XVI-Detensi : Kerja Sama & Puisi Cinta

151 20 28
                                    

Hari-hari kembali berjalan seperti biasa. Saking biasanya, Deven sampai lupa ini sudah berapa hari sejak ia resmi menjadi murid sekolahan yang puas makan asam garam kehidupan.

Seminggu masa orientasi. Seminggu lagi menjalani hukuman bersih-bersih plus tragedi tengkorak berhantu. Kemudian, seminggu lagi kegiatan amalnya bertambah menjadi bersih-bersih kotoran. Kemudian seminggu lagi sampai tragedi sepatu berlumur kotoran akibat ulah anak perempuan bar-bar. Dan sampailah pada detik ini.

Deven harus bersyukur, karena ini adalah minggu terakhirnya kerkencan dengan kuda. Dan hanya menunggu satu minggu lagi sampai kegiatan bersih-bersih perpustakaannya selesai.

Ia benar-benar berharap waktu akan berlalu dengan cepat. Deven benar-benar tidak tahan jika harus menghabiskan lebih dari seminggu dengan rekan yang menjengkelkan, seperti Anneth. Yang selalu saja melakukan segala hal sesuka hati dan membuat mood Deven memburuk.

Seperti sekarang.

Mereka sedang menyusun buku-buku yang telah dikembalikan dari peminjaman mingguan ke tempatnya masing-masing. Ms. Susan sedang mengambil cuti. Sehingga tugas mereka bertambah banyak.

Deven bukanlah tipe yang mau banyak-banyak berpikir. Sehingga ia menyerahkan tugas mendata dan mencatat kepada Anneth. Ia sudah cukup terbiasa menyusun buku dan membersihkan debu.

"Selanjutnya?" tanya Deven ketus kepada anak perempuan dihadapannya, yang sibuk mencatat deretan judul buku di dalam buku besar.

"Oi? Selanjutnya?" ulangnya lagi, dengan agak berteriak.

Anneth mendelik kepada Deven. "Bisakah kau bersabar?" ucapnya sengit.

Deven memutar bola matanya malas.

"Aku sudah bersabar sejak tadi. Kerjamu saja yang lambat. Padahal hanya duduk manis dan mencatat." Cibirnya.

Anneth menutup buku besarnya dengan geram.

"Kalau begitu, kenapa kita tidak berganti posisi? Kau bisa duduk manis dan mencatat saja," sarkasnya.

"Boleh saja. Tapi aku tidak suka pekerjaanku yang ini setengah-setengah. Jadi, tidak, terimakasih." Beralibi.

"Bilang saja kau tidak mengerti." Memprovokasi.

Deven menatap anak perempuan dihadapannya dengan tajam.

"Kau menantangku?" desisnya mengancam.

"Menantang? Hah! Sudahlah. Lupakan saja. Kau juga pasti tidak mengerti. Otakmu kan hanya sebesar biji kuaci." Sarkasme tepat sasaran.

"Kau akan menyesal menghinaku sayang,"

"Tidak akan."

Mereka berdua berbagi tatapan sengit. Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, namun mereka sekarang terjebak dalam perang dingin yang tidak kunjung usai.

Mereka memilih bekerja sendiri-sendiri. Mendata sendiri dan menyusun buku ke rak juga sendiri. Tidak ada lagi kerja sama. Ego mereka sama-sama besar untuk mengalah dari rival satu sama lain.

Anneth sibuk dengan tumpukan buku-buku yang siap untuk diantarkan ke raknya masing-masing. Sedangkan Deven masih berkutat dengan deretan judul-judul buku yang tertera di buku besar. Tidak ada yang mau berendah hati untuk membantu satu sama lain.

Tiga puluh menit berlangsung dengan sangat lambat. Anneth sudah siap mengantarkan tumpukan buku berikutnya ke rak A1. Deven juga telah menyelesaikan kegiatan catat-mencatatnya dan membopong tumpukan buku yang cukup tinggi ke rak A1.

Rak buku dalam deretan A adalah rak yang berukuran cukup kecil dari rak buku lainnya karena isinya adalah buku-buku novel umum yang kuantitasnya tidak sebanyak buku yang lainnya. Tiingginya pun tidak sampai setinggi Deven.

Makalehi [Próta]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang