XVII-Cito : Plester Luka

203 21 31
                                    

Charisa berjalan bersama teman-temannya menuju kantor Profesor Lipni. Aziel dan Friden juga mengekor di belakangnya.

Charisa senang dapat berbagi kebaikan di tengah-tengah kesulitan seperti ini. Setelah selesai mengerjakan jurnalnya, dia membagikan jawabannya kepada teman sekelas yang lain. Gagasannya tersebut juga disetujui oleh Aziel dan Friden. Ah, senang rasanya memiliki teman-teman yang juga baik hati.

Langkah Charisa terasa ringan. Saat akan berbelok menuju ruangan guru. Charisa melihat Anneth yang berjalan beberapa meter di depannya, tampak sedang bergumul.

Charisa tersenyum. "Hei, itu Anneth kan?" Serunya riang.

Aziel dan Friden dapat mendengar pernyataan itu dengan sangat jelas. Seketika mereka berdua mematung. Tidak tahu harus merespon seperti apa.

Charisa tidak terlalu memperhatikan perubahan kontras teman-temannya. Sehingga dengan semangat, dia melambai-lambai kepada sosok di depannya. "Anneth!" Serunya keras-keras.

Anak perempuan yang disapanya tersebut menegang seketika. Kemudian, tanpa alasan yang dimengerti Charisa, anak perempuan itu lari terbirit-birit. Menjauhi rombongan Charisa dan teman-temannya.

"Eh? Ann-,"

"Charisa!" Teriak Aziel gugup.

Charisa mengernyit kebingungan.

Wajah lugunya tampak sangat menggemaskan. "Hmm... Ya Aziel?" Tanya nya.

"Bukankah kita harus ke kantor Profesor Lipni?" Tanya Aziel canggung. Tampak sangat gugup.

Charisa menepuk dahinya.

Astaga. Dia sampai lupa. Mereka harus segera menyerahkan jurnal Cito hari ini.

Dengan kembali bersemangat, Charisa memimpin perjalanan menuju ruangan guru. Sejenak lupa bahwa dia baru saja diabaikan oleh Anneth.

Hanya butuh beberapa langkah. Charisa sampai di ruangan guru. Dan mendapati di ruangan tersebut, ada Robert yang sedang berbicara dengan Deven.

Charisa menatap Deven senang. Dia bertemu lagi dengan anak laki-laki yang kotor-kotoran dengan lumpur. Ah, sungguh menggemaskan.

"Ada apa Deven? Bukankah hari ini Misi Cito kelas kalian?" Suara berat Robert terdengar oleh Charisa.

Dia jadi penasaran.

Charisa berhenti tepat di depan pintu ruangan guru yang terbuka. Teman-temannya bingung mengapa Charisa me-rem mendadak. Tetapi, mereka tidak berniat untuk tanya-tanya. Mengingat ini adalah ruangan guru, dan mereka dilarang berisik.

"Oh, itu. Aku malas mengerjakannya Mr. Robert. Aku pilih bersih-bersih saja," jawab Deven enteng.

"Lagi pula, aku kesini untuk minta kotak itu." Lanjutnya, kemudian menunjuk sebuah kotak kecil berwarna biru cerah.

Well, dari kejauhan hanya itu yang bisa dilihat oleh Charisa.

Robert menghela napas kasar. Dia memilih mengalah, "Baiklah, baiklah. Kau ambil saja. Aku sudah cukup pusing menangani hal-hal merepotkan di sekolah ini," gerutunya muram.

Kemudian melenggang pergi ke bilik kantornya sendiri, yang bertuliskan ; Penjaga Sekolah

Charisa mendengar semuanya. Dia penasaran apa yang sekarang di tenteng oleh Deven.

Charisa masih konsentrasi memata-matai Deven. Sampai-sampai dia tidak sadar Deven sekarang sedang berdiri dihadapannya.

Dan sedang mengernyit bingung.

"Bisakah kau tolong minggir sebentar?" Pinta Deven sopan.

Charisa tiba-tiba kikuk. Dia gugup harus menjawab apa. Jujur saja, waktu bertemu Deven di dekat Istal beberapa bulan yang lalu, Charisa masih merasa biasa saja. Dia selalu mudah untuk bersikap ramah dengan siapapun.

Makalehi [Próta]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang