Pagi-pagi buta Ibran dikagetkan dengan penampakan Anta di dalam kamarnya. Cowok itu terbangun karena rasa tidak nyaman yang terus menggerayangi wajahnya akibat ada masker oksigen yang masih bertengger. Padahal, napasnya sudah baik-baik saja dan tidak butuh benda itu. Lalu saat ia membalikkan badan, ia disambut oleh Anta yang tertidur pulas dengan piyama hitam. Ibran tidak terlalu ingat apa yang terjadi semalam. Terakhir yang ada di ingatannya adalah omelan Anta yang sepanjang jalan kenangan.
Ibran mengguncangkan tubuh Anta keras hingga membuat si empunya terusik. Anta berdecak lalu membalik badannya, memunggungi Ibran. Ibran tak berhenti sampai di sana dan melanjutkan aksinya dengan menendangi kaki Anta tanpa perasaan. Anta mengaduh beberapa kali sebelum membalas tendangan Ibran dengan tidak setimpal. Tidak setimpal karena Ibran sampai berguling dan jatuh dari kasur.
"Eh anjir kekencengan," ujar Anta saat sadar sang keponakan malah jatuh dari kasur. Ia hendak kembali tidur, tetapi urung karena merasakan sesuatu yang aneh. Ia tidak mendengar suara sumpah serapah atau setidaknya rintihan dari Ibran yang berciuman dengan lantai.
Anta langsung buru-buru turun dari kasur untuk mengecek keadaan Ibran. Matanya membola sempurna kala melihat Ibran tergeletak dengan mata tertutup. "Bran ... Bran! Nggak usah bercanda deh, gue nendang elo pake tenaga biasa masa sampe mental." Ia menepuk-nepuk pipi Ibran mencoba menyadarkan cowok itu.
"Bran, enggak lucu elah. Jangan bercanda pagi-pagi gini," kata Anta sambil terus mencoba mendapatkan respon dari Ibran. Lelaki itu mendengus kemudian menggendong Ibran untuk ditaruh di atas ranjang. Cowok itu masih betah terpejam dan tak memberikan respon apa pun pada Anta. Tangan Anta mulai gemetar.
Anta lantas memberanikan diri untuk mengecek denyut nadi Ibran. "Weh anjer nadinya mana, kok kaga ketemu." Anta panik sendiri karena tak bisa menemukan denyut nadi Ibran.
"Bran, anjing ya lo kalo bercanda lo gue usir dari sini," balas Anta dibarengi dengan ketakutan yang mulai tumbuh. "Ibran, lo bercanda enggak sih? Lo jangan bikin gue takut dong ah."
"Gue telponin ayah lo nih." Anta mengambil ponselnya dan bersiap mendial nomor seseorang, bukan nomor ayah Ibran yang jelas. Bisa dipenggal jika ia ketahuan mencelakai putra dari pewaris utama perusahaan keluarga Mahawira.
Suara tersambung terdengar. Anta menunggu reaksi Ibran, tetapi tak kunjung mendapatkannya. Hingga akhirnya telepon tersebut dijawab. "Halo, ini--"
"Anta jangan, anjing!" Ibran langsung bangkit dan merampas ponsel Anta, tetapi sebelum hal itu terjadi Anta sudah memegangi lengan Ibran agar tak bisa bangkit. "Ta, enggak usah telpon-telpon ayah!"
Anta terkekeh pelan, lalu menunjukkan siapa yang ia telpon. Dan disambut desisan rendah oleh Ibran yang akhirnya kembali berbaring.
"Anjing lo emang."
"Sorry, Ta. Lagian lo nendangnya enggak berperasaan anjir punggung gue kaya kebelah dua jadinya," ujar Ibran seraya menahan lengan Anta yang hendak beranjak pergi. Cowok itu memberikan wajah semelas mungkin agar hati batu Anta dapat tergerak sedikit.
"Gak lucu." Anta segera bangkit dan menepis tangan Ibran dengan kasar.
"Ta, maafin elah. Lo juga 'kan salah."
"Ta-- anjir, sakit tau!" rintih Ibran ketika tak sengaja siku Anta mengenai pundaknya cukup keras. "Anta--"
"Gue udah sering bilang, gue enggak suka dibecandain kayak gitu! Selama lima tahun lo hidup sama gue masih enggak ngerti? Lo pikir lucu bikin orang lain khawatir? Sama aja lo sama si Esa-Esa itu. Otak ada tapi enggak dipake," sentak Anta berapi-api. Pada dasarnya Anta memang orang yang gampang emosi, jadi tidak heran kalau lelaki itu tiba-tiba meledak seperti ini. Anta dalam mode emosi dan mode tenang adalah dua manusia yang berbeda, setidaknya begitu di mata Ibran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pathetic ✓
Teen FictionBanyak orang yang mengatakan hidup Ibran menyedihkan, tetapi selama ini Ibran tahu kalau ia hidup bukan dari perkataan orang lain.