Penunggu Rumah

23 4 1
                                    

     Langit semakin gelap dan awan semakin berat mengandung air yang siap jatuh. Sesekali langit bergemuruh menandakan air yang dikandung awan akan segera lahir. 'Tes!' 'Tes!' Air hujan mulai berjatuhan mengenai tanah coklat dan aspal abu. Aku mempercepat mobil yang kukendarai menuju rumah.
     Mobil yang kukendarai tadi ku parkirkan di dalam garasi rumah dan aku bergegas naik ke atas teras untuk bersantai menikmati setiap rintik yang jatuh. Aku menyukai hujan karena hujan dapat membuat hati menjadi tenang, namun aku juga pembenci hujan ketika malam hari, aneh bukan? Orangtuaku adalah tipe orang yang cukup sibuk dengan pekerjaan mereka, ayahku adalah seorang pengusaha tambang batu bara, sedangkan ibuku adalah seorang pengusaha dalam bidang kecantikan.
     Sore itu berjalan seperti biasanya tanpa ayah dan ibuku, aku bergelayut di atas ranjang sembari bermain handphone. Ketika aku ingin memperbaiki posisi berbaringku, tiba-tiba aku mendengar suara yang sangat dekat denganku sedang menyinden, aku mengira itu adalah tetangga, namun setelah kupikir-pikir lagi tidak mungkin karena rumahku cukup besar dan lebar sehingga membuat banyak jarak dengan tetangga. Entah pikiran darimana, terlintas di benakku bahwa suara yang dekat menandakan makhluk itu jauh dariku, tetapi suara yang jauh menandakan makhluk itu dekat denganku. Aku sangat terkejut ketika suara itu perlahan menjauh dariku dan bulu kudukku berdiri menandakan bahwa tubuhku merinding. Tanpa berlama-lama lagi, dengan cekatan aku langsung bangun dari ranjangku dan berlari keluar kamar.
     "Ngel?" Salah satu pekerja rumahku heran karena tiba-tiba aku keluar dengan raut wajah yang ketakutan. Namun, yang membuatku bingung adalah mengapa ia menuju kamarku dengan membawa segelas jus mangga.
     "Mba? Mau kemana? Kok bawa jus mangga?" Aku menutup pintu kamarku dan menatapnya kebingungan. Kulihat wajahnya jauh lebih bingung dariku.
     "Loh? Kan tadi Angel telepon ke dapur buat dibawain jus mangga ke kamar." Ia tersenyum menatapku yang bingung saat itu. Kamarku memang ada telepon khusus agar aku tidak kesusahan untuk memanggil pekerja rumah yang berada di luar kamar.
     "Hah? Aku gak ada telepon mba buat bawain jus kok. Aku aja tadi lagi main handphone," ucapku. "Mungkin kak Lilis kali mba yang telepon tadi."
     "Oh iya? Maaf ya, Ngel. Kemungkinan mba yang salah dengar, mba kira Angel yang telepon tadi." Ia menunduk dan segera melewatiku menuju kamar kak Lilis. Kak Lilis adalah istri dari kakakku yang pertama, Leon. Mereka sedang berkunjung ke Kalimantan untuk urusan pekerjaan.
     Setelah pekerja rumahku berlalu meninggalkanku dengan kebingungan, aku tersadar bahwa suara itu sudah hilang dan aku kembali masuk ke kamarku dengan hati-hati. Aku tahu bahwa itu adalah penunggu rumah dan tak mungkin kuceritakan pada keluargaku karena mereka tidak akan percaya, namun akhirnya kuputuskan untuk menceritakannya ke kakakku yang ketiga, Rafael.
     Matahari mulai tergelincir ke arah barat dan pemandangan depan rumahku sudah mulai gelap. Kulihat dari CCTV yang ada di kamarku, mobil pajero milik ayahku datang dan masuk ke dalam garasi. Selang beberapa menit mobil civic milik ibuku datang dan masuk ke dalam garasi juga.
     Kudengar dua langkah kaki yang kuyakini adalah ayah dan ibuku sedang menaiki tangga menuju ke lantai tiga, dimana kamar mereka berada. Tidak hanya CCTV, rumahku juga difasilitasi dengan alarm darurat jika ada seseorang yang tidak dikenal masuk ke dalam rumah, alarm itu ada di mana-mana kecuali kamar tidur, kamar mandi, ruang tamu, dan dapur.
     Merasa bosan, aku keluar dari kamar dan mendatangi kamar kak Lilis untuk bermain dengannya karena kebetulan kakakku yang pertama sedang keluar bersama dengan temannya bermain basket.
     "Kak," panggilku sembari mengintip dari celah pintu yang telah kubuka sedikit. "Ceritaan yuk? Bosen nih di kamar terus. Banyak cerita nih, dari A sampai Z ada semua."
     "Eh? Masuk aja sini." Ia mengalihkan pandangannya dari handphone ke arahku dan mempersilahkanku masuk.
     Aku masuk ke dalam kamarnya yang bernuansa putih dan emas dengan tirai merah yang menjuntai untuk menutupi aktivitas di dalam kamarnya. Aku duduk di pinggir ranjangnya dan mulai berbincang dengan kak Lilis mengenai berbagai hal.
     "Iya, padahal udah tiga jam kutunggu di sana, tapi ga datang-datang sampai ayah jemput." Ucapku sambil menggelengkan kepala dan bergelayut di atas ranjang kak Lilis menatapnya.
     "Astaga, tapi—" Alarm berbunyi dan dengan cekatan aku turun dari ranjang segera keluar kamar untuk memeriksa alarm nomor berapa yang berbunyi dan ada siapa di sana.
     Saat aku keluar kamar, kulihat ayah turun dari kamarnya dan Rafael keluar dari kamar juga untuk memeriksa alarm yang sedang berbunyi.
     "5 yang bunyi." Ucap Rafael sembari mematikan dan menghidupkan kembali alarm yang bunyi, aku segera berlari dan melihat CCTV yang juga ada di dalam ruang keluarga. Nomor 5 menandakan garasi, namun ketika kuperiksa garasiku melalui CCTV, tidak ada apa-apa di sana dan tiba-tiba alarm rumah berbunyi lagi untuk kedua kalinya.
     "6 yang bunyi!" Teriak Rafael dari ruang tamu dan aku langsung memeriksa tempat yang dimaksud Rafael, yaitu gudang bawah yang memang gelap dan tidak begitu dirawat karena tidak ada pekerja rumah yang berani berlama-lama di dalam sana, konon katanya mereka sering melihat makhluk-makhluk halus ketika membersihkan gudang itu.
     "5 dan 6 ama—" Lagi-lagi alarm rumah berbunyi lagi, namun yang kubingungkan adalah ketika Rafael meneriakkan bahwa yang bunyi adalah nomor 9, yaitu lantai empat, tempat menjemur baju. Aku segera melihat tempat itu dan aku tekejut dengan apa yang kulihat. Aku keluar dari ruangan itu dan berlari menuju mereka.
     "Ada orang di lantai empat, cepat periksa, aku lihat bayangan tadi dan itu jelas banget!" Aku panik karena takut ada pencuri di dalam rumahku. Ayah yang mendengar itu langsung berlari menuju kamarnya mengambil senjata api diikuti oleh Rafael. Ibuku yang tidak tahu apa-apa langsung turun dari kamarnya mendatangi aku dan kak Lilis dengan membawa pentungan yang jika ditarik bisa menjadi senjata tajam. Ia menyuruh kita untuk berkumpul dan masuk ke dalam ruang keluarga saja.
     Takut dan panik. Itu yang kurasakan, bagaimana bisa ada pencuri yang masuk ke dalam rumah dan melewati satpam-satpam yang sedang berjaga di bawah. Kulihat dari CCTV, satpam sedang berjaga-jaga di bawah seperti biasa, padahal mereka tahu bahwa alarm rumah bunyi tanpa henti. Aku bingung kenapa mereka seperti itu dan terlintas dibenakku untuk memecat mereka semua karena tidak bertindak di saat seperti ini.
     'Dor!' 'Dor!' Aku, ibu, dan kak Lilis terkejut mendengar suara itu dan tentu saja aku khawatir siapa yang tertembak dan apa yang sedang terjadi di lantai empat. Lagi-lagi satpam-satpam di bawah tidak bereaksi sama sekali mendengar itu, mereka seperti orang-orang yang tidak mendengar apapun dan berjaga seperti biasa.
     "Lantai empat kosong," ucap Rafael sembari membuka kamar tidurku. "Kamu salah lihat kali, aku udah nyalain lagi alarm."
     "Terus kamu nembak apa tadi?" Tanya ibuku bingung kalau tidak ada orang ngapain dia menembakkan senjata itu.
     "Tadi aku tembak ke arah gudang buat takut-takutin kalau memang ada orang di rum—" Lagi dan lagi, alarm berbunyi dan menunjukkan nomor 7, ruang kerja ayah dan ibuku. Rafael langsung menutup pintu kamarku dengan frustasi karena alarm itu terus berbunyi tak henti-hentinya. Kulihat CCTV di dalam ruang kerja dan lagi-lagi tidak ada apa-apa di dalam sana. Namun, tiba-tiba mataku tertuju pada pintu belakang ruangan itu. Aku terbelalak tak percaya dengan apa yang kulihat, segera kutunjukkan jariku ke arah layar. Ibu dan kak Lilis juga terkejut dan ibu langsung mengunci pintu kamarku serta kembali berjaga-jaga bersama kami.
     Aku mencoba untuk menelepon satpam, namun usahaku tidak membuahkan hasil karena tidak ada yang menjawabnya, saat itu aku benar-benar ingin memecat mereka walaupun tidak disetujui ayahku, aku akan tetap memberontak untuk memecat mereka.
     Satu jam kemudian ada orang datang mengetuk pintu kamarku. Tak langsung kubuka, aku mengintip dari lubang kecil yang terdapat di pintuku dan ternyata itu adalah ayah dan Rafael. Kulihat wajah mereka sedikit pucat dan berkeringat, mungkin karena berkeliling ruang kerja tadi. Kubuka pintu itu membiarkan mereka masuk ke dalam.
     "Mety, kamu ada dorong lemari yang tutupin pintu belakang kantor?" Tanya ayah dengan hati-hati. Aku tahu itu yang akan ditanyakan dan aku juga tahu jawaban ibuku selanjutnya. Ia menggeleng dan membuat ayah terkejut.
     "Bahkan aku gak kuat mendorongnya." Ucap ibuku yang memang masuk di akal karena tubuhnya kecil dan lemari itu sangat besar. Tidak hanya besar, namun lemari itu juga ditumpuk dengan lemari lainnya lagi.
     "Kita gak lihat siapapun di sana, yang kita lihat hanya seekor kelelawar yang sangat besar," ucap Rafael sambil menatapku. "Memang ukurannya tidak wajar sih."
     "Gak mungkin kelelawar kuat mendorong itu. Lemari itu benar-benar besar dan berisi banyak dokumen, masa bisa seekor kelelawar mendorong itu semua? Bagaimana ia bisa melalui garasi dan gudang menuju lantai empat tanpa membunyikan alarm gudang di lantai dua?" Jelas ibuku yang telah mewakilkan apa yang ada di pikiranku, ini semua tidak logis. Aku dan pikiranku bergumul mengenai hal ini, hal yang sangat tidak masuk di akal. Namun, tiba-tiba aku mengingat bahwa jika ada kelelawar yang masuk ke dalam ruangan tempat manusia berada, itu artinya akan ada kesialan datang.
     "Itu bukan kelelawar." Ucap ayahku dengan singkat sembari melihat CCTV. Kami berbalik badan dan melihat bahwa lemari itu kembali bergeser dan pintu belakang ruang kerja ayah dan ibuku terbuka cukup lebar.
     Kami terus berdiskusi di dalam kamarku hingga kak Leon pulang bersama dengan temannya. Temannya menginap di rumahku dan tidur di kamar tidur khusus tamu. Setelah ia pulang, segera kami memanggil teman dan dirinya ke dalam kamarku untuk berbicara mengenai kejadian yang tidak logis tadi. Mereka setuju dengan ucapan ayah bahwa yang masuk tadi bukan kelelawar, mungkin makhluk lain yang menghuni rumah ini.
     Satpam-satpam yang berjaga mengaku bahwa mereka tidak mendengar apa-apa dari dalam rumah, begitu juga dengan para pekerja di rumahku. Mereka berkata bahwa tidak ada yang aneh malam itu, semua berjalan seperti biasa.
     Aku percaya bahwa mereka bukan makhluk yang mengganggu, mungkin hanya mengajak kami semua untuk bermain sebentar di malam itu. Hari itu sudah dua kali aku bertemu dengan dua penghuni rumahku dan kurasa cukup mengenal mereka. Si penyinden dan si kelelawar. Mulai dari saat itu, suara kelelawar terus terdengar hingga dua minggu, tapi kami tidak mengetahui dimana kelelawar itu berada.

————————————

dont forget to vote and comments, dear.
let the fear comes to you 🕷

Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang