02 | Songong?

160 20 87
                                    

"Gue bukannya nggak suka cewek. Gue lelaki normal, okay. Tapi kalian tahu sendiri, cewek tuh berisik. Dan gue suka ketenangan."

- Yolan -

***

"Jadi, kalian ngapain masih di sini?"

"Eh, i-itu. A-anu kak, anu itu, hm apalagi namanya tuh, i-itu kak–"

"Anu apaan? Bicara yang jelas. Gue nggak suka basa-basi." Protes Yolan sarkas. Nadanya ketus membuat dua gadis di hadapannya ini hanya bisa meneguk saliva.

Tak ayal Aci ikut sibuk mencebikkan bibirnya kesal. Lagi-lagi lidahnya tidak bisa diajak kompromi.

Diliriknya Desi yang semakin menyulut emosi. Bagaimana tidak? Makhluk astral–ralat. Okay, maksudnya sahabatnya yang lalod itu malah bersembunyi di balik tubuhnya.

Oh ayolah, Desi pikir tatapan naga api dari Yolan tak membuatnya takut?

Sial.

"Maaf kak. Maksud gue- eh. Maksudnya maksud aku, kita–"

Puk!

Mendadak seseorang menepuk pundak Yolan.

"Lho? Yolan. Ngapain di sini?"

Yang disebut namanya tentu saja menoleh.

"Eh, Pak Sandi." Sontak saja Yolan mengamit tangan Pak Sandi dan menciumnya sopan.

Murid teladan.

"Hanya memantau keadaan Pak."

"Ya sudah, kamu ke ruangan bapak sebentar, ada yang ingin bapak sampaikan."

"Baik Pak,"

Selanjutnya Yolan menolehkan kepalanya. "Kalian buruan kalau mau belanja. Kegiatan MPLS akan dimulai lima menit lagi." Ucapnya dengan nada malas.

"Iya kak, makasih." Balas Aci dan Desi bersamaan.

Mungkin, tadi saking asyiknya mengobrol dengan Yolan, sampai-sampai membuat Pak Sandi tak menyadari keberadaan gadis-gadis belia ini di dekat mereka.

"Oh, ini anak-anak calon peserta didik baru ya?"

Aci dan Desi lagi-lagi melakukan hal yang sama. Mengangguk, lalu mengucapkan, "Iya Pak," Dan selanjutnya mengamit tangan Pak Sandi lalu menciumnya.

Entahlah.

Mereka mengikuti tingkah Yolan, atau memang pada dasarnya mereka ini anak-anak sopan yang ternodai akhlaknya akibat perkembangan zaman.

"Ya sudah, bapak tinggal dulu. Dan sebaiknya kalian segera ke lapangan sesudah dari sini."

"Iya Pak."

Sedangkan Yolan?

Lelaki itu sedari tadi hanya sibuk berdecak sebal.

Untung ada Pak Sandi. Kalau tidak, maka kasusnya beda lagi.

***

SMA (Absurd)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang