37. Tentang ikhlas

229 14 0
                                    

" pembahasan tentang persimpangan tak melulu tentang pisah. Kadang ia dihadirkan agar kembali mengukuhkan yang hampir rubuh, dan menantang yang ingin melintang."

Ahmad Hariri Firdaus
________________________________

Pagi ini aku baru saja badali (menggantikan tugas mengajar) Abah. Ini salah satu jadwal rutin di pesantren. Setelah selesai sholat jama'ah subuh seluruh santri akan menyetorkan hafalan bagi santri khufadz dan melanjutkan binadzor untuk santri formal atau yang lainnya.

Sholat jama'ah subuh masih diimami Abah, baru selesai dzikir tadi Abah memberi amanat ini sebab kata beliau sedang tidak sehat.
Abah bukan sosok yang dengan mudah meninggalkan kewajiban mengajar kepada para muridnya hanya karena alasan kecil.
Ku rasa beliau memang benar-benar butuh istirahat. Dan ya kata beliau ini juga dapat melatihku sedikitnya untuk memegang kendali pesantren kedepan.

Aku yang jarang pulang membuat para santri memang tak seluruhnya tahu. Dan kata Abah ini akan menjadi metode lain dari pendekatan kami.

Jam mengajar Abah biasa selesai sampai pukul 08.00.
Tapi kali ini aku menyelesaikan pukul 08.30.
Lebih lambat dari biasanya sebab masih banyak yang belum ku kuasai dalam penanganan beberapa santri.

Harusnya aku ingin memperpanjang waktu lagi sampai pukul 9. Tapi Madin bagi para santri salaf harus dimulai pukul 9, tak mungkin mereka harus telat atau kuwalahan membagi jadwal jika jam selesai akan berdempetan. Dan memang aku akan ada jadwal mengurus tiket untuk kembali ke Madinah.
Masa kuliah memang telah selesai namun ada tahap akhir yang belum diselesaikan.
Menyusun skripsi.

Sebelumnya Abah memang mengutus salah satu santri senior yang dipercaya mampu mengurusnya. Namun aku yang menolak.
Aku tak ingin terus merepotkan orang lain untuk urusan ku sendiri.
Meskipun santri tak pernah merasa direpotkan tetapi malah menjadi senang dan merupakan kehormatan jika diberi amanah atau tugas oleh guru yang paling ia ta'dimi, aku tetap merasa ini tak perlu.
Apalagi dalam pengurusan tiket keberangkatan dan sebagainya itu sudah biasa ku lakukan sendiri.

Aku yang baru keluar dari masjid yang telah kosong karena antrian setoran selesai langsung menuju kantor pengurus putra.

"Kang sampean lihat kang Farhat apa tidak?". Tanyaku pada seorang asatid yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Sekarang aku berada didepan kantor pengurus putra. Mencari Farhat yang dari tadi belum nampak batang hidungnya.

Biasanya jam segini dia masih mojok untuk muroja'ah didekat rak kecil sudut kantor yang digunakan untuk menyimpan berkas dan berbagai data pesantren.

"Tidak Gus, tadi ada yang bilang kang Farhat nya lagi keluar".

"Oh gitu, terimakasih ya kang".
Aku kembali masuk ke dalam kantor, Menunggu Farhat. Katanya ia juga ada urusan buat pesen tiket karena harus pulang kampung.
"Aku juga gak tau Ri, tumben ummah kekeh buat nyuruh aku pulang". Katanya tempo hari saat kami sedang menikmati waktu senggang.

Farhat asli dari Aceh. Ia disini tak punya saudara. Yang ku tahu dari ceritanya ia bisa masuk pesantren ini sebab orangtuanya satu angkatan haji bareng Abah. Mereka jadi akrab dan akhirnya Farhat dikirim kesini.

Farhat bisa menjadi tangan kanan Abah juga karena ia yang jarang sekali pulang. Hampir 3 tahun ini dia tak menengok kampung halaman.
Selain itu pribadinya yang baik meski terlihat sedikit 'bodoamat' dengan pandangan orang lain adalah keunikan dalam dirinya.
Mungkin akan menghabiskan banyak waktu jika harus terus mengupas sisi lain yang dalam dirinya, jadi cukup sampai disini tentang Farhat.

Surga Ke-2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang