By Ammi Poo
Terinspirasi dari sebuah kisah nyata yang ternyata banyak terjadi di kehidupan ini.
☘️☘️☘️
Namaku Adarga Handanu, orang-orang biasa menyapaku Danu. Orang bilang wajahku termasuk dalam kategori tampan, kulit bersih, dan juga perawakan yang atletis. Saat kuliah saja aku bisa memacari empat cewek sekaligus.
Saat ini, wanita yang beruntung memilikiku adalah Arini. Sebenarnya, dia bukanlah wanita cantik tapi entahlah ... justru hatiku tertambat padanya.
Arini, wanita mandiri yang mampu membuatku bertekuk lutut mengemis cinta dan mengabaikan gadis-gadis cantik lainnya. Wanita berkulit kuning langsat tinggi semampai namun tak pandai merias diri. Selain itu, dia juga kaku dalam urusan ranjang.
Ah, khusus urusan satu itu aku juga baru tahu setelah delapan bulan ini menikah dengannya. Sudah aku berikan tontonan film yang mungkin bisa untuk belajar, tapi tetap saja ia menolak dengan alasan malu.
Arini memang begitu polos, ia juga tak suka neko-neko. Delapan bulan menikah denganku, tak pernah aku dengar ia menuntut hal-hal yang di luar kemampuanku. Dia juga bukanlah gadis manja yang suka bergelayut dan merengek, sungguh ia berbeda dengan gadis-gadis yang dulu dengan mudah aku pacari.
Menilik latar belakang kehidupan Arini, wajar saja ia mandiri. Sejak kecil ia ikut paman dan bibinya, sedangkan ibunya pergi entah kemana semenjak cerai dengan ayah Arini. Didikan yang keras membentuknya menjadi wanita yang begitu tegar.
"Mas, Ibu akan datang besok," ucapnya pagi ini ketika sarapan.
Aku menghentikan suapan, dengan heran kutatap ia lekat. Sejak kapan ia berhubungan dengan ibunya? Bahkan saat pernikahan pun ibunya tak datang meski kami mencoba mencari keberadaannya untuk memberi kabar.
"Kenapa? Mas keberatan kalau ibu ke sini?" Wanitaku itu kembali berkata dengan ekspresi polosnya.
"Kamu yakin ibu akan ke sini?" Dahiku mengeryit tak yakin.
"Ibu kemarin telepon ke Paman Sam, dia bilang mau pulang. Tapi Mas kan tahu, ibu sudah nggak ada rumah di sana. Jadi, Paman Sam menyarankan untuk tinggal bersama kita." Panjang lebar Arini mencoba menjelaskan.
"Ya, terserah. Ini kan rumah kamu, semua keputusan ada di tangan kamu."
"Bukan begitu, Mas. Mas suami aku, jadi aku memberitahu Mas Danu." Nada suara Arini seolah menyiratkan rasa tidak nyaman karena jawabanku.
"Sayang ... dia ibumu, itu artinya juga ibuku. Jadi, tak ada masalah jika ibu mau tinggal di sini." Aku rengkuh jemarinya, berharap rasa canggung yang sempat menyambangi segera berlalu.
"Terimakasih, Mas." Kembali senyum wanitaku menyembul dari bibir tipisnya.
***
Bel di dekat pintu berbunyi saat tubuhku masih basah oleh guyuran air dari shower. Terpaksa ritual mandi besar aku batalkan dan bergegas menyambar handuk dan kaos.Bola mataku membeliak ketika membuka pintu bersitatap dengan makhluk seksi dengan penampilan yang sungguh menggugah naluri kelelakianku. Bibir yang penuh itu berpoles lipstik merah terang, kulit wajahnya begitu mulus dan licin.
"Maaf, ini benar rumah Arini?" tanya wanita yang menurut perkiraanku berusia 35 tahunan itu.
"I-iya, benar. Mbak ini siapa?" Aku tergagap karena berusaha menghalau perasaan aneh yang sempat hadir.
"Aku ibunya Arini. Apa kamu suaminya?"
Aku terhenyak. Bagaimana mungkin wanita itu ibunya Arini? Sangat jauh berbeda dengan Arini yang begitu bersahaja dan terkesan biasa saja.
"Arini ada?" tanya wanita itu sembari melongok ke dalam.
"Di-dia masih belanja, Bu. Mari masuk."
Tanpa menjawab ia melenggang masuk menarik koper hingga ke ruang tengah.
"Di mana kamarku?"
"Kamar?" Netra ini sedikit mendelik karena tetiba pikiran agak kacau melihat tubuh sintal nan molek di hadapanku.
"Iya, kamarku. Bukankah Arini sudah tahu aku akan tinggal di sini?"
"Oh, mungkin kamar ini, Bu. Karena Arini tidak berpesan apapun tadi. Dia kira Ibu datang agak siang."
"Baiklah." Wanita itu kembali melenggokkan tubuh seksinya, meninggalkan aku yang hanya bisa menelan ludah.
***
Semenjak kedatangan ibu mertua, ketenanganku terusik. Jujur, penampilannya lebih menarik dari Arini. Imajinasiku menjadi liar tatkala memandang tubuh sintal itu meski dari belakang.
Degub jantungku tak beraturan ketika harus makan semeja dengannya. Bagaimana tidak? Ia mengenakan siluet belahan rendah, memamerkan bulatan besar yang pastinya tak dimiliki Arini.
Hari ini genap lima bulan ibu mertuaku di sini. Ia jarang bicara dengan Arini, mungkin karena ikatan batin antara anak dan ibu itu tak terjalin kuat sejak Arini kecil. Ibu lebih suka menghabiskan waktu dengan menonton TV dan gawainya.
Pernah aku berusaha stalking akun facebook yang ia penuhi dengan foto selfie dan dibanjiri like dari kaum adam yang memuji kecantikan ibu mertuaku. Wanita yang ternyata berusia 44 tahun itu makin terlihat muda dengan hasil jepretan kamera jahat.
"Danu, bisa bantu Ibu?" panggilnya dari dalam kamar.
Aku yang hendak membuka pintu lemari es menjadi urung, padahal tenggorokan sudah ingin disiram air dingin. Tak ayal langkah ini bergegas menghampiri pintu kamar.
"Ada apa, Bu?" tanyaku masih di ambang pintu.
"Bantu Ibu menggeser lemari ini. Bosan dengan tatanan kamar ini. Kamu tahu kan, Arini seleranya nggak banget." Celotehnya sembari memegang sisi lain lemari.
Sebenarnya tubuhku lelah, baru saja pulang dari kantor sudah harus mendorong lemari. Tapi tak enak juga menolak permintaan ibu mertua. Mau tak mau, akhirnya aku menggeser lemari kayu pintu dua itu.
Tak hanya lemari, tempat tidur dan meja rias tak luput dari pemindahan. Bahkan memasang beberapa figura yang menampilkan koleksi gambar pose seksi ibu mertua, pose yang membuatku menelan ludah berulangkali.
"Danu, Arini pulang jam berapa hari ini?" Suara lembut itu tiba-tiba sudah ada di dekat telinga dengan hembusan napas yang menggoda.
Aku yang hendak memasang figura terakhir langsung terpegun bagai patung. Debaran itu semakin menjadi tatkala jemari itu menyentuh pipi, bibir, kemudian leherku.
"Ka-kata dia mau mampir belanja bulanan ke supermarket dulu, Bu." Aku masih tergagap dan memejamkan mata tak berani menatap wanita yang sedang menghembuskan aroma penuh goda.
"Danu, kenapa kamu nggak buka mata. Apa kamu takut?" Kali ini aku rasakan tangan lembutnya sudah bergelayut manja di leherku.
Dengan degup jantung yang semakin memompa kencang, kuberanikan untuk membuka mata perlahan. Ya, Tuhan ... begitu dekat hembusan napas itu. Naluriku sebagai lelaki bergejolak, tetapi hati kecil ini menarikku kembali ke otak warasku.
"Assalamualaikum," terdengar suara Arini yang menyelamatkan kesetianku.
Bergegas kuhampiri Arini, menyambut wanita sederhana itu dengan hangat. Mengambil alih belanjaan berat di tangannya sembari kucuri cium pipi yang disambut tawa kecil cerianya.
Sementara itu, sekilas kulihat tatapan aneh dari pemilik netra penuh goda saat melintas depan kamar yang hampir saja meluluhlantakkan kesetiaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penggoda Dalam Rumah
RomanceDia, wanita yang seharusnya kuhormati layaknya Ibu sendiri ... justru menjadi penggoda imanku. Aku lelaki normal, lelaki biasa yang tak lepas dari khilaf. Aku telah berusaha menjaga kesetiaanku, namun wanita dengan kerling mata nakal itu mengikis ke...