bian malam ini,” cerocos Liam dengan berbagai pertanyaan. Yang membuat Liam menggeledah isi mobilnya adalah sebungkus rokok mild yang ditawarkannya ke gue. Gue menolak tawaran itu.
Gue mengedikkan dagu ke arah pagar rumah Liam, mobil gue terparkir di sana dengan Tora dan Sania di dalamnya. Gue hanya turun sendirian menjemput Liam. “Gue sama Tora, dia ada di mobil. Sama adiknya juga.”
Gerakan Liam mengantongi kotak persegi itu terhenti. Matanya membulat menatap gue. “Serius?!” Dia sudah seperti orang yang kebakaran jenggot saat mendengar gue menyebutkan adik Tora. Sebetulnya gue nggak mengerti kenapa dia merespons berlebihan seperti itu, tetapi gue hanya menjawab dengan anggukan.
“Sialan!” maki Liam, melempar rokoknya yang masih panjang dan menginjaknya di lantai semen. Dia menjejalkan kotak mild dengan asal ke saku celananya. “Ngapain lo ngajak Sania segala, sih, bloon?”
Yang bloon sebenarnya siapa? Gue yang di sini berperan sebagai taksi online, atau Tora yang nggak bisa menolak keinginan adiknya untuk ikut, atau hanya Liam yang berlebihan? Persetan. Belakangan Liam memang bersikap terlalu sialan.
“Enak aja lo bilang gue yang ngajak Sania ikut kita. Si Tora, tuh, yang nggak nolak pas adiknya mau ikut,” elak gue nggak terima. Jelaslah nggak terima, gue disalahkan. Siapa yang mau rela-rela saja disalahkan kalau sebenarnya nggak salah? Nggak ada!
Tora menutup pintu mobilnya dengan keras hingga menimbulkan bunyi debaman nyaring. Cowok itu menggaruk kepalanya hingga rambut hitamnya yang nggak lebih bagus dari rambut gue itu berantakan. Dia melangkah keluar dari garasi, naik ke teras rumah berubin marmer merah maroon dan berhenti saat tangannya memegang gagang pintu. Gue berdiri tepat di belakang Liam.
“Kenapa lo kayak orang yang kebakaran jenggot gitu, dah, pas tahu ada Sania?” tanya gue.
“Sania itu tahunya gue ini anak baik-baik yang selalu berkacamata,” kata Liam sambil menarik lepas kalung benangnya, “kalau dia lihat gue nggak pake kacamata dan pake kalung kayak beginian, citra gue sebagai anak baik-baik bakalan rusak di mata dia.”
“Hahaha.” Gue tertawa terbahak-bahak melihat Liam dengan tampang bodohnya justru mengkhawatirkan citra di depan Sania daripada waktu kami yang semakin terbuang. Tolol, memang. Berdiri saja terus di balik tirai kepalsuan, kapan mau unjuk gigi kalah begitu?
“Lama banget lo!” Ketika gue membuka pintu mobil, semprotan Tora langsung terdengar. “Mana si Liam?”
Gue melirik Sania dari kaca spion tengah. Cewek itu menyimak pembicaraan kami. “Masih siap-siap,” jawab gue.
“Udah kayak cewek aja siap-siap lama banget,” celetuk Tora.
Sania menyahut untuk yang pertama kali, “Iya. Gue yang beneran cewek aja siap-siapnya cuma sebentar pas mau pergi bareng kalian.”
Gue tertawa. “Mungkin jiwa lo dan Liam tertukar,” sahut gue tanpa sadar. Gue melirik Tora yang tertawa-tawa nggak jelas. Rupanya dia nggak sadar kalau ini pertama kalinya gue berkomunikasi dengan adiknya yang cantik betul itu.
“Iya, mungkin. Tapi masa selama ini, sih? Udah jam setengah sepuluh, loh, Kak.” Sania menampilkan layar ponselnya ke celah antara tubuh gue dan tubuh Tora.
Sania memanggil Tora dengan sebutan abang dan kali ini dia menggunakan sebutan ‘Kak’. Itu berarti dia bicara dengan—
“Kak, samperin lagi, gih.” Sania mencolek bahu gue dengan ujung ponselnya.
—Gue. Sania bicara dengan gue.
Gue masih terpana dengan suara panggilan Sania yang terdengar lembut itu ketika kaca pintu di sebelah Tora diketuk, di sana Liam berdiri menunduk dengan kacamata membingkai di wajahnya dan rambut yang disisir miring ke samping. Rapi seperti biasa.
“Pindah ke belakang, Tor, gue yang duduk di situ,” perintah Liam yang dengan cepat dituruti oleh Tora tanpa mencoba mendebat.
Semuanya sudah turun dan masuk ke dalam kafe ketika gue selesai memarkir mobil. Gue mengerutkan alis saat mendapati Sania berdiri di samping pintu kafe, matanya menatap ke arah gue penuh harap. “Ngapain lo di luar?” tanya gue saat berdiri di sisinya.
Cewek itu menadahkan tangan. “Pinjem kunci mobilnya, dong, Kak, dompet gue ketinggalan di mobil lo,” ujarnya lalu berlari kecil ke parkiran setelah gue menyerahkan kunci mobil.
Selayaknya anak SMA biasa, cewek itu hanya mengenakan sehelai celana jins dan hoodie hijau lumut yang mungkin di dalamnya masih berlapis sehelai kaus. Rambutnya yang hitam panjang terikat kuda dan beberapa helai rambutnya dibiarkan terjuntai bersama poni pagarnya. Gue mengamati struktur wajah cewek itu, hidungnya mancung mungil, matanya bulat dan pipinya sedikit chubby. Dahinya lebar, cewek itu menyembunyikannya dengan memberikan poni pagar tipis sebagai perlindungan supaya dahinya nggak terlalu kelihatan.
“Kak?” Gue terlonjak ketika suara itu terdengar. Gue mengerjap mendapati wajah Sania berada beberapa senti di depan wajah gue, refleks, gue memundurkan kepala. “Ngapain ngelamun?”
Gue menggelengkan kepala. “Nggak apa-apa,” kata gue, “udah diambil dompetnya?”
Dia mengangguk. Kami lalu beriringan masuk ke dalam kafe bernuansa putih dan gold. Lantainya merupakan keramik berwarna cokelat dan kaca berbingkai besar menjadi pintu dan dinding di bagian depannya. Tempat ini bersekat tembok dengan lukisan batu bata merah sebagai pemisah antara bar dan kafe. Gue sepenuhnya yakin kalau saja Sania nggak ikut ke sini, Tora pasti mengadakan pertemuan di dalam bar, bukan di sini.
Di meja persegi panjang dengan sofa warna cream yang ada di bagian pojok selatan ruangan sudah ada Tora, Liam, Bian, Okta sebagai pemain inti di klub basket kami—kecuali Bian yang sudah keluar dan sedang berusaha dibujuk oleh Tora supaya mau balik—dan Reza dan Orlan sebagai pemain basket yang akan turun ke lapangan kalau kami membutuhkan pengganti.
Sebenarnya permainan Reza nggak kalah dengan permainan Bian, mereka sama-sama lincah dan penuh dengan perhitungan saat bermain. Makanya gue nggak masalah kalau Bian tetap mau keluar dari klub karena masih ada Reza. Tetapi memang, sih, Reza sedikit lebih emosian daripada Bian yang terkesan tenang. Mungkin itu yang jadi penyebab Tora mati-matian mempertahankan si Bian.
“Sebenernya apa, sih, yang bikin lo tiba-tiba keluar dari klub?” Liam mulai menyambungi obrolan antara Tora dan Bian.
Bian terkesan tenang. Dia selalu menjawab Tora dengan beberapa kata dan sesekali kekehan. Wajahnya tidak tampak terintimidasi dengan tatapan Tora yang mengisyaratkan awas-aja-kalau-lo-nggak-gabung-lagi. Rambutnya jabrik berwarna cokelat tua. Hidungnya bangir dan kulitnya lebih gelap daripada kulit Tora, alisnya tebal, matanya sedikit sipit dan tubuhnya tegap. Khas pemain basket yang hobinya olahraga dan panas-panasan. Cowok itu memakai kemeja kotak-kotak putih dan hitam yang digelung hingga siku dan celana kain. Rapi banget. Itu kesan pertama yang gue dapati saat pertama kali melihatnya.
“Mau fokus belajarlah, Bro. Gue dan kita-kita udah kelas tiga, sebentar lagi lulus. Gue nggak mau bikin badan gue capek, so, gue tetep nggak bisa lagi join basket bareng kalian,” kata Bian final.
Tora mengusap wajahnya kasar.
****
Selamat menunaikan ibadah puasa.
![](https://img.wattpad.com/cover/213344075-288-k803397.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[BADBOY SERIES#1] Skandal KAI
Roman pour AdolescentsKai muak dengan apa saja yang terjadi dalam hidupnya. Kai ingin pergi sejauh mungkin dari jangkauan kedua orang tuanya. Bagi Kai, London adalah kota yang penuh kebebasan. Tetapi kebebasan itu tidak didapatkan Kai dari kedua orang tuanya. Maka, atas...