"Start counting all the days
Forever I will stay with you
With you and only you""Yang itu bukan, tuh?!" Bagas menunjuk ke arah kanan dengan gak santai sehingga lengannya sedikit mengenai dagu gue.
Gue dengan refleks mendorong jauh lengan Bagas dan lalu memegangi dagu gue dengan sedikit kesal. "Santai aja bisa dong".
Bagas tak menghiraukan gue dan terus menatap ke arah tadi yang ditunjuknya, seseorang yang ia yakini adalah Febri.
Benar. Pada akhirnya gue mengaku kepada Bagas jika tujuan gue ke sini adalah untuk mencari seorang cowok yang mana adalah cowo taksiran gue. Hal itu akhirnya gue lakukan hanya karena Bagas gak bisa berhenti untuk menanyakan sudah sejauh mana gue mendalami musik indie? Padahal gue sama sekali gak peduli.
Reaksi Bagas saat gue mengakui alasan gue tadi terbilang melegakan sejak gue ini adalah orang yang sangat takut untuk dihakimi. Bagas bilang harusnya gue ngasih tau dia dari awal sehingga dia gak harus bantuin gue hanya karena tadinya dia tertarik sama gue. Gatau deh bener apa ngga. Walaupun pada akhirnya dia tetep nemenin gue mencari Febri karena penasaran dengan selera cowok gue.
Gue berbalik menatap Bagas kecewa setelah tadinya gue mengikuti arah jari telunjuk Bagas yang jujur aja terlalu frontal untuk menunjuk orang yang sedang kami cari secara diam-diam. "Gak gitu, dong, Gas, kan gue gak bilang dia botak", bahu gue melayu sambil terus menatap Bagas gemas.
"Ya kan lo juga gak bilang dia gondrong", bela Bagas, "cuma kurus dan pake kacamata, terus salah gue di mana?"
Gue menggeleng dan beranjak setelah tadinya terduduk di pinggir trotoar di sebelah booth mie instan.
Sudah hampir jam 9 malam dan gue belum juga menemukan di mana Febri. Gak mungkin Febri membatalkan acaranya ke sini karena terakhir gue lihat di instastory-nya, dia nge-post wristband acara ini tadi sore. Ngomong-ngomong gue gak akan seberani itu untuk follow Febri dari akun utama gue, jadi gue membuat akun palsu untuk follow dia.
"Kita ke bawah aja, yuk, liat Pamungkas", Bagas tiba-tiba narik tangan gue untuk berhenti berjalan menuju hall utama. "Lo pasti suka".
Gue sebenernya pengen banget ngelepasin tangan Bagas, cuma sekali lagi, gue bukan tipe orang yang bisa segalak itu sama orang yang baru gue kenal. Sepanjang jalan menuruni pilar parkiran, gue cuma terus menggerutu pada Bagas tentang bagaimana seharusnya dia tinggalin gue aja untuk cari Febri sendirian. "Gapapa, Gas, gue bukan tipe orang yang harus ditemenin terus ko, gue lebih nyaman sendirian ketimbang harus dipaksa get along sama orang yang baru aja gue kenal, kayak lo". Walaupun faktanya saat ini gak kayak gitu. Walaupun untuk pertama kalinya gue gak merasa energi gue terkuras habis karena harus memaksakan diri berinteraksi sama orang yang baru gue kenal, pada akhirnya gue harus fokus kepada tujuan utama gue. Mencari Febri.
"Mel", Bagas menatap gue serius tapi main-main, "lo aja gak tau si Febri sukanya musik kayak gimana, ye kan?"
"Mal Mel Mal Mel mulu lagi dari tadi, heran gue", gue memutar bola mata, "lo tuh sengasal itu ya jadi orang?"
Bagas cuma ketawa dengan nyebelin dan bilang kalau gue mau tau dia sengasal itu atau ngga, ya gue harus ikut dia nonton Pamungkas supaya kami tetep bareng dan bisa kenal lebih jauh. Gatau deh itu nyambungnya di mana.
"Gue kan ke sini mau cari Febri, bukan buat nontonin siapa pun", gue tetap menolak ajakan Bagas dengan maksud yang entah apa.
Bagas menghela napas capek, "hadeeeh, iya tau gue, nah terus kalo lo udah ketemu sama dia, lo mau ngapain? Nyapa? Mau ngapain? Ngeliatin dari jauh?"