Jejak debu tipis-tipis menempel pada pipi cokelat anak itu. Wajahnya muram. Seperti tidak tahu senyum. Orang-orang bisa bercermin derita dan ratap dari mata anak itu. Sebagai pelengkap, tangan mungilnya menadah. Ketika belas kasih tidak kunjung diberi, ia tempelkan tangan pada kaca.
Mobil bergerak, tempelan telapak tangan cokelat pada kaca terlepas. Kibasan tangan dari pria pemakai jam tangan bertali emas mengusirnya.
"Kalau kamu tidak belajar sungguh-sungguh, kamu bisa kayak dia." Pria berjanggut serupa kekang mulut itu mengamati jalanan dari kaca jendela, melewati lampu hijau bersama mobil-mobil yang merambat. Ia melirik anak kecil di sebelahnya yang membisu. "Jamie."
Bocah laki-laki itu mengalihkan pandang dari jejak telapak tangan yang memudar di kaca kepada ayahnya.
"Ujian minggu lalu kamu juara dua lagi?" tanya ayahnya.
Tidak ada jawaban. Hanya kepala tertunduk di kursi belakang, seolah terpaku pada sesuatu pada jas seragam merah batanya. Sang ayah tidak mengerling, namun diamnya anaknya membuatnya tahu.
"Jangan kalah sama anak pembantu. Ayah tahu kamu bisa lebih dari dia."
"Namanya Cantika, Yah. Dia temanku, bukan anak pembantu." Akhirnya anak kecil itu bersuara, walau terdengar seperti cicitan.
"Ya, ya, kamu boleh temanan sama anak itu. Seperti pepatah bilang, 'kawanmu adalah musuhmu, musuhmu adalah kawanmu." Sang ayah membelai kepala anaknya. "Kamu tahu arti pepatahnya?"
Pucuk kepala Jamie terasa hangat dalam belaian, namun bulu romanya merinding. Jari-jari mungilnya terkepal di bawah.
Jamie menelan ludah. "Yang dianggap teman bisa jadi musuh?"
"Tepat. Kamu sedang dalam kompetisi, yang paling penting adalah menang," katanya, dalam tiga kali usapan. Seperti mantra yang dibisikan angin, ayahnya berucap dengan lirih dan tenang, "Ayah tahu Jamie yang terbaik."
****
Bagaimana rasanya hidup di lautan? Mengambang di dasar laut, berenang bersama ikan-ikan, melihat terumbu karang warna-warni, dan bunga-bunga laut menari menyambutmu. Pasti indah.
Atau tidak.
Habitat manusia bukan di lautan. Manusia yang terlalu lama tinggal di lautan hanya akan tenggelam. Jatuh lebih dalam ke tempat tanpa cahaya. Lalu ikan-ikan datang mencabik-cabik badan mereka sampai yang terasa bukan lagi sakit atau dingin. Kulitnya telah kebal. Membiarkan semua bergerak dan dirinya mematung. Hidup seperti mati.
"Jamie!"
Suara riuh rendah di sepanjang lorong melebur di telinganya dan hal pertama yang ia lihat adalah poster 'Under The Sea' pada papan mading di depan ruang guru.
Dari bunyi hentak-hentak kaki di lantai waktu jalan mendekat-tebakannya karena sepatu besar satu ukuran-dia tahu itu siapa. Gadis berkepang dua dengan jas merah bata pudar, kaos kaki kekuningan, dan sepatu yang ujungnya sudah terkelupas. Cantika menatap tas punggung Jamie penuh selidik. "Tumben datang telat." Lalu ia melirik papan mading. "Mau ikut lomba gambar?"
"Nggak, tadi habis ketemu wali kelas."
Matanya mengikuti pandangan Cantika pada poster lomba menggambar tema 'Under The Sea'. Poster itu mungkin cocok untuk bocah-bocah SD tingkat awal, tapi baginya yang ada di tingkat akhir, itu terlalu norak. Siapa juga yang memakai crayon warna-warni untuk poster lomba?
"Kamu dipanggil wali kelas tadi, katanya Pak Barto mau bicara soal dana bantuan."
"Oh! Iya, itu hari ini!" pekik Cantika kelewat semangat. Dia mengancingkan jasnya, lalu berjalan melewati Jamie. Belum genap dua langkah, dia berbalik lagi. "Makan siang di belakang sekolah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PORTRAIT OF LIFE
Short Story#1 kumcer (22.05.2021) [ KUMPULAN CERITA PENDEK ] Semua orang hidup dalam satu potret. Ekspresi, personalitas, dan perasaan yang ingin manusia lain lihat darinya. Kehidupan yang ingin mengabaikan sisi-sisi lain yang tidak menarik, membosankan, dan b...