Aku adalah pusat dunia.
Semuanya ada untuk aku. Dunia berjalan karena aku. Pada saat aku tidak ada, aku membayangkan dunia berhenti bergerak.
Detik-detik halus pada jam dinding. Omongan jelek tetangga tentang ibu muda dan satu anaknya. Kakak melayang di udara saat melompat di atas tempat tidur. Lalu, aku bangun dan semuanya kembali bergerak.
Kubuka mata pelan-pelan. Merasakan kulit mataku masih betah istirahat dan kesadaran mengendap-endap naik ke permukaan. Wajah seorang wanita dengan gurat tipis-tipis-sedikit membuatnya seperti jeruk mengerut-adalah objek pertama yang kulihat.
Senyumnya terkembang dan dia berbicara dengan suara riang dan tenang, "Nara sudah bangun?"
Aku membalasnya dengan senyum lemah.
"Makan cemilan dulu. Kamu pasti lapar habis tidur siang." Ibu menepuk ringan lenganku dan mengambil sesuatu di meja.
Aku menggosok mata dan duduk di sofa. Beban terbagi ke sebelah kanan ketika Ibu duduk. Dia menusuk sepotong apel dengan garpu perak kecil dan mengarahkannya padaku. "Aaa ...."
Aku menirunya, lalu apel mendarat di mulutku.
"Enak?"
"Segi-kit ha-gat." Aku menjawab dengan mulut penuh.
"Tapi kamu tetap harus makan supaya cepat besar." Ibu menyuapi potongan kedua lagi. "Tidak, tidak. Jangan terlalu cepat. Ibu masih mau punya satu anak lucu daripada dua anak bandel." Ibu menyeka sesuatu di pipiku, berbicara dengan gemas, "Makan pelan-pelan."
Semua ada untuk mencintaiku. Mutlak dan sewajarnya. Aku tidak pernah berpikir dunia bisa bergerak tanpaku.
Lalu, entah sejak kapan, pusat duniaku bergeser.
Aku menempatkan pribadi lain dalam posisiku. Di bawah lampu sorot itu, di tengah panggung. Seorang cowok yang selalu tampak bersinar, entah di tengah kerumunan atau dari kejauhan. Aku bahkan dapat mengenali rambut ikalnya dari belakang saat dia berlari keluar pagar sekolah dalam waktu sepersekian detik.
Menatap wajahnya yang kurus dengan tulang pipi menonjol dan bentuk mata turun ke bawah seperti seorang berhati lembut yang tidak tahu caranya marah. Melihatnya saja, sudah sangat mendebarkan. Fitur wajahnya dari samping juga tampak sempurna.
"Sok ngomong aristokrat, aristokrat. Bilangnya enak, ngerti kagak! Misuh-misuh tiap hari sok ngomong kayak orang pintar!" Freddy menabok belakang kepala Kafka dan langsung kabur.
Kafka melemparinya dengan sepatu. Sayang, lemparannya terlalu rendah. Baru berapa meter sudah jatuh. Suara tawa menjauh terdengar di sepanjang lorong.
Kututup lokerku dan memeluk buku erat-erat. Menjemput kesempatan sebelum keberanian sirna.
"Kak Kafka."
Sambil memakai sepatunya, ia mendongak dan bergumam, "Nara."
"Pulang sekolah nanti kita pergi lagi, kan? Aku pengen nyoba pentol di depan warnet, katanya enak. Tenang saja, habis itu kita pasti main PUBG-"
"Aku sudah lihat suratmu," potongnya.
Serangan tidak terduga membuatku membeku. Walau sangat cepat cair karena selanjutnya kurasakan pipiku memanas.
Kusematkan untaian rambut ke belakang telinga, tak berani menatap wajahnya. "Ah, Kakak sudah lihat?"
"Maaf, tapi perasaan kita nggak sama."
Kafka mengembalikan cokelat batang bungkus karton dengan bunga kering yang dililit bersama kain polkadot pink pucat. Surat warna pink diselip di bawah cokelat batang.
Dia mengusap tengkuknya. "Aku selalu menganggapmu adik kelas yang manis. Obrolan kita nyambung dan hobi kita sama. Tapi, aku nggak pernah melihatmu sebagai cewek."
Aku berusaha terlihat terkendali. Walau tiap kalimatnya menohokku. Kutelan bulat-bulat semuanya dan mengeluarkan secercah kepercayaan diri yang tersisa. "Kakak bisa mulai melihatku sekarang."
"Semuanya nggak semudah itu, Ra."
Kelopak mataku panas. Kugigit bawah bibir, menahan produksi air yang siap jatuh ke pipi. Kafka pasti menyadari apa yang kurasakan karena ia kembali berbicara, "Sorry."
Pernyataan cinta itu berakhir dengan air mata. Tanpa pelukan atau kalimat penghiburan. Kafka hanya berdiri di depanku, menemaniku sampai tangisku berhenti. Entah kenapa perbuatannya itu sedikit menenangkan, juga menyakitkan.
Saat itu, aku sadar. Tidak semua yang kuinginkan bisa kudapat. Dunia yang kukira menyukaiku, menamparku dengan penolakan.
Kupikir sampai di situ saja.
"Bagaimana anak magang di tempatmu? Kerjanya bagus?"
Tanganku berhenti di kenop pintu. Satu-satunya anak magang di bagian keuangan hanya aku. Kutebak pertanyaan itu ditujukan pada Mbak Farida, rekan kerja yang kubantu selama sepekan ini. Kakak yang ramah dan cakap kerjanya.
"Bagus sih, bagus. Tapi, anaknya rada songong," jawabnya, kental dengan logat Jakarta. "Mau diajarin tapi dianya sok ngasih tahu. 'Bukannya kalau ada returan barang, nota retur di-klip sama faktur penjualannya?'" tirunya, melebih-lebihkan dengan pengucapan cadel. Lalu, menggeram sebal. "Selalu saja motong kalau dijelasin. Nggak tahu adat emang."
Temannya tertawa. "Yang penting dia bisa kerjalah."
"Bisa kerja tapi bikin darah tinggi. Untungnya di mana coba?" Mbak Farida mendecak. "Dari awal aku nggak pernah suka dia. Pakai make up dan baju modis pas datang kerja. Dianya mau cari cowok atau cari uang sebenarnya?"
"Ssstt.... Ntar orangnya dengar lagi."
Hari ini, sekali lagi aku sadar. Pusat dunia yang kukira milikku dapat berjalan meski tanpaku. Aku tak lebih dari tujuh miliar manusia yang hidup di bumi. Aku dapat ditolak, diabaikan, dan dibenci.
Dunia tidak berporos padaku.
[ E N D ]
Jumlah kata : 786
Sudah dua minggu SOWL mandek malah update works baru :)
Cerpen ini diikutsertakan untuk event tahunan Montaks Death Match. Tapi tenang saja, deadlinenya masih agak lama jadi bisa main-main di SOWL juga.Terima kasih sudah baca. Vote dan komen kalau kamu suka atau kritik cerita ini.
See ya 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
PORTRAIT OF LIFE
Short Story#1 kumcer (22.05.2021) [ KUMPULAN CERITA PENDEK ] Semua orang hidup dalam satu potret. Ekspresi, personalitas, dan perasaan yang ingin manusia lain lihat darinya. Kehidupan yang ingin mengabaikan sisi-sisi lain yang tidak menarik, membosankan, dan b...