Hari Patah Hati Sedunia.
Begitu headline yang tertera di majalah yang dipegang pria tua sangar itu, ia menatap sedih wanita yang diedit di samping berita terdepan sampulnya.
"Pak Bos ...." Sebuah suara terdengar, pria itu menurunkan majalah bertepatan wajahnya kembali menyangar marah.
"Lo pasti tau tugas lo hari ini, kan?!" Pemuda berkacamata berpakaian culun dengan kamera sederhana menggantung di leher itu terperanjat pelan akan bentakannya. "Ya udah, liput pernikahan Kaianna Thomas, film dan foto terbaik nanti bakalan gue beli!"
Pemuda itu tersenyum kecil. "Ma-makasih, Pak Bos. Eh, mm ... anu ...."
"Apa lagi?!" Lagi, si pemuda terperanjat.
"Ka-katanya penjualan majalah itu laris manis, ya, Bos? Mm ... bi-bisa saya jadi fotografer tetap?" Ia menggigit bibir bawahnya.
"Tetap, huh? Belum seumur jagung udah minta jabatan?" Ia sedikit ketakutan mendengarnya. "Oke, oke, nanti kita pikirin. Kemungkinan besar, kalau next time kek gini, oke aja."
Mata si pemuda berbinar. "Yas! Makasih banyak, Pak Bos!"
"Iye iye, udah sana lo! Jangan bikin gue berubah pikiran, deh!"
"Eh, mm ... ba-baik, Pak Bos!" Ia langsung buru-buru berlari keluar, dengan bahagia memasuki sebuah lift yang nyatanya baru melangkahkan kaki bunyi alarm penuh terdengar.
Seorang pria berjas spontan mendorongnya dan ia tak bisa melawan, ia tatap pintu lift tertutup di hadapannya dengan sedih. Namun hanya sekejap, senyumnya merekah melihat tanda tangga darurat.
Buru-buru, ia turun melalui tangga memutar tersebut.
Satu lantai ... napas mulai engap-engapan.
Dua lantai ... napas sudah tak beraturan.
Tiga lantai ... napas menyingkat.
Empat lantai ... lantai terakhir ... ia akhirnya sampai di lantai lobi utama, terduduk seketika untuk mengatur napasnya dan mengisi tenaga. Lalu fokusnya teralih pada karyawan-karyawan yang mulai berlarian keluar bersama kamera dan perlengkapan wartawan lain.
Buru-buru, ia mengekori mereka yang sudah lebih dahulu masuk van dan berangkat. Sementara dirinya menaiki sebuah sepeda reguler dan menjalankannya di jalur sepeda dengan cepat mengikuti benda itu.
Napas yang belum sepenuhnya benar serta tenaga yang belum terisi membuat pandangannya mulai berkunang-kunang, akan tetapi mengingat ungkapan bosnya bagaikan penambah kekuatan untuknya.
Semakin tahu ia akan sampai, semakin macet jalanan, bahkan jalur khusus pesepeda yang dilewatinya pun ikut penuh. Lautan tubuh yang semakin menghalanginya itu pun membuatnya memakirkan sepedanya di area parkir, dan kini menyelip badan demi badan.
"Permisi, permisi ...."
Dan kini, ia sampai di paling depan, terhimpit orang-orang dan pagar di hadapannya.
"Mas! Mas!" panggilnya pada seorang pria berjas yang berjaga di sana. "Mas! Mas! Saya fotografer dari majalah Phorbes!" Dan mendengar itu, si pria langsung menoleh. "Saya ketinggalan van, Mas!"
"Mana kartu pengenal Anda?"
"Ini!" Ia mengeluarkan sesuatu dari jaketnya ... hilang. "Ka-kamera saya ... dom-dompet saya ...." Ia merogoh seluruh area badannya, benda-benda itu menghilang sementara si pria kini berbalik seakan tak peduli. "Tapi, Mas!"
Si pria kini menelepon dengan seseorang melalui alat pendengaran kecil di telinga dan terhubung di kacamatanya.
"Uh ... saya liat ada yang manis-manis polos tadi, pick itu!" kata suara di seberang sana.
"Dimengerti!" sahutnya, dan kini berbalik lagi ke si pemuda fotografer yang bahagia karena si pria menatapnya lagi.
"Mas, kamera saya hilang, dompet sama kartu pengenal juga, saya kemalingan! Tapi serius saya ... pihak mereka, freelance, saya mohon temuin saya sama kru majalah Phobes biar dapet kamera dan kartu cadangan saya!" Ia memohon.
"Siapa nama kamu?"
"Brendon Estiawan, Mas. Saya mohon ... please."
"Aduh, muka melasnya manis banget ...." Suara di seberang sana terdengar lagi.
"Single?"
Brendon terlihat bingung sejenak, sebelum akhirnya dengan kikuk menjawab. "Sa-saya udah punya pacar."
"Gak peduli! Cuman pacaran! Ambil!"
"Ya sudah, kamu ikut saya!"
Di wajah Brendon seketika langsung terpancar bahagia, dan ia pun mengekori si pria berjas hitam dengan susah payah karena harus melewati tubuh demi tubuh hingga akhirnya sampai di bagian pintu gerbang. Dengan bantuan orang yang berjaga lainnya mereka membukakan pintu, Brendon masuk dengan susah payah karena orang-orang juga ingin menerobos.
Ia bisa masuk sepenuhnya dan gerbang ditutup kembali, namun nyatanya kacamatanya jatuh karena dorongan orang-orang tadi dan kini terinjak-injak, otomatis langsung hancur lebur karenanya.
"Kacamata saya ...."
"Ah ... manisnya ...."
"Cepat!" bentak si pria, mendorong Brendon keras. Kini ia bak dikawal oleh mereka dan dituntun entah menuju ke mana.
Mata Brendon menangkap van berisi kru yang tak jauh dari area tengah lapangan. "Eh, mereka!"
"Jalan!" bentak si pria lagi.
"Tapi itu kru sa—" Brendon langsung dibungkam, kemudian diangkat begitu saja, pemuda tersebut berusaha meronta namun tak ada yang bisa ia lakukan karena tenaganya yang tak seimbang.
Mereka kini membawanya masuk ke sebuah bangunan hingga akhirnya sampai di ruangan.
Ruangan penuh pakaian, meja rias, serta penata rias.
"Eh, ke-kenapa di sini?"
Mereka mendorongnya, memaksanya duduk, kemudian para penata rias me-make up-i-nya dengan para pria menahannya agar tak bisa ke mana-mana. Tak hanya itu, setelah para penata rias keluar, para pria berjas menelanjanginya secara paksa hingga menyisakan pakaian dalam.
"Ini-ini sebenernya ada apa?!" tanya Brendon frustrasi.
Tak ada yang menjawabnya, hingga kini menggantikan pakaian jaket kulit usang dan kaus oblong serta celana jin itu menjadi sebuah jas berwarna putih yang khas.
Ia menatap dirinya di cermin ....
"Ke-kenapa pakaian saya kayak mempelai pria gini?" Lagi, mereka mengangkat Brendon seraya membungkam mulutnya, membawanya masuk ke sebuah lift kemudian melepaskannya di hadapan karpet merah yang ada. "Ini sebenernya ada apa?!"
"Santai, Babyboy." Sebuah suara seksi membuat Brendon menenggak saliva, ia mengenal suara itu dan kala ia menoleh ia menatap dengan horor. "Uh ... Baby, jangan tegang, kek liat hantu aja." Ia menemukan seorang wanita dewasa cantik yang memakai baju gaun khas pengantin yang seirama dengan jas yang dipakainya.
"A-Anda Kaian—" Brendon tak bisa meneruskan kalimat, ia membeku, bahkan bisa ia rasakan seluruh badannya mendingin seperti es namun sedia lebur bak jelly.
"Ayo, Baby. Jangan bikin mereka nunggu, ini saatnya ... sumpah pernikahan kita."
Tak tahan, Brendon seketika pingsan di tempat.
Cerita ini tersedia di
Playbook: An Urie
Karyakarsa: anurie
Dan bisa dibeli di WA 0815-2041-2991
KAMU SEDANG MEMBACA
MENDADAK SUAMI [Brendon Series - E]
Romance21+ "Santai, Babyboy." Sebuah suara seksi membuat Brendon menenggak saliva, ia mengenal suara itu dan kala ia menoleh ia menatap dengan horor. "Uh ... Baby, jangan tegang, kek liat hantu aja." Ia menemukan seorang wanita dewasa cantik yang memakai b...