Langit sore memerah. Aroma petang menyeruak pada indra penciuman yang masih larut dalam pemandangan sore menuju malam. Bunyi klakson kendaraan membentuk alunan melodi yang membuat sebagian manusia terusik karna ketenangan yang hancur. Macet mendominasi jalan raya, pada seorang gadis yang mengaku bisa merasakan beberapa dari mereka sudah mengeluarkan umpatan kekesalan.
Cafe pun mulai ramai, para pelanggan berdatangan membawa berbagai warna perasaan, pikiran yang sangat tercetak jelas pada air wajah mereka. Ada yang datang dengan perasaan menggebu, si pencari inspirasi dari langit sore, beberapa datang untuk menghilangkan penat, sisanya hanya sebagai pelarian pada masalah yang tak pernah berhenti berdatangan.
Manusia, makhluk yang tak pernah bisa berpisah dengan berbagai masalah. Bedanya, mereka ada yang mampu menyembunyikan seorang diri dan mereka yang butuh seorang pendengar untuk mewakili, tak sedikit juga yang hanya bisa meluangkan semua keluh kesahnya pada semestanya sendiri. Berbagai warna itu melayang di langit-langit cafe berharap menemukan jalan keluarnya atau pun tempat pulangnya, mungkin?
"El, antar ini ke meja nomor 12 ya" Elara, gadis itu mengangguk seraya mengangkat nampan berisi pesanan seorang pelanggan.
"Roti bakar dan stroberi milkshake ya?" tanyanya pada seorang gadis sepertinya SMA yang tengah asik menuangkan tinta pulpennya pada buku yang sedari tadi dipandangnya.
Mata bulat dengan kacamata itu mendongak, tersenyum seraya mengangguk. "Eh, maaf ganggu. Semangat, hehe" Elara berlalu kembali ke bar, memantau pelanggan yang terus berdatangan.
"El! El! Sumpah gue potek banget" Citra mendekat, merusak kegiatan melamun Elara yang sedang nyaman-nyamannya sehingga gadis itu mendesis.
Citra menyodorkan ponselnya, "Kang Daniel jadian sama Jihyo, hiks"
Dengan malas Elara memutar bola matanya, "terus, Cit?"
"Apanya? Ya ampun El, gue lagi patah hati nih."
"Halu mulu lo, kerja sono"
Citra mendengus kesal, "Apasih, jam gue udah habis" ujarnya kemudian duduk dikursi samping Elara. "El, gue gak terima si Akang pacaran" ia bergelayut di lengan Elara membuat sang empu jadi terusik.
"Lo mau dia jadi jomblo akut, Hah? Lagian lo siapanya sih larang-larang orang buat pacaran"
"IH, gue masa depannya"
"Gue tanya deh sama lo. Emang si artis korea itu kenal sama lo?" Citra menggeleng.
"Lo pernah chatingan? Atau tukar kontak gitu?" lagi-lagi ia menggeleng.
"Pernah ketemu?" Citra menggeleng.
Elara menghela nafas, "gak ada peluang buat lo jadi masa depannya kalau kek gitu. Udah deh berhenti nge-halu, Cit."
"Ish, jodoh kan gak ada yang tahu." Ia menggerutu, sedangkan Elara hanya menggeleng pelan.
Dengan segala rancangan Yang Maha Kuasa tentang masa depan setiap manusia yang dilekati dengan segala ketidak-tahuan, manusia seakan ingin melebihi batas untuk menuntut takdir sebagaimana keinginannya. Kenikmatan dan kebahagiaan selalu diutamakan tanpa memikirkan setiap resiko yang mungkin tidak bisa dihadapinya ataupun ia tidak mengerti seberapa besar rasa sakit sebuah penyesalan yang tidak bisa direvisi.
"Belum pulang, El?" Neo partner kerja Citra dan Elara menghampirinya. Elara menggeleng seraya terkekeh pelan, "Belum lah, buktinya gue masih disini"
"Oh iya yah. Aduh pertanyaan bodoh macam apa itu barusan, haha" ujar Neo malu.
"Bola mata lo hampir keluar tuh" Neo kemudian beralih mengganggu Citra yang entah apa yang dilakukannya Elara pun bodoh amat terhadap tingkah temannya yang satu itu.
YOU ARE READING
Dua Ego
Teen FictionJika kita masih mempertahankan ego yang masing-masing beda arah, lalu untuk apa kita saling menggenggam jika sudah tidak mungkin untuk bersama?