Bab Dua

2.5K 151 29
                                    

Aku menerima uluran tangannya dan ia segera menarikku ke dalam ILY. Aku melangkahkan kaki ke dalam, sedangkan Ali terus memegang tanganku.

ILY tetap stabil bahkan ketika aku banyak bergerak saat masuk ke dalamnya, ciptaan Ali benar-benar hebat.

Aku segera duduk di kursinya dan memerhatikan Ali yang mulai sibuk memencet beberapa tombol. Pintu ILY segera tertutup dan Ali duduk di sebelahku.

“Hey, kau tidak menyetirnya? Bagaimana jika ILY menabrak sesuatu?” ujarku. Ali menggelengkan kepalanya.

“Tidak mungkin menabrak sesuatu. Aku telah menyalakan kemudi otomatis untuk kembali ke basemenku. Tidak akan ada hal buruk yang terjadi.”

ILY melesat dengan kecepatan rata-rata. Sepertinya kami akan sampai ke rumah Ali dalam waktu lima belas menit. Kurasa Ali sengaja menyetel kemudi otomatisnya supaya tidak terlalu cepat. Entahlah, aku tidak mengerti dengannya.

Aku sibuk melihat pemandangan di luar jendela. Cahaya dari lampu jalan dan rumah-rumah penduduk terlihat indah. Aku mendongak dan langit tampak kosong. Tidak ada bintang maupun bulan yang terlihat.

“Raib.”

Aku menoleh ke samping kiriku dan kulihat Ali yang sedang menyisir rambutnya dari depan ke belakang dengan jemarinya. Aku terpaku. Ia tampak keren jika begitu.

Oke, aku memukul kepalaku sekali lagi. Ayolah Raib, dia itu Ali! Ia selalu membuatmu kesal dan selalu menjahilimu. Seharusnya kau tidak terpukau dengan aksi menyisir rambutnya yang sangat sederhana itu.

“Jangan menatapku terlalu lama. Nanti kau menyukaiku.”

Aku bergidik ngeri, nyaris saja menyentil jidatnya. Ali tertawa melihat tingkahku.

“Jadi begini Ra, tipe ideal seseorang untuk jadi pacarmu itu apa saja?” tanya Ali. Aku bergeming. Apa-apaan dia menanyakan hal semacam itu? Lagipula jika ia tahu, untuk apa?

“Harus lebih kuat dariku—”
Ali tersenyum kecil diam-diam, aku tidak mengerti maksud senyumannya.

“—dan tidak menyebalkan seperti kamu, Ali.”

Aku tertawa puas dalam hati. Usai mendengar jawabanku, raut muka Ali berubah serius. Tidak ada senyuman lagi di wajahnya. Ia menatap kedua mataku lamat-lamat. Seolah menelisik, mencari tahu kebohongan apa yang ada di kedua mataku.

Aku merasa wajahku memanas. Entah sudah semerah apa wajahku saat ini. Apa maksud dia menatapku sedalam itu? Aku menunduk karena tidak mampu membalas tatapannya.

“Begini loh Ra,” Ali tiba-tiba memukul pelan jendela di belakangku dengan tangan kirinya. Ia menahanku supaya tidak menghindarinya, jelas sekali.

Aku sering melihat adegan sejenis ini di drama Korea yang sering Seli tonton saat aku ke rumahnya.

Ali mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku memundurkan kepalaku. Apa yang hendak ia lakukan? Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih sekarang.

Ali menyingkirkan beberapa helai rambut yang menghalangi wajahku ke belakang telingaku. Gerakannya benar-benar pelan dan lembut. Apa yang akan aku lakukan sekarang. Aku tidak tahu. Otakku berhenti bekerja.

“Aku tidak akan bilang jika aku menyukaimu,” kata Ali pelan. Napasnya menerpa kulit wajahku.

Wangi mint.

Aku tidak membalas dengan perkataan apapun. Ali belum menyelesaikan ucapannya dan aku menunggunya.

“Aku belum sepenuhnya menyukaimu. Belum.”

Jantungku berdetak sangat cepat. Ayolah, bisakah kita segera sampai ke rumahnya saja? Aku diam-diam menyesal menyetujui tawarannya jika begini terus. Jantungku tidak kuat menerima setiap perlakuan Ali padaku.

Bulan AldebaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang