"Making scene of fairy tale was it worthy?
White love in the drawing sand make it worth it"Sudah sekitar satu jam gue menunggu di area food court mal tempat acara berlangsung, menunggu Gaby dengan harap-harap cemas tentunya. Masalahnya adalah, Gaby gak kunjung datang sejak lima belas menit lalu dia mengabarkan gue.
Banyak banget orang yang lalu lalang, sebagian besar dari mereka adalah pengunjung acara musik ini. Iya, mereka sudah menukar e-tiket mereka dengan wristband hijau tosca di pergelangan tangan dan sudah dengan mantap menaiki eskalator gak jauh dari tempat penukaran tiket yang bersebelahan dengan food court tempat gue menunggu.
Gue terus bolak balik melirik jam tangan gue karena sangat gugup dengan berbagai macam pemikiran yang sudah memenuhi otak. Apa Gaby nipu gue? Apa dia kepeleset ketika menuju kesini dan kepalanya kebentur? Semoga aja nggak.
Sudah habis satu gelas es jeruk yang bikin gue bolak balik ke kamar mandi tiga kali dan juga tanpa menemui Gaby, sekali pun gue sudah menunggu setengah jam selanjutnya.
Menurut run down yang gue lihat di instagram acara ini dan juga suasana yang mulai menyepi, bisa dipastikan kalau mereka sudah memulai acara di atas sana. Di gedung parkir teratas dari mal ini.
Berbagai perdebatan mulai muncul antara hati dan otak gue tentang apakah gue harus menyerah dan kembali pulang atau sekedar jalan-jalan di mal ini alih-alih terus menunggu Gaby yang tak juga kunjung mengabari.
Gue berdiri dari tempat gue duduk di food court yang kini hanya menyisakan beberapa orang dibandingkan dengan waktu tadi gue pertama datang, yang pastinya dipenuhi oleh para pengunjung acara musik yang berniat untuk mengisi perut mereka sebelum acara dimulai.
Baiklah, mungkin bukan sekarang waktunya gue untuk jadi sedikit lebih dekat dengan Febri. Lagi pula, acara ini juga belum tentu menjadikan gue lebih dekat dengan Febri. Selalu ambil sisi positif dari setiap kejadian adalah kerjaan alam bawah sadar gue.
Sebelum membulatkan tekat untuk menuruni eskalator, gue memberanikan diri untuk bertanya kepada salah satu relawan acara yang sepertinya sedang menjadi penunjuk arah di sisi eskalator lantai ini. Dari tadi gue dateng, gue emang sudah melihat manusia berseragam dengan tulisan acara ini berdiri di setiap ujung eskalator mal untuk menunjukan arah.
"Eh, misi, mau nanya dong, lo kenal Gaby gak?", gue meringis saat bertanya. Itu yang gue lakukan ketika harus bicara untuk pertama kalinya dengan orang yang gak gue kenal. Maksudnya sih untuk terlihat lebih ramah aja.
Cewek yang sepertinya sepantaran dengan gue itu pun terdiam sejenak untuk sepertinya mengingat. "Ngg, nggak, kak", akhirnya dia memberikan jawaban mengecewakan. "Kakaknya mau ke Sounds Festival?", dia malah balik bertanya.
"Nah itu dia, tiket gue ada di si Gaby ini, dia volunteer juga soalnya, jadi gue nanya", cecar gue gitu aja.
"Waduh yang volunteer di sini kebetulan banyak banget, jadi aku gak hafal satu-satu namanya", cewek itu pura-pura cemberut untuk menunjukan rasa menyesalnya, dan pada akhirnya dia cukup membantu gue dengan memberikan ide untuk gue naik ke atas dan bertanya kepada relawan lain di sana.
Dan jadilah itu yang gue lakukan, menaiki entah beberapa kali eskalator untuk sampai di tingkat gedung tunjuan gue yang terlihat cukup sepi.
Di depan gate terdapat tiga orang relawan lainnya sedang asyik mengobrol sementara gue masih mengurungkan niat untuk bertanya kepada mereka dan berbelok ke kanan, ke tempat mereka menyediakan tempat untuk membuang kemasan minuman dan makanan dari luar yang memang gak bisa dibawa masuk ke dalam.
Sekali lagi, gue mencoba mengubungi Gaby dengan meneleponnya via Line dan berharap ada mukjizat yang datang sehingga gue bisa membuang jauh pemikiran kalau Gaby sedang menipu gue. Gue bersandar kepada barikade pembatas dan terus menunggu Gaby untuk menjawab.