Ruang Sendiri

242 43 4
                                    

Warning : Banyak narasi

****

"Communicate.
Even when it's uncomfortable or uneasy. One of the best ways to heal, is simply getting everything out and if you live bitterly, you live a lonely existence."

- Unknown

****

Manusia tidak butuh sayap untuk merasa bebas. Cuma butuh telinga yang mau mendengar, batu yang menekan hati perlahan terangkat. Dipahami jadi bentuk terpisah yang diharap terikat. Didengar hanya memberimu efek bebas sesaat, seperti kamu baru saja mendongeng anak kecil dan tersenyum ketika mereka tidur tanpa tahu jam-jam berikut mereka akan bangun dan merengek berjam-jam sampai subuh menjelang.

Manusia butuh dipahami.

Tapi, bagaimana kalau kata-kata tidak cukup untuk membuat mereka paham? Bagaimana kalau akhirnya setelah bicara mereka lari? Diberi tatapan kecewa dari orang yang kamu sayang? Pantaskah kita berkata jujur?

Jawaban orang mungkin beda-beda, tapi aku punya satu pengalaman yang buatku berpikir ulang. Ini terjadi beberapa tahun lalu. Saat langit gelap beratap bintang dan bulan bulat penuh, aku datang ke tempat wanitaku memakai pakaian kesukaanku. Dia selalu menggambarkan aku sebagai boneka tanpa jiwa. Selalu tersenyum. Mengatakan 'iya' ketika orang lain bilang 'iya', tak punya kesukaan atau ketergantungan pada sesuatu. Hari itu aku ingin menunjukkan sisiku yang tersembunyi, berharap dia bisa mengerti.

Pintu kayu mahoni dibuka. Derit pintu dari gesekan antar engsel terdengar. Senyum terbit di wajahnya menyambutku. Yang pelan-pelan redup seperti matahari pada langit sore. Mulutnya membuka, mencoba bicara. Tapi wajahnya sudah mengatakan semuanya. Dia mengamatiku dari bawah ke atas lagi. Tatapan sama dengan milik orang-orang ketika aku coba membuka diriku lebar-lebar.

"Maaf." Hanya itu katanya, sebelum menutup pintu di depan hidungku.

Paduan bicara dan dipahami tidak selalu sejalan. Kadang, lebih baik menjahit mulut daripada merasa lepas. Berharap dengan diam mereka bisa paham.

Aku kembali pada kenyataan dalam rupa boneka. Senyum ketika mereka senyum. Menjadi versiku yang disukai orang-orang. Tahun-tahun berlalu, tubuh dan pikiranku mulai matang, aku menemukan pendamping hidup. Seorang wanita baik yang memberiku anak gadis paling manis.

Istriku sangat perhatian. Dia rela menungguku pulang di teras rumah saat lembur hanya untuk memastikan aku tidak kesepian setelah berletih. Dia keras kepala, namun benar-benar memperhatikan detail kecil dari sudut wajahku waktu pulang. Tidak lupa merengek karena anak gadis kami terus meminta didongengkan ayahnya.

"Padahal aku lebih lama tinggal sama Malika, dia malah milih kamu," keluh Meira, kelewat sering.

"Anak perempuan biasanya memang lebih dekat sama ayahnya," kataku sambil melepas simpul dasi.

"Aku, ayah dan ibunya kalau kamu pergi kerja!" serunya, menggembungkan pipi.

Aku menertawainya. Pipinya yang gembul tampak seperti hamster makan biji bunga matahari. Biasanya, ia akan mengambil jas dan kemeja di tanganku, memasukkannya ke kantung laundry, untuk dibawa ke ruang cuci. Tapi, hari itu, ia hanya melipat jas dan menaruh di lipatan lengan, termenung melihat lantai seperti ada yang menganggunya.

"Kenapa Sayang?" kataku, melembutkan suara sambil menunduk agar bisa melihat wajahnya. Kubiarkan dasiku menggantung di bahu.

Bola karamelnya menatapku sekali, lalu berkedip dan turun kembali ragu-ragu. "Nggak apa-apa." Dia melumat bibirnya sebentar. "Tiap Sabtu kamu selalu menemani bosmu main golf. Bisa nggak Sabtu ini kamu skip? Sudah lama kita nggak keluar bertiga sama Malika."

PORTRAIT OF LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang