Sunset

51 5 0
                                    

Semilir angin lembut menyapu ombak pantai Gyeongpo, Gangwon-do.
Kicauan burung-burung petang yang hendak pulang ke sarang mereka masing-masing saling bersahutan. Belum lagi suara air laut yang menenangkan, mampu memanjakan setiap telinga makhluk hidup yang ada di sekitarnya.

Gadis itu menghirup aroma asin dari bibir pantai, menikmati angin petang yang sedikit membuatnya menggigil karena sebentar lagi malam akan tiba. Ia menghabiskan waktunya hanya untuk sekadar menikmati panorama alam yang tidak pernah membosankan, karena hampir setiap hari ia lihat. Momen apa lagi, kalo bukan matahari tenggelam?

“Hana!”

Gadis itu menoleh pada seseorang yang memanggilnya dan sedang berlari menghampiri.

Jimin.

Tetangga yang baik dan sangat perhatian padanya selama ini.

“Mengapa kau bengong disana? Hah?” tanyanya sambil menyampirkan mantel tebal berwana peach milik gadis itu yang ketinggalan di rumahnya.

Eoh? Ani. Aku hanya memandang-mandang saja,” Hana tersenyum tipis.

“Aku bahkan sudah melupakan mantel ini. Tapi sekarang kau membawakannya. Terima kasih,”

Jimin hanya mendecak kesal.
Ya! Lain kali kau tidak boleh keseringan melupakan sesuatu, bahkan jika itu bukan milikmu sendiri. Kau tahu? Jika kau sudah bekerja nanti, semuanya akan terasa sulit untukmu,” ucap Jimin menasihati. Sementara Hana hanya menganggukkan kepalanya tak acuh “Kau memang bawel Jimin-ah!” canda Hana disela-sela Jimin yang sedang serius menanggapinya.
Jimin hanya menatap Hana dengan kesal dan diam-diam melirik penampilan Hana yang sudah rapi.

“Kau tidak pergi hari ini ‘kan?” tanya Jimin memastikan.
“Maksudmu?” Hana tak mengerti.
“Beberapa hari yang lalu kau bilang ingin pergi ke Seoul untuk bekerja. Ehh… maksudku mencari pekerjaan, deh. Lagian siapa juga sih yang ingin mempekerjakanmu di sana?” tanya Jimin sambil berkacak pinggang yang bukannya membuat Hana kesal tetapi malah semakin tertawa.
Ya! Park Jimin! Dari tadi kuperhatikan mulutmu tidak bisa diam, ya?
Wah, aku akan sangat merindukanmu dalam perjalanan nanti, hahaha” tawa Hana semakin menjadi-jadi.

Jimin hanya memandang Hana dengan aneh. Dalam perjalanan nanti? Apa maksudnya?

“Berarti kau ingin pergi kesana sekarang juga?” tanya Jimin tak sabaran.
Ne,” ujar Hana ketika tawanya sudah berhenti.

Hening sesaat. Jimin menatap butiran-butiran pasir pantai di bawah kakinya. Entah mengapa rasa kehilangan mulai menghantuinya. Ia sungguh takut akan kenyataan yang selama ini tak pernah terbayangkan.

Wae?” tanya Jimin pelan. Belum mengalihkan pandangannya.
“Maksudmu?”
“Kenapa harus sekarang?” Jimin mulai memberanikan diri menatap wajah Hana. Tatapannya sendu. Ada perasaan kehilangan yang amat dalam mengingat wanita di hadapannya itu sangat dekat padanya selama ini. Tetangga mungkin bukan merupakan kata yang tepat untuk menjelaskan bagaimana hubungan mereka selama ini. Mungkin kata ’sahabat’ seharusnya lebih layak.

“Kenapa kau tidak bilang kalau hari ini kau pergi?” tanya Jimin lagi. Hana hanya terdiam. Bingung ingin berkata apa. Ya, ini salahnya. Seharunya ia memberi tahu Jimin bahwa hari ini ia akan pergi.

“Siapa aku di matamu? Mengapa hal ini tidak kau beritahu dulu padaku?”
“Aku sud...”
“Tapi bukan hari ini ‘kan? Kau tidak bilang padaku bahwa hari ini kau pergi?” Jimin langsung menyerbu Hana dengan banyak pertanyaan. Hana menarik nafas perlahan sebelum menjawab.

“Jimin-ah, mianhae. Bukannya aku tidak mau memberitahumu. Hanya saja, ibu kos sudah mengusirku hari ini,”
MWO? Bagaimana bisa?” Jimin membelalakkan mata. Tak percaya.
“Masa inap-ku sudah berakhir hari ini dan aku tidak  berniat untuk memperpanjangnya,” jelas Hana. Jimin hanya mengangguk paham.
“Tapi, apakah kau benar-benar harus pergi sekarang? Hari sudah hampir malam, Na…” Jimin memandang sekitar. Tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.

“Aku tahu, Jim. Tapi aku memang harus pergi. Aku tak punya alasan lagi untuk tetap tinggal disini,” Hana menatap lurus Jimin. Berusaha untuk tetap tenang meski dalam hati ia juga sangat sedih harus meninggalkan sahabatnya sejak kecil. “Aku…” Jimin menarik nafas sesaat.
“Aku belum bisa melepasmu pergi,” hanya itu yang bisa ia lontarkan. Jujur, Jimin tidak mau Hana pergi dari sisinya. Bila perlu, ia ingin ikut serta.

“Apa aku boleh ikut?” tanyanya tanpa pikir panjang. “Ya! Kau gila? Sejak kapan orang tuamu mengijinkan kau merantau? Hah?” tanya Hana tak percaya. Ia tahu betul betapa besarnya usaha orang tua Jimin supaya anaknya tidak ikut-ikutan seperti teman-temannya yang pergi merantau untuk mencari pekerjaan, karena mereka tahu betul kerasnya kehidupan di ibukota.

Berbeda dengan Hana. Bukan keinginannya untuk menginjakkan kaki kesana, tetapi nasiblah yang harus membawanya pergi untuk mencari pekerjaan yang setidaknya layak untuk merubah hidupnya. Ya, belum lama ini orang tuanya telah tiada. Mereka meninggal saat sedang menjala ikan di tengah laut. Ombak yang besar menghantam mereka ketika sedang berusaha mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kedua orangtuanya adalah nelayan. Meski begitu, Hana tetap bangga pada mereka karena mereka begitu menyayanginya sepenuh hati. Belum lagi kakaknya yang sudah lama menghilang tersapu ombak ketika sedang membantu orang tua mereka mengangkut ikan-ikan hasil tangkapan. Sungguh, Hana akan benar-benar sendirian selama ini jika Jimin tidak ada di sisinya.

Jimin hanya menatap langit yang berwarna jingga. Tanda matahari akan segera tenggelam. Sama seperti perasaannya yang benar-benar akan tenggelam ke dalam kesedihan tangisan yang tak merelakan kepergian sahabatnya. “Jimin-ah, mianhae,” tiba-tiba Hana menangis dan memeluknya erat.

Hana terisak sampai air matanya membasahi kaos Jimin “Jujur, A...Aku… tak punya pilihan. Maafkan aku,” tangisan Hana semakin menjadi. Tak sanggup untuk mengangkat kepalanya menatap wajah Jimin yang sebenarnya sudah tak sanggup juga menahan air mata. Jimin membalas pelukan Hana yang semakin erat. “Kau bodoh Hana. Benar-benar bodoh,” ucap Jimin yang berpura-pura tegar.

Hana tak mempedulikan ucapan Jimin. Ia semakin menangis ketika Jimin mengelus rambutnya pelan. “Kau harus mendiri, Hana-ya! Karena aku tak mungkin selamanya ada bersamamu,” Jimin tak kuat lagi membendung air matanya. Akhirnya ia juga ikut menangis.

“Apa kau menangis juga?” tanya Hana tanpa memedulikan perasaan Jimin. “Diamlah, biarkan aku seperti ini sebentar. Sebentar saja,” Jimin semakin mempererat pelukannya. Hana hanya sedikit terkekeh disela tangisannya.

Tanpa mereka sadari, matahari sudah mulai terbenam. Tepat dihadapan mereka yang sedang berpelukan di tepi pantai. Ya, pantai itu mungkin akan menjadi saksi, betapa perihnya hati Jimin yang harus melepas sahabat kecilnya untuk pergi ke Seoul. Tempat yang bahkan belum pernah mereka kunjungi sekalipun.







Annyeong haseyo!
Selamat datang di March(t)a!
Terima kasih udah luangkan waktu untuk baca 🥰
Ditunggu komen untuk part selanjutnya yaa 🎈


MARCH(T)ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang