Tut...tut...tut...
MIRANDA mengerjapkan matanya. Langit-langit ruangan yang tidak terlalu besar itu menyapanya. Ini bukan kamarnya. Ada satu lampu yang menyala, bertengger di tengah langit-langit berwarna putih itu.
".....tidak tahu, Annie. Dia menjadi aneh sejak kecelakaan itu." Itu suara ayah Miranda. Suaranya bergetar dan siapa Annie?
"Ted, menurutku, kau harus mengajaknya tinggal bersama kita. Dia sudah besar dan berhak tahu." Suara lembut perempuan yang tidak pernah Miranda dengar sebelumnya.
"Aku....takut." Suara ayah Miranda terdengar sangat tidak berdaya. Miranda selalu mendengar ayahnya berbicara tegas dan berwibawa. Ini pertama kalinya, ia mendengar ayahnya seperti ini.
"Papa," ucap Miranda pelan nyaris berbisik. Mulutnya terasa sangat lemah dan bahkan ia kesulitan untuk menggerakkan jemarinya.
"Ted, ini sudah saatnya...." Suara dua orang itu semakin lirih, diikuti suara pintu yang terbuka dan tertutup. Lalu, menghilang.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Miranda menyerah pada kegelapan untuk kedua kalinya.
Gerakan seseorang di sebelahnya, membuat Miranda terbangun. Bunyi dentingan benda logam mengusiknya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan melihat langit-langit yang sama seperti sebelumnya. Namun, kali ini lampunya padam. Hanya sinar dari luar yang masuk melalui jendela, menembus tirai.
Bunyi benda logam itu terdengar lagi. Mirada mencoba untuk menengok ke samping. Ada seorang perempuan dengan baju perawat. Ia mengenakan masker pada bagian mulutnya.
"Sus-ter," ucap Miranda pelan namun menghentikan gerakan perawat itu. Perlahan-lahan perawat itu memutar kepalanya menatap Miranda.
Di dalam kegelapan, Miranda dapat melihat mata peraawat itu. Bola matanya putih dan besar. Tidak ada bagian pupil pada bola matanya. Ini sangat aneh. Aneh dan menakutkan.
Miranda menjerit ketika melihat benda logam yang mengusiknya dari tadi. Kedua tangan suster itu memegang dua gunting operasi dan mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu menancapkannya pada dada Miranda berkali-kali. Miranda dapat melihat cairan pekat keluar dari tubuhnya dan nafasnya mulai tersenggal-senggal. Jeritannya tercekat dalam tenggorokkan. Suster itu menghunjamnya tanpa ampun.
Kegelapan untuk ketiga kalinya menghampiri Miranda.
Miranda terlonjak dan menghirup udara dengan rakus. Peluh membanjiri sekujur tubuhnya. Ia menatap kamar asing itu dan tidak ada siapa-siapa di sana. Lampu kamarnya masih padam. Ia menyentuh bagian yang tadi berdarah. Tidak ada apa-apa di sana.
Miranda sedikit tenang ketika menyadari semuanya hanya mimpi. Mimpi yang mengerikan.
Ia mencoba menggerakkan jemarinya yang sudah bisa ia rasakan. Ia menggerakkan kakinya dan mencoba untuk turun dari tempat tidur. Kakinya masih lemah, namun mampu menopang tubuhnya. Perlahan-lahan, ia menghampiri saklar lampu.
Cetek! Cetek!
Lampu tidak kunjung menyala. Miranda membuka knop pintu dan lorong panjang dan gelap menghampirinya. Suasananya terasa mencekam karena langkah kaki Miranda menggema sepanjang Lorong tak berujung itu. Kakinya terseok-seok dan tangannya mencoba meraba dinding sekitarnya.
"Hallo?" seru Miranda. Gemanya terdengar cukup lama, sebelum akhirnya menghilang.
Ujung jemarinya merasakan sesuatu pada dinding sebelah kiri. Sesuatu seperti knop pintu. Samar-samar terdengar bisikan dari belakang pintu. Mungkin beberapa orang sedang berkumpul di dalam.
Miranda mengetuk pintu yang terbuat dari kayu itu.
Tok! Tok! Tok!
Bisikan itu tidak terdengar lagi setelah Miranda mengetuk pintunya. "Hallo?" seru Miranda pelan.
Hening. Tidak ada jawaban dari dalam. Miranda mencoba membuka knop pintu itu. Dari balik pintu terdapat ruang kosong gelap dan satu kursi kayu yang disinari oleh lampu gantung tua di atasnya.
Miranda memasuki ruangan itu sambil memeluk dirinya sendiri. Hawa dingin menghampirinya. Kemana semua orang?
Brak!
Pintu di belakang Miranda tertutup dengan bunyi yang sangat keras. Ia terlonjak dan kakinya terasa berat untuk melangkah. Hawa dingin menyentuh kulit dan menusuk tulangnya. Uap dingin keluar dari hidungnya setiap kali ia menghembuskan nafas.
Miranda mulai terisak ketakutan. Apa-apaan ini?
Miranda merasakan seseorang berada di belakangnya. Saat ia hendak menengok ke belakang, tiba-tiba tubuhnya didorong dan melayang hingga terduduk di kursi kayu tadi. Tubuhnya mati rasa. Ia semakin ketakutan dan tubuhnya bergetar hebat.
Di depannya, di bawah kegelapan, ia dapat melihat sebuah sosok. Sosok yang ia kenal, ibunya. Namun, Miranda semakin ketakutan saat sosok itu mulai menghampirinya. Sosok itu benar ibunya yang ia kenal, tetapi tidak dengan bola mata yang berwarna putih, tanpa pupil dan sangat besar.
"Jauhi iblis!" Suara itu melengking, persis seperti kejadian di rumahnya sebelum kebakaran. Miranda menutup matanya dan tubuhnya masih terasa kaku. Ia dapat mendengar langit-langit mulai berjatuhan dan suara ibunya kian meninggi hingga telinganya terasa mau pecah.
"Miranda!"
Miranda membuka matanya perlahan-lahan. Wajah ayahnya yang pertama kali ia lihat. Nafasnya tersengal-sengal dan ia melihat kondisi kamar itu dengan lebih normal. Sepertinya sudah siang, karena sinar matahari menyeruak masuk menerangi kamarnya. Ada beberapa orang yang tidak ia kenali mengeliling tempat tidurnya.
"Miranda! Syukurlah kamu sudah siuman," ucap ayahnya dengan diakhiri ciuman pada keningnya.
"Papa. Aku ada dimana? Apa yang terjadi?" tanya Miranda. Kali ini ia merasakan tubuhnya sudah lebih bertenaga.
"Kamu sedang berada di rumah sakit. Tetapi nampaknya keadaanmu sudah membaik," ucap ayahnya dengan nada lega.
Setelah beberapa kali mengganti perban yang melilit di tubuhnya oleh perawat, dan pengecekan ulang oleh dokter terhadap seluruh tubuhnya, Miranda dinyatakan boleh pulang. Namun, ayahnya tidak terlalu senang karena rumahnya telah terbakar habis.
"Pa, tentang rumah kita sebenarnya...."
"Miranda, tidak apa-apa, kita akan pindah ke rumah yang lebih baik," ucap ayah Miranda sambil terus memperhatikan jalan. Beberapa kali ia menglakson, bahkan mengumpat pelan karena pengendara lain yang ugal-ugalan. Setengah jam kemudian, mobil mereka memasuki komplek perumahan yang nampaknya tidak terlalu terawatt dengan baik. Pagarnya dibiarkan berkarat, rumput liar dimana-mana, dan papan nama yang sempat mereka lewati juga beberapa hurufnya sudah copot "P_RUMAH_N __LIS". Kata ayah Miranda, nama perumahan ini adalah "PERUMAHAN ELLIS" yang diambil dari nama Keluarga Ellis, pemilik perumahan ini dan tuan tanah pada jaman revolusi industri kedua di Inggris. Namun, entah mengapa bagi Miranda nama perumahan ini adalah "PERUMAHAN IBLIS".
"Nah, kita sampai," ucap ayah Miranda. Ia keluar dari mobil dan mengeluarkan beberapa koper dan kardus dari bagasi belakang mobil. "Ini ayah beli saat kamu tidak sadarkan diri berhari-hari. Ada pakaian, buku-buku, mainan, dan banyak lagi untumu."
"Terima kasih, pa." Miranda ikut mengangkut barang-barang itu. "Semua barang ini untukku? Bagaimana dengan papa?"
"Papa masih memiliki cadangan di kantor dan di rumah ini juga masih banyak barang-barang ayah yang masih bisa dipakai," ucap ayahnya. Barang-barang itu ia letakan di depan sebuah pintu kayu berwarna putih. Dindingnya berwarna putih juga dan sudah memudar. Di terasnya ada tempat duduk rotan yang vernishnya sudah memudar. "Selamat datang di rumah lamamu, Merinda."
"Aku pernah tinggal di sini?" tanya Miranda.
-Scratch-

KAMU SEDANG MEMBACA
SCRATCH
HorrorSetelah rumahnya terbakar, Miranda Benard harus kembali tinggal di rumah masa kecilnya. Setiap malam, tepat saat Miranda memejamkan matanya, suara goresan mengusiknya. Suara itu seakan ingin membuatnya terjaga setiap malam. Apa yang sebenarnya terj...