33. Yang Disembunyikan

199 17 0
                                    

" kadang kita berjalan terlalu memburu hingga tak sadar telah melewatkan banyak cerita semu. Padahal semu itu mampu membuat mu jauh lebih menahu "

Alina Aara Humaira
_______________________________


Setelah 7 hari wafatnya ummi aku sudah terbiasa dengan segala yang terasa berbeda.
Semua tentang layu yang ku usahakan tak larut dalam semu.
Seminggu ini masih terus ada sisa tangis yang sesekali keluar ketika lintasan-lintasan kenangan tentang beliau hadir.
Setiap sudut rumah yang telah menjadi Kanvas lukisan kenangan hingga membuat memori ku merekam semuanya.
Lalu bagaimana tidak haru ini tak tinggal lebih lama.

Aku terlihat baik-baik saja untuk Abi yang masih berusaha menjadi sepeeti biasa.
Meskipun Abi telah kembali beraktivitas mengajar di pesantren, sibuk dengan bertumpuk-tumpuk kitab salafnya, lalu pergi ke panti untuk mengganti jadwal ummi, Abi tetap tak bisa menyembunyikan hilangnya dariku.

Aku yang mulai terbiasa dengan berbagai ribetnya mengurus rumah dan memanfaatkan sisa waktu untuk bermuroja'ah sendiri.
Seperti sekarang ini, mushola kecil yg dulu selalu menjadi saksi merdunya senandung sholawat ummi, kini hanya aku yang menempati.
Tak sekali aku menumpahkan tangisnya ketika selesai menutup mushaf Al-Qur'an, bayang-bayang senyum ummi yang selalu disuguhkan ketika muraja'ah ku selesai selalu saja masih tampak seolah nyata dalam kepalaku.

Namun aku tak ingin larut, secepat itu ku usap agar buliran ini tak jatuh diatas sajadah kesayangan ummi.
Sajadah yang tau seberapa tulus beliau menumpahkan semoga yang tak berujung.
Menumpahkan setiap cinta yang tulusnya selalu menghunus.
Sajadah yang setia menjadi tempat tumpah paling indah.

Tok tok tok suara ketukan pintu terdengar disusul salam.
"Assalamualaikum."

Aku segera melepas mukena menuju pintu depan. Sekilas melihat jam, masih jam 09:30. Lalu membuka pintu.

"Waalaikumsalam." Mataku melebar, senyumku mengembang ketika mendapati siapa yang bertamu hari ini.

Ia langsung memelukku dengan hangatnya.

"Aku rindu Ra, maaf ya baru bisa datang berkunjung". Katanya masih dengan memelukku.

"Aku lebih rindu Shal, kenapa nggak bilang mau kesini". Kami masuk dan duduk diruang tamu. Sambil membuat suasana tak kembali sendu, aku tahu mata Eshal telah mengembun, dan aku tak ingin kembali mendung.

"Eh tamu dari jauh mau dibuatin minum apa ini hehe."

"Gak usah gitu lah Ra, biasanya juga gimana." Timpalnya

" Rela dari Aceh ke Semarang buat ketemu aku ya, rindunya sebarapa besar sih". Ledekku

" Rindunya tak terukur dari bentangan jarak yg sudah ditaklukkan." Tawa kami menggema.

Akhirnya setelah berhari-hari tak lagi ada suara tawa dirumah ini hari ini kembali hidup.

"Kamu dirumah sendirian Ra? Abi mu dimana, aku belum salim."

"Abi ada jadwal di pesantren, biasanya pulang habis Dzuhur".

"Ooh, pesantrennya Hariri itu ya?"

"Bukan punyanya Hariri, tapi pengasuhnya pekdenya Hariri".

"Oh iya deh itu maksud ku. Kamu gak maen ke pesantren gitu, dirumah sepi gini gak mau cari suasana lain Ra. Cari hiburan gitu kan lumayan bisa lihat Hariri hehe".

"Eshal kamu itu sukanya ngeledekin aku ih, kadang aku main ke pesantren buat ketemu Farah, atau pas lagi ada keperluan. Bukan buat ketemu Hariri".

"Ngomong-ngomong Hariri belum pernah bicara lagi tentang kalian?" Kini nada Eshal mulai merendah.
Aku mengernyit, kembali mencerna apa yg dimaksud. Aku baru ingat, selain aku, Eshal bahkan lebih mencintai Hariri. Aku sengaja menyembunyikan segala tentang ku dan Hariri darinya. Aku tak ingin menjadi penghianat sahabatnya sendiri tapi aku baru sadar sembunyi ku membuat luka lebih dalam untuknya.

Surga Ke-2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang