1. Dewi Bulan

17 1 1
                                    

"Selene sudah tidak tinggal, di sini lagi."

"Lalu, dimana Selene tinggal, sekarang?"

"Rumah sakit jiwa Dionisos."

Tepat dua jam sebelumnya, El mendatangi sebuah rumah sederhana di pinggiran kota Bandung. Rumah yang diyakininya, adalah tempat tinggal Selene. Tapi ketika El sampai dirumah bergaya minimalis tersebut, seorang remaja laki-laki bernama Nicander Arganta--mengaku sebagai sahabat dari Selene-- mengatakan bahwa Selene mengalami gangguan kejiwaan dan dilarikan ke Rsj. Dionisos. Salah satu rumah sakit jiwa terbesar di kota Bandung, yang dipercayai bahwa rumah sakit jiwa tersebut lebih terlihat seperti penjara, daripada rumah sakit jiwa pada umumnya.

"Aku harap, kau tidak akan terkejut, ketika melihat sosok Selene yang sesungguhnya." Kata Cander. Saat ini, Cander dan El sedang menyusuri lorong suram di lantai tiga, Rsj. Dionisos.

'Sepi.' Satu kata di pemikiran El untuk mendeskripsikan Rsj. Dionisos. Jika biasanya para pasien dibiarkan untuk berkeliaran, di sini justru para pasien tidak terlihat sama sekali. Seperti mereka terkurung di dalam kamar mereka masing-masing, dan pintu kamar terkunci rapat untuk mereka.

Dari awal keduanya masuk pun, dinding cokelat bata setinggi lima belas kaki menyambut keduanya. Lalu setelah benar-benar masuk,  gedung bangunan Rsj. Dionisos yang begitu suram, dengan cat berwarna putih yang sudah luntur menyambut kedatangan keduanya.

Benar, lebih terlihat seperti penjara, dari pada rumah sakit jiwa. Tetapi halaman rumah sakit jiwa tersebut sangat luas dengan rumput hijau, bunga-bunga bermekaran, dan pohon-pohon beringin yang tumbuh. Begitu kontras dengan bagunan dan dinding pagarnya.

"Ada apa, dengan Selene?" Ketika tahu maksud kedatangan El, kerumah Selene yang sekarang dihuni oleh Cander, Cander menawarkan dirinya menemani El untuk bertemu Selene.

"Semenjak terjadi penculikan di panti asuhan Cakradjaya, Selene selalu mencoba untuk mencelakai dirinya. Terhitung sudah dua kali lebih, ia mencoba untuk bunuh diri." Jelas Cander membuat El mengerutkan dahinya, bingung. "Para pengurus panti asuhan mendemo rumah sakit jiwa ini. Mereka berlomba-lomba mengutuk, dan menyalahkan Selena, atas apa yang terjadi kepada para anak asuh mereka." Jelas Cander menjawab kebingungan El.

"Itu terjadi, sekitar dua minggu yang lalu. Ini aneh, jika Selene berada di sini, siapa yang mendongeng tentang panti asuhan Cakradjaya? Ah, lebih tepatnya, siapa sang pendongeng selama ini?"

"Aku tidak tahu, semua ini penuh misteri. Benar bukan? Kau harus menyelidiki semuanya secara teliti, mungkin saja kau ketinggalan satu petunjuk."

Lalu keduanya menghentikan langkah di depan pintu yang bertuliskan 210, satu-satunya pintu bercat hitam, dengan hiasan bulan sabit yang besar.

Cander menarik napas panjang, sebelum meraih handle dan membukanya.

Begitu memasuki kamar tersebut, terlihat sesosok perempuan bertubuh mungil mengenakan pakaian tidur bermotif bunga-bunga, rambut hitam yang tidak terlalu panjang itu berantakan, wajah pucat pasi seolah tidak ada darah yang mengisi syaraf-syarafnya, mata cekung dan hitam menunjukkan bahwa perempuan itu kekurangan tidur. Anehnya, bibir perempuan itu terlihat berwarna peach segar dan sedikit membengkak, membuat El bertanya-tanya apa yang terjadi sebenarnya. 'Perempuan itu terlihat aneh.'

Lalu tatapan El jatuh pada beberapa bagian tubuh perempuan itu, yang tergores dan lebam, ia bahkan menemukan beberapa plester luka yang melekat.

"Luna." Panggil Cander lembut. El menatap Cander dengan tanda tanya, tapi Cander terlihat mengabaikan El dan melangkah pelan, menghampiri ranjang yang di duduki oleh Selene.

Tapi Selene masih diam, tatapan kosongnya mengarah lurus ke depan. Lalu ketika El menatap Selene tepat di netra matanya, Selene balas menatap El dan kemudian berkedip pelan.

"Siapa?" Tanya Selene dengan suara parau, matanya masih tetap menatap El, mempertanyakan siapa El.

"Dia adalah, Mengda Elfredo Huanra, Luna, seorang detektif swasta." Cander menjawab.

"Panggil saja saya, El."

"Untuk apa, kamu datang kemari? Aku sedang tidak menerima kunjungan, dan mungkin tidak akan pernah menerimanya."

"Saya butuh informasi dari kamu, Selene."

Tiba-tiba tubuh Selene menegang hebat, lalu dengan cepat bangun menyerang El. Cander sampai terkejut karena aksi Selene, ia tidak sempat menahannya.

"BAJINGAN KAMU! PERGI! PERGI SIALAN!" Bentak Selene memukul El dengan membabi buta, bahkan perempuan itu membuat sudut bibir El robek dan mengeluarkan sedikit darah.

"Stop it, Selene, stop it." Desis Cander mencoba menjauhkan Selene dari El. Remaja itu memeluk Selena dari belakang, mendekap Selene, dan memaksa wajah perempuan itu untuk terbenam di dadanya.

"SIALAN CANDER! SIALAN! KENAPA KAMU BAWA SI BRENGSEK ITU HAH!!" Bentak Selene tertahan di dada Cander, perempuan itu bahkan ikut memukuli Cander. Sedangkan El, laki-laki yang hampir berusia dua puluh sembilan tahun itu masih syok, atas penyerangan yang baru saja Selene lakukan.

"Luna, just calm down, okay? he is El, not Helius." Bisik Cander lirih, tepat di telinga Selene, "I protect you, Luna, I  protect you."

"He killed me Cander, he killed me." Bisik Selene mulai tenang, menangis pelan sembari memeluk Cander erat, dengan mulut yang terus meracau, "he killed me, he killed me cander, he killed me, killed me."

"Luna, if he kills you, I'll kill him too."

"He must die." Bisik Selene lirih sebelum jatuh pingsan tepat di pelukan Cander.

El hanya diam ketika menyaksikannya, ia menangkap wajah Cander yang juga mulai terlihat tenang seolah terbiasa dengan situasi seperti ini, dan peristiwa sebelumnya terlihat seperti cuplikan tidak penting di mata Cander.

"Kenapa Luna? Namanya Selene 'kan?" Tanya El menghampiri Cander yang mulai membaringkan Selene di ranjang.

"Dia memiliki trauma, dengan nama Selene. Aku lupa mengatakannya." Jawab Cander pelan, "Selene itu nama dewi bulan di dalam mitologi Yunani. Tapi bangsa Romai mengidentikannya dengan Luna." Kata Cander sedikit menjelaskan.

"Dia terlihat normal, tidak seperti orang yang memiliki ganguan kejiwaan pada umumnya. Ketika dia mengamuk tadi, dia hanya refleks karena saya menyebutkan namanya, Selene. Dia memiliki trauma, seperti yang kau bilang tadi."

"Memangnya kau pikir, Selene sungguhan memiliki ganguan kejiwaan?"

To be continued...









A/N
Hai semuanya, ini baru awal dan selamat membaca, hehe🖤

τον αφηγητή : Ton AfigitíTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang