Gadis kecil itu menahan pekikan yang hampir keluar dari bibirnya yang bergetar. Menutup telinga sekencang-kencangnya dengan kedua lutut yang ditekuk rapat dengan perutnya. Ia terduduk menggigil, rambutnya yang terurai tak karuan bergetar diiringi hujan yang mendominasi pelupuk matanya.
Diluar kamar terdengar perdebatan hebat antara kedua pasangan paruh baya yang tak henti-hentinya melontarkan kalimat seakan keduanya tak ingin dikalahkan. Saling mempertahankan ego masing-masing tanpa ada salah satu diantara mereka yang menyerah untuk mendengarkan. Luapan amarah membawa tangan kekar salah satunya meninju apapun disekitarnya, namun tetap menahan untuk melayangkan tangannya pada lawannya.
Raungan menggejolak di larut malam yang harusnya hanya melarutkan kelelahan untuk kesibukan seharian, buat mengembangkan tekanan emosi karna nurani sudah tak sanggup lagi. Semesta sudah semestinya ikut terbawa ke alam mimpi karna iringan melodi dari sang jangkrik namun apa daya lagi-lagi terjaga karna dua insan yang sangat pelik.
Untuk seorang malaikatkecil harusnya menyusun balok lego untuk perjalanan indahnya kini hanya beringsutketakutan ditengah hutan harus menyusun gubuknya sendirian sebagai pertahananyang bisa saja menjadi korban luapan api yang membara selanjutnya. Maka darihari itu, semesta lebih memilih melindungi malaikat kecilnya dibanding meleraidua orang tanpa hati yang hanya bisa menganggu ketenangannya.
YOU ARE READING
Dua Ego
Teen FictionJika kita masih mempertahankan ego yang masing-masing beda arah, lalu untuk apa kita saling menggenggam jika sudah tidak mungkin untuk bersama?