Keluarga adalah tempat di mana cinta bermulai dan kasih sayang tak berujung. Keluargaku juga pernah bahagia, sama seperti keluarga kalian. Tapi itu dulu, jauh sebelum cinta itu berakhir dan kasih sayang itu berujung. Sampai-sampai aku ragu, apakah itu kenanganku atau hanya harapan semu yang kuinginkan.
Dulu di sela-sela pelukan itu, aku merasa hanya keluargalah yang mengerti diriku. Merekalah yang selalu ada untukku. Aku tidak pernah takut dengan apapun karena aku selalu merasa aman jika ayah berada di sampingku. Bagiku, sosok ibu adalah malaikat tanpa sayap yang ada di dunia ini dan kakakku adalah pengganggu yang sangat kusayangi.
Keindahan itu berakhir di suatu malam. Ketika aku mendengar mereka saling membentak dan berteriak satu sama lain. Aku tidak mengerti, tetapi hal itu tidak bisa membuatku tidur. Saat itu tiba-tiba pintu kamarku terbuka dan kakak masuk ke dalam kamarku. Ia tersenyum dan duduk di sampingku mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, kemudian ia menutup telingaku dan menyuruhku untuk tidur. Samar-samar, kudengar suara nyanyiannya dengan suara yang gemetar. Saat itu kupikir ia kedinginan, tapi sekarang aku tau bahwa kala itu ia berusaha untuk menahan tangisnya agar terlihat kuat di hadapanku.
Semenjak malam itu, ayah dan ibu jarang sekali terlihat olehku. Ayah lebih sering pulang malam dan melewatkan jam makan malam, sedangkan ibu lebih sering berada di dalam kamar. Akhirnya, setiap hari aku hanya makan berdua dengan kakak.
Setelah semua itu, aku berpindah rumah. Berpindah tanpa sesosok malaikatku, ibu. Saat itu aku hampir menangis karena kami sudah sangat jauh dari rumah, tetapi ayah mengatakan bahwa ibu akan menyusul kami ke rumah baru nanti. Itu adalah kebohongan terbesar yang kupercayai, bahkan hingga saat ini.
Aku selalu menghitung waktu dan berharap ibu datang menyusul kami. Namun, itu tak pernah terjadi dan tidak akan terjadi. Sejak itu aku menyadari bahwa ibu tidak akan datang lagi dan melakukan pekerjaan yang biasa ia lakukan seperti memasak dan membersihkan rumah.
Aku tumbuh sendirian, tanpa ayah ataupun kakak yang mengurusku. Sejak kami pindah, ayah lebih sering berada di luar rumah untuk bekerja dan semenjak kakak masuk SMA, ia selalu pulang ke rumah saat jam makan malam.
Aku sering sekali berada di depan pintu kamar kakak yang selalu tertutup tanpa melakukan apapun, hanya berharap bahwa dia membukakan pintu untukku dan memberikan senyum tenangnya itu untukku, tetapi hari itu aku tidak mengerti bahwa harapan akan selalu menjadi harapan bagiku.
Kakak selalu menatapku jijik. Aku kira ia memang seperti itu, memandang segala hal dengan pandangan muak, tapi aku mulai mengerti ketika ia kembali berbicara padaku.
"Kau menjijikan." Ia berkata di suatu malam.
Kupikir aku sudah terbiasa ditatap seperti itu olehnya, tetapi kali ini rasanya menyakitkan.
"Bagaimana mungkin kau bisa berperilaku seakan tidak terjadi apa-apa? Seakan dunia ini berlaku adil padamu."
Aku tidak menjawab pertanyaannya itu. Aku hanya menundukkan kepalaku karena saat itu aku tidak berani menatap matanya.
"Kau munafik! Kau membohongi dirimu sendiri tentang segala hal. Kau tidak ingin menerima kenyataan dan berpura-pura bahwa dunia ini adil. Aku benci dengan orang yang seperti itu. Aku benci padamu."
Ia memegang kepalanya, terlihat pusing. "Jangan muncul lagi di hadapanku, aku muak menjadi kakak untuk adik yang lemah sepertimu! Bagiku kau hanyalah masa lalu yang sudah kukubur."
Suatu hari rumah kembali ramai seperti dulu, tetapi itu bukan keramaian yang kuinginkan. Itu adalah keramaian yang memuakkan yang pernah terjadi di masa lalu. Tentu saja bukan ibu yang berkelahi dengan ayah, namun kakak yang berkelahi dengan ayah.
Aku mengintip dari balik dinding, ayah terlihat sangat marah dan kakak bersikap tak acuh pada ayah. Aku mendengar banyak hal, ayah berteriak frustasi karena ia tak percaya apa yang kakak lakukan terhadap uang jajan yang diberikan ayah selama ini.
Ketika ayah berkata bahwa ia tidak pernah mendidik kakak menjadi orang seperti ini, dengan cekatan kakak menatap ayah dengan tatapan tajamnya dan menggeram kesal. "Kau tidak pernah mendidikku."
Seketika itu terdengar bunyi tamparan yang sangat keras dan bentakan yang saling menyahut tanpa henti. Aku tidak lagi mengintip mereka, namun suara-suara itu menghantui dan membuatku susah untuk tidur.
Setelah rumah kembali hening tanpa suara dan tanpa kehidupan, kakak dikirim ke tempat rehabilitas dan ayah hanya berdiam diri di ruang kerjanya. Hanya aku yang tersisa di rumah yang besar ini. Terkadang, aku berkeliling rumah dan tidak pernah merasakan apapun. Tidak pernah aku bernostalgia di rumah ini karena memang tidak pernah ada memori yang tercipta di tempat ini.
Semakin dewasa aku semakin mengerti mengapa ibu tidak pernah datang, ayah menjadi sangat sibuk, dan tentang kakak yang tak pernah lagi mengurusku. Aku sudah paham tentang segala hal, tentang ibu yang berselingkuh di belakang ayah, tentang ayah yang kehilangan orang yang dikasihinya, dan tentang kakak yang ingin berlari dari kenyataan pahit ini dengan narkoba.
Kini aku paham bahwa tanpa cinta, keluarga tidak akan pernah ada. Oleh karena itu, aku tidak akan seperti mereka yang melepaskan cinta di antara keluarga. Aku tidak akan menjadi seperti ibu yang melepaskan cintanya untuk nafsu sesaat, aku tidak akan menjadi ayah yang mengusir cintanya pergi hanya karena amarah sesaat, dan aku tidak akan menjadi kakak yang membiarkan cintanya pudar oleh kebencian. Aku akan menjadi diriku sendiri yang menghargai cinta di antara keluarga. Keluargaku boleh rusak, tetapi aku tidak akan membiarkan diriku rusak bersama dengan dirinya.————————————
dont forget to vote and comments, dear.
dont let anyone bring you down☀️
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Pendek
Historia CortaKumpulan kisah yang membuatmu tertawa, tersipu, menangis, dan ketakutan.