So Long

305 35 2
                                    

Tanganku dingin, nyaris sedingin es. Kedua kakiku tiada henti menghentak-hentak di atas tanah. Pandanganku tidak fokus pada satu tujuan, terus menerus menoleh ke kiri maupun ke belakang. Aku benar-benar merasa gelisah.

Aku sudah berpamitan pada beberapa teman dan panitia yang masih ingin tinggal di social house tempat kami mengadakan reuni. Kekecewaan mengiringi kepulanganku saat sebagian besar diantara mereka menginginkanku tetap tinggal bersama mereka.

Masih rindu ingin bercerita sekaligus bercengkrama kata mereka. Wajar, karena setelah hampir 17 tahun kami tidak bertemu.

Namun, kebutuhanku untuk melepaskan rindu yang menyiksa batin selama kurun waktu yang sama pada seseorang, juga membuatku tidak bisa menahan diri.

Dan kini, aku tengah menunggu taksi yang akan membawaku menuju ke tempat yang sudah ditentukan. Saat yang kutunggu telah datang menjemput, kegelisahan makin menjadi karena jarak delapan kilometer yang harus kutempuh untuk menggapainya sudah semakin memendek.

Untuk mengurangi ketegangan, aku melirik ponsel yang sedaritadi kugenggam. Tidak ada pesan ataupun panggilan dari Park Jimin, suamiku. Setelah ia melanggar janji untuk mengantarku hari ini dan membiarkanku hampir kehujanan tanpa permintaan maaf, lelaki itu sama sekali tidak mencoba untuk menghubungiku. Kemarahan sempat menghampiri hati namun saat menyadari hanya tersisa satu traffic light terakhir, handphoneku berdering.

"Kau sudah dimana, Nji?"

Suara bariton yang terdengar begitu familiar menyapa telinga dan mampu sedikit menenangkan debaran jantungku yang menggila.

"Sebentar lagi aku akan tiba, tunggu," pintaku dengan suara setenang mungkin.

"Iya. Aku di kamar 111."

Deg! Bagaikan mesin mobil balap yang dipacu, kerja jantungku makin cepat memompa darah ke seluruh tubuh hingga naik ke sepasang pipiku yang kuyakini sekarang telah berubah warna menjadi kemerahan.

"Oke, bye," dengan berbisik karena tidak ingin pembicaraanku didengar oleh sang sopir, aku buru-buru menutup telepon.

Di saat yang sama, secercah kenangan 17 tahun lalu menghampiri benakku.

Hari itu seperti biasa aku menjumpainya lagi. Dia yang memiliki tatapan mata sehangat mentari pagi. Dia yang menjadi alasan utamaku untuk bersemangat menyongsong hari.

Sementara yang lain sibuk menggerutu karena hari Sabtu yang biasanya digunakan menghabiskan waktu dirumah, kali ini harus dipakai untuk datang ke sekolah karena ada digelarnya sebuah pentas seni.

Seperti biasa, ia akan duduk bersama keempat orang sahabatnya di sudut belakang ruangan kelas. Membahas obrolan disertai tawa renyah yang kurang kupahami. Sementara aku, duduk di barisan depan yang berlawanan dengannya. Walau begitu, sudut mata ini tidak pernah lepas mencuri kesempatan untuk menatapnya.

Dari belasan usaha, beberapa kali tatapan kami bertemu. Begitu singkat, kurang dari sedetik karena dengan begitu cepat aku akan langsung memalingkan wajah. Berpura-pura tidak terjadi apapun walau kebahagiaan membuncah dalam hati.

"Ayo kita keluar, sebentar lagi giliran Ji Hoon oppa akan manggung!" Suara tegas Bomi mengagetkanku.

"Wahh kira-kira mereka akan membawakan lagu apa ya? Aku benar-benar tidak sabar!" Ji Eun memekik kegirangan. Gadis berparas imut menangkup sepasang pipinya yang tengah bersemu merah, membuatnya jadi terlihat semakin menggemaskan.

"Ayo Ji," kurasakan Hyena merangkul pundakku saat aku bangkit dari tempat dudukku untuk menyusul kedua temanku yang sudah berjalan menuju pintu kelas terlebih dahulu.

Secret Love Story (KTH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang