In-Out -- 09

63 11 17
                                    

Ciuman lembut tanpa emosi aku berikan.

Aku dapat melihatnya terkejut akan kelakuanku.

Lembut. Dan. Pas.

•💜🧡•

Tumpul. Otakku ngeblank. Barusan itu ... apa?

Napasku tercekat. Sentuhan lembut tadi ... nyata?

Dia menciumku?! Kutatap matanya yang menutup itu. Begitukah wajahku saat menutup mata? Aku bukan lagi fokus pada ciumannya.

Aku bahkan tidak pernah melihat diriku sendiri sampai sekarang. Ternyata tidak terlalu buruk. Aku meneteskan air mata lagi. Dia yang sadar melepaskan tautan di bibir kami. Aku bisa bernapas lega sekarang.

“Eh? Sial. Aku tidak peduli apa yang terjadi denganmu, Daiki. Tapi jangan menangis di hadapanku.” rutuknya yang terlihat menggemaskan di mataku.

Apa karena dia ada di tubuhku?

Amarahku seolah menguap begitu saja.

Plak

Aku menamparnya karena tindak pelecehannya terhadapku. Mataku menatap tajam, sorot matanya yang teduh---karena dia ada di sana---menatapku kaget.

Dia memalingkan mukanya dariku.

BAKA!!!” teriakku padanya.

“Kautahu Yuya ..., mungkin semua pujian orang-orang itu merupakan pujian baik untukmu. Kau yang setiap hari mendapatkan kebaikan membuatmu sombong. Tapi aku tidak peduli, aku senang, dan itu yang aku inginkan ... yaitu menjadi dirimu. Haa ... kau mana tahu betapa berartinya semua pujian itu untuk orang hina sepertiku.” kataku tanpa henti. Aku benci tatapannya.

Dia melirikku, matanya yang tajam namun lembut itu. Kenapa? Kenapa tatapan itu seolah menusukku?

“Jangan menatapku seperti itu!!”

Plak!

BAKA!!” Dia menamparku balik. Bola mataku bahkan sudah ingin keluar akibat dirinya.

“Jika pujian yang kauinginkan, kau harus bisa menjadi dirimu sendiri, bukan merebutnya dari orang lain. Memangnya aku tidak risih dengan semua pujian mereka, mereka hanya melihatku dari luar saja. Kenapa kau menginginkan pujian mereka? Bodoh.” katanya dengan mata yang berbinar itu.

Aku tidak mengerti, mengapa Yuya tidak ingin pujian? Pujian yang selalu dia dapatkan, pujian yang selalu aku inginkan ... dia tidak menginginkannya? Perasaan apa ini? Sakit. Apa tubuh Yuya benar-benar kukuasai?

Yuya memunggungiku. Itu tubuhku? Aku bahkan tidak menyadari betapa indahnya punggungku itu. Kenapa ... di saat aku benci diriku sendiri, dia di dalam sana justru terlihat menikmatinya.

“Sekarang, apa kauingin mengembalikan tubuhku?” katanya yang masih memunggungiku. Aku tidak akan pernah mau.

“Aku ...,” ucapku menggantung.

••💜🧡••

“Sekarang, apa kauingin mengembalikan tubuhku?” tanyaku lagi.

“Aku ...,” Daiki menghampiriku.

Daiki mendorongku, dan lari begitu saja. Meninggalkan banyak pertanyaan di kepalaku.

Aku tidak mengerti, sebenarnya apa yang dia inginkan? Kenapa dia sulit sekali untuk dimengerti? Aku mengerang frustrasi sambil mengacak-acak rambutku. Gemas. Kenapa Daiki seolah menarik ulur permainan ini. Ini bukan permainan!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

IN-OUT [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang