Hari demi hari kegalauanku semakin memuncak. Perasaan was-was kian tak menentu menguasai setiap sendi rasa takut.
Argh!
Semakin lama situasi ini semakin membuat batinku tertekan. Setiap langkah yang hendak kugunakan terbentur pada rasa tidak yakin dengan hasil yang nantinya akan kudapat.
Demi menjaga keutuhan rumah tangga, kuputuskan siang ini untuk pergi menemui teman lamaku, yaitu Martin. Berharap setelah mengobrol dengannya akan kudapati solusi dari semua permasalahan ini.
"Tumben ingat aku, Dan?" sapa Martin kala tulang duduk menyentuh kursi di cafe bernuansa klasik ini.
"Masih untung aku ingat kamu, Tin." sungutku tak berselera menanggapi kicauannya.
"Ada masalah apalagi?"
"Bobby."
"Bobby? Mantan ayah mertua tiri kamu yang pemuja nenek semlohai itu?"
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan panjang yang terlontar dari mulut Martin.
"Pesen kopi dulu, gih!" usulku pada Martin.
"Pakai sianida, nggak?" canda Martin sembari mengedipkan mata membuat tingkah konyol.
"Boleh, khusus buat kamu, Tin. Tapi sebelum minum bikin surat wasiat dulu, ya, hahaha ...." Akhirnya tawaku pecah, masalah yang membebani sedikit terlupakan.
"Waitress!" panggilku pada seorang pelayan wanita.
"Iya, Pak. Mau pesan apa?"
"Kopi dalgona satu, espresso satu. Sekalian croissant keju empat potong saja."
"Adalagi, Pak?"
"Sudah, itu saja."
"Baik, mohon tunggu sebentar, ya."
Setelah waitress pergi membuat pesanan, kembali pandanganku fokus ke lelaki yang hingga kini belum menikah juga.
"Aku mau bicara serius," ucapku mengawali pembicaraan.
"Yakin mau bicara serius?" Dahi Martin melipat dengan mata sedikit memicing.
"Bisa nggak kamu biasa saja?"
"Oke, aku akan biasa saja." Martin mengubah ekspresi dan membenahi duduk.
"Aku butuh bantuanmu untuk memecahkan kasus ini." Kulempar dua foto yang kutemukan di ruang kerja ke meja, tepat di hadapan Martin.
"Ini Bobby dengan siapa?" tanya Martin penasaran.
"Bobby dengan Arini. Mereka selingkuh di belakangku," jawabku ketus, ada nyeri teramat sangat yang kurasa di dada.
"Apa? Arini selingkuh dengan Bobby? Nggak mungkin banget, ini kamu pasti salah paham lagi!"
"Gimana salah paham? Itu bukti sudah ada." Aku semakin sewot karena sepertinya Martin tidak percaya dengan ucapanku.
"Kamu nemuin foto ini di mana?" Wajah Martin berubah serius, posisi duduknya menegak mendekat ke meja.
"Di ruang kerja."
"Foto kedua?"
"Juga di ruang kerja."
Sejenak Martin berpikir serius, kembali bola mata tertuju pada dua gambar yang masih tergeletak di meja.
"Wajah Arini nggak tampak, semuanya memunggungi kamera."
"Iya, tahu. Tanpa kamu ngomong juga aku lihat, Tin. Masih pakai komentar kayak gitu!" gerutuku kesal.
![](https://img.wattpad.com/cover/218687835-288-k547615.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Penggoda Dalam Rumah
RomansaDia, wanita yang seharusnya kuhormati layaknya Ibu sendiri ... justru menjadi penggoda imanku. Aku lelaki normal, lelaki biasa yang tak lepas dari khilaf. Aku telah berusaha menjaga kesetiaanku, namun wanita dengan kerling mata nakal itu mengikis ke...