'Srekk' Kubuka tirai yang menutupi jendela di dalam kamarku dan menarik nafasku sembari tersenyum lebar, "Good morning, world. Be nice please!" Aku berbalik dan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap menghadapi tes masuk SMA ku di salah satu sekolah terfavorit di Jakarta.
Kutatap diriku tersenyum di depan cermin dengan seragam sekolah yang lengkap dan keluar dari kamar mandi kemudian turun ke ruang makan. Kulihat ada pekerja rumahku yang sedang membuatkan sarapan, dengan semangat aku bertanya, "Pagi bii, buat apa nih hari ini?"
"Roti yang spesial dehh, kan ini hari yang spesial juga buat nonaa." Jawab pekerja rumahku sembari tersenyum dan melihat ke arahku yang sedang duduk menunggu kehadiran roti spesial buatannya. Roti spesial itu dipanggang dengan mentega dan taburan gula, tidak lupa ditambahkan dengan telur setengah matang di atasnya, sungguh surga duniawi yang kutunggu-tunggu.
Bibi menghampiriku dengan senyumnya dan meletakkan piring putih bergaris emas itu di hadapanku, rotinya hangat dan harum sekali, aku segera berdoa dan melahap roti yang berada di hadapanku tadi. Tidak sampai 5 menit, roti itu sudah berada di dalam perutku. Aku berterima kasih kepada bibi dan menggunakan sepatu sekolahku yang berwarna putih polos, berjalan menuju mobil yang terparkir di depan rumahku. Pak Adit sudah menungguku di dalam mobil dan tersenyum ketika aku masuk ke dalam mobil, pak Adit adalah supirku, beliau sangat setia pada keluargaku, sudah 12 tahun beliau bekerja di sini.
Sesampai di sekolah impianku, aku turun dan mencari informasi di dalam agar tau di mana seharusnya aku menunggu. Aku melihat ke kiri dan ke kanan berusaha mencari orang yang terlihat friendly agar bisa menemaniku hingga ujian ini selesai. Mataku menangkap satu orang yang cukup menarik perhatianku, ia tinggi, badannya sangat proposional, rambutnya tidak hitam melainkan dark brown, entah karena terkena matahari atau memang warnanya seperti itu tetapi aku merasa tidak asing ketika melihatnya, apalagi saat ia tertawa dengan teman-temannya, dua lesung pipi yang sangat dalam terbentuk di wajahnya.
"Dek? Melamun saja? Mau tes masuk ya?" Aku terkejut ketika satpam mendatangiku dan melambaikan tangannya di hadapanku.
"E–eh iya pak maaf, saya lagi cari tempat menunggu buat tes masuknya pak" Ucapku gugup karena malu tertangkap melamuni murid pria tersebut.
"Hahaha, nanti adek naik saja menggunakan lift ke lantai 5 dan setelah keluar lift, langsung belok kanan, adek bisa tunggu di hallway situ ya, instruksi lebih lanjutnya nanti disampaikan di atas" Jelasnya membuatku salah tingkah dan mengangguk berterima kasih atas pertolongannya.
Segera kutinggalkan lobby sekolah itu menuju lift, sebelum pintu lift itu tertutup, lagi-lagi secara refleks mataku menangkap pemandangan pria yang tidak asing itu, namun aku langsung menunduk ketika menyadari mata kita bertemu untuk pertama kalinya di sini. '5th floor' Pintu terbuka dan membiarkanku keluar, tidak ramai karena kurasa semua memiliki teman di lobby tadi. Aku duduk di pinggir bangku yang panjang, tepat di sebelah tanaman hias yang kutebak adalah lidah buaya. Kubuka buku ku dan berusaha untuk belajar lagi, hingga tiba-tiba terdengar suara pintu lift terbuka diiringi dengan suara yang cukup ramai.
"Roti manis lagi lo?" Tanya salah satu orang di sana.
"Iya, favorit gua nih, enak parah sumpah dah, lo cobain aja bikin hahaha" Mendengar itu, kepalaku mengadah dan menatap suara pria tersebut dan terkejutnya lagi ia adalah pria yang di lobby tadi, entah refleks darimana, ia juga langsung menatapku, aku yang sudah tidak bisa menghindar hanya tersenyum dan melanjutkan buku yang kubaca.
Sebenarnya buku itu hanya menganggur di atas kakiku, pikiranku sedang berada di zaman aku masih kecil dan sekedar informasi, roti manis merupakan roti favoritku karena dulu aku mempunyai teman masa kecil bernama Jonathan dan ia suka memberikannya padaku, dia berkata bahwa itu merupakan roti kesukaannya, kita sering bermain dan makan bersama hingga ia membuat janji di pohon bahwa kita akan terus bersama hingga kakek nenek, namun akhirnya kita harus berpisah karena ia pindah rumah. Sungguh cerita yang tragis bagi anak tunggal sepertiku, harus ditinggalkan sahabatnya dan menangis sendirian setiap hari hingga berbulan-bulan.
Baiklah, tidak boleh ada nostalgia lagi di sini, aku merindukannya tapi aku tidak lagi berhubungan dengannya, jadi mari kita lupakan dia. Terlepas dari itu, aku merasakan kursi yang kududuki bergetar karena ada yang mendudukinya, tanpa ingin melihatnya, aku hanya melirik dan mendapati empat pasang kaki di sebelahku sedang duduk dan bergurau bersama. Aku menutup bukuku dan membuka kamera di handphone-ku. Tidak. Jangan mengira bahwa aku stalker, namun aku hanya ingin memastikan bahwa sepertinya aku mengenalnya entah di mana.
Kalian tahu apa yang terjadi? Ketika aku berusaha menipu mereka dengan berpura-pura menelepon, padahal sedang mengambil gambar akan pria tersebut, cahaya terang keluar dari kamera handphone-ku, membuat mereka semua menoleh dan sadar karena difoto olehku. Oh Tuhan, tolong. Siapapun tolong.
'Peserta ujian gelombang pertama diharapkan memasuki ruangan 12' Syukurlah pengumuman ini tiba di saat yang tepat, kulihat jam tangan yang menghiasi pergelangan tanganku menunjukkan pukul 11.45 siang. Aku langsung berdiri dan pergi tanpa berpikir panjang, bahkan aku tak sadar kalau jepit rambutku tertinggal di sana, malu sekali rasanya. Kalau diminta untuk memilih lulus namun bertemu dengannya atau tidak lulus dan tidak bertemu dengannya, aku akan memilih lulus namun tidak bertemu dengannya. Tidak ada di opsi namun yasudahlah. Aku sudah tidak bisa berpikir lagi, mukaku panas dan kurasa pipiku sudah seperti tomat.
Aku duduk di dalam ruang kelas tersebut dan mengeluarkan alat-alat menulisku, itu semua berjalan normal hingga aku melihat pria itu masuk dan duduk di depan kananku. Selama tes, mataku selalu mencuri pandang ke arah pria itu, aku tak pernah merasa seperti ini, merasa bahwa aku mengenalnya dan sangat ingin tahu siapa dirinya, dari arahku ia sangat keren, aku tak berbohong, rahangnya sangat terbentuk, alisnya yang cukup tebal membuat ia bukan seperti orang asli Indonesia. Tanpa kusadari, ada seseorang yang juga sedang memperhatikanku.
"Siswi yang di sebelah sana, yang menggunakan hoodie hitam, apa ada masalah?" Aku yakin itu adalah aku. Pengawas sepertinya mencurigai aku yang terus-terusan menatap ke arah pria itu. Pertanyaan yang sebenarnya adalah teguran itu membuat seisi kelas melihat ke arahku dan malunya lagi, aku membuat kontak mata dengan pria itu. 100% ia menyadari bahwa aku ditegur karena menatapnya, ia tersenyum miring padaku dan lanjut mengerjakan soalnya.
"A–ah, tidak pak, maaf.." Ucapku terpatah-patah dan merapikan kertas, melanjutkan ujianku.
2 jam berlalu, tes tersebut usai dan aku berniat untuk membereskan barang-barangku, "Merasa memiliki ini?" Aku mengadah dan melihat pria itu memegang jepit rambutku. Sial.
"Eh, iya. Kok bisa sama lo?" Tanyaku bingung, menghentikan aktivitas yang kulakukan.
"Tadi ada cewe foto gua sama teman-teman gua, terus kabur ninggalin ini." Ucapnya tersenyum meledekku. Ingin kumengumpat, namun kutahan karena ini adalah hari yang spesial.
"S–soal itu aku minta maaf." Aku mengambil jepit itu dari tangannya dan mengangkat tasku bergegas keluar dari kelas, menelepon pak Adit untuk menjemputku sekarang juga.
Tanpa lift, aku turun melalui tangga dari lantai 5, lelahku hilang karena perasaan malu. Untungnya saja pak Adit sudah menungguku di lobby. Aku masuk ke dalam mobil dan membuka handphone-ku. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat. 'Jonathan?' Pikiranku kacau ketika mengetahui pria itu adalah Jonathan. Kau tahu perasaan ini? Perasaan yang hancur menyesal, tapi juga lega karena mengetahui sahabat kecilmu baik-baik saja dengan teman-teman barunya.
Sesampaiku di rumah, kudatangi pohon janjiku dengan Jonathan dan mengelus ukiran itu berharap kami sama-sama diterima di sekolah itu dan aku bisa kembali bersama dengannya. Sayangnya, beberapa bulan setelah kejadian itu, aku tidak melihatnya di sekolah yang sama denganku. Anehnya, aku bertemu dengan teman-temannya, tanpa rasa malu, aku langsung menghampiri mereka.
"Kalian temannya Jonathan kan?" Tanyaku berharap akan bertemu dengannya.
"Lo yang foto kita waktu itu kan?" Oh, ayolah jangan memulai ini. Aku melempar pandanganku ke arah lain dan menggaruk kepalaku yang tidak gatal, "Kita mau minta fotonya, boleh?"
Wait, what? "Hah?" Tanyaku tidak percaya apa yang barusan kudengar.
"Jonathan lulus tapi.." Temannya terdiam menunduk.
"Dia udah gak ada, gua ketemu ini di meja kamarnya, keliatannya buat lo." Temannya yang lain memberikan kertas berwarna putih bergaris dengan logo tangan yang sama dengan logo tangan di pohon kita.'Pertama kalinya gua nulis ginian di kertas ini. Tadi gua ketemu cewe yang sama kayak dia, Julia. Gua kaget pas liat dia naik lift dan gue rasa dia juga ngeliat gua. Gua gatau itu dia atau bukan, but i feel there's Julia in her. Gua kangen parah sama dia, pokoknya masukan sekolah, gua harus tepatin janji kita pas di pohon dekat rumahnya dan semoga dia masih tinggal di situ. Begonya lagi, dia ngefoto gua sama Aldo, Ray, and Daniel terus salting segala lagi, gua makin yakin its her bcs of her small brain. Ntar gua kasih deh ni surat buat dia, bego bat lagian HAHAHA, gadeng, ily Jul, akhirnya gua nemuin lo.'
Kalian tahu perasaanku saat itu. Pertahanan mataku runtuh. Rasanya seperti ada yang menusuk di dada, entah pisau atau silet, namun itu sangat membuatku sesak hingga pusing. Aku menangis di hari pertamaku masuk sekolah, menyadari saat itu juga merupakan hari terakhirku melihatnya. Kurasakan teman-temannya merangkulku dan mendudukkanku di kursi yang sama saat Jonathan duduk waktu itu. Hilang sudah harapanku bertemu dengannya.
"Dia sudah– Dia sudah janji ke gua.." Ucapku lirih mengingat bahwa ia mengingkari janji pertama dan terakhirnya.————————————
dont forget to vote and comments, dear.
its one of my friend's real story and we hope you're doing good there, Jo..💗 we miss you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Pendek
Cerita PendekKumpulan kisah yang membuatmu tertawa, tersipu, menangis, dan ketakutan.