Satu

134 18 3
                                    

"Khan, masih lama?" tanya Elsa kepada Arkhan lewat telepon seluler yang jaringannya putus-putus disekat hujan.

"Wait, Sa. Sehabis Asar kan? Lagian masih hujan dan ada yang mesti kubenahi dulu. Ban belakang motorku bocor, Sa," Arkhan menjelaskan sambil mengotak-atik ban motornya di garasi yang atapnya diselusupi air hujan.

"Yasudah kalau begitu. Aku tunggu,"

"Iya, Sa. Udah dulu, supaya lebih cepet aku nambalnya," Arkhan menyudahi percakapan. Dimatikannya teleponnya lalu mengantonginya di saku kemeja.

Peluh yang sebesar biji kacang hijau itu satu-satu muncul, mengalir ke pipinya dan jatuh di pundaknya. Kenapa juga mesti ada halangan, dan hujan pun tak kunjung reda, katanya, sambil sibuk menambal ban motornya sendiri yang tiap kali ia berkendara, motor itu tak henti-hentinya rewel dengan banyak macam kendala. Namanya juga sudah tua, mau dipaksa keren ya cuma bisa penampilannya saja. Dalamnya sudah rontok, rusak, komplikasi penyakit kendaraan. Yang rantainyalah, yang businyalah, yang bannyalah, ucap Arkhan meredam amarahnya yang hampir muncak tiap kali sakit motornya kumat di tengah perjalanan.

***

Sementara Elsa sibuk menghitung waktu. Menunggu Asar sambil mengecek timeline WhatsApp, Instagram dan sosial media lain yang ia punya. Ia sudah siap pergi. Tinggallah menunggu kekasihnya itu memarkirkan motor di halaman rumahnya, lalu melangkah perlahan di hamparan rumput, dan mengetuk pintu.

Tapi kekasihnya itu tak kunjung bilang akan berangkat dari rumahnya. Mungkin karena hujan. Tapi hujan kan anugerah, begitu katanya tiap kali hujan turun mengulur waktu temunya dengan Arkhan. Ia juga pernah bilang kepada Arkhan sewaktu mereka menunggu bus di halte sekolah bahwa tiap percik air hujan, ada doa-doa yang ikut jatuh. Doa-doa itu jelas beberapa kata yang dirangkai banyak orang yang tersangkut di awan lalu menjelma butir air dan jatuh, kemudian menguap lagi. Begitu seterusnya dan tak bosan-bosan doa itu jatuh dan menguap lagi hingga sampai pada Tuhan.

Kemudia Elsa pergi saja ke ruang tamu, duduk di sofa sambil memperhatikan handphonenya yang tidak berdering karena pesan masuk ataupun telpon. Meski begitu, ia perhatikan terus handphonenya sampai-sampai tak sadar tangannya sibuk memilin-milin, kadang mencubit kelopak bunga kertas yang selalu mematung di sudut ruang tamu. Barangkali bila bunga kertas dapat bicara, ia mau jadi kekasihnya yang tiap waktu hadir menemaninya di rumah. Tapi, Elsa tak peduli dan bunga kertas tak bisa bicara.

Elsa masih memperhatikan timeline media sosial lewat handphonenya, agar rasa bosan yang dirasa dalam tunggunya itu tak terlalu meluap-luap. Ia naik dan turunkan ibu jarinya di layar handphone dan tak ada yang menarik. Lalu Elsa menutup handphonenya sebelum dilemparnya sembarang ke sofa sebrang.

Tak ada yang bisa menerbangkan kebosanan yang hinggap di tubuhnya sekalipun sayup-sayup angin yang lewat sekehendaknya, angin yang tanpa permisi masuk ke dalam rumahnya, membelai rambutnya, yang membuat horden jendela menari tanpa irama.

Adzan Ashar berkumandang. Kini Elsa bergegas mengambil wudhu hendak menunaikan sholat. Sehabis sholat ia kembali dalam tunggu. Duduk di sofa sambil memperhatikan layar handphone dan menunggu pintu rumah diketuk-ketuk oleh kekasihnya.

***

Arkhan telah menambal ban. Motornya telah sehat dan siap melaju menuju rumah Elsa setelah hujan mereda. Tapi hujan seperti punya kehendak sendiri untuk membasahi jalan lebih lama, untuk menggelar rinainya lebih deras lagi. Benar, Sa, hujan itu anugerah seperti katamu. Ia mengajarkan kita sabar dalam tunggu, Arkhan berkata tanpa bisa didengar siapapun.

Hujan hari ini turun begitu lama. Tiap pepohonan berdesik seperti menyumbang nada-nada fals, ketambah partitur ganjil yang bergaung setelah petir timbul di permukaan awan yang kelabu. Benar, Sa, sekali lagi Arkhan berkata tanpa dapat didengar siapapun, bahkan sepasang cicak yang bekejaran di dinding dan menelusup ke balik bingkai foto. Benar, Sa, Hujan itu anugerah. Bunga-bunga yang kehausan bergembira karenanya, sawah-sawah, rawa-rawa dan ikan-ikan juga gembira pastinya, serta manusia, tak kekurangan air dan tak mesti antri membeli air hanya untuk mandi.

Dari saku kemeja, handphone Arkhan berdering.

Bayang-Bayang Dalam Hujan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang