BAB I

6 1 0
                                    

"MAMA lihat ini. Aku menggambarnya tadi di sekolah. Ibu guru bilang gambarku bagus dan bisa menjadi pelukis suatu hari nanti," seru Miranda Benard kepada ibunya yang terbaring di atas tempat tidur. Selimutnya sampai ke leher, menyisakan bagian kepala. Rambutnya panjang berwarna hitam tergerai tak beraturan. Wajah wanita itu cantik dengan mata biru dan hidungnya mancung. Bibirnya kering dan kulitnya pucat. Penyakit aneh telah menggerogoti tubuh wanita itu sejak dua tahun yang lalu, hingga ia benar-benar tidak bisa menggerakkan sekujur tubuhnya.

Ibunya melirik lemah melihat gambar anak semata wayangnya itu. Bibirnya bergetar. Mungkin ingin tersenyum, tetapi tidak bisa. Miranda memaklumi kondisi ibunya.

"Ma, tadi pagi papa bilang akan pulang malam. Hari ini aku tidur denganmu, ya. Aku tidak mau tidur sendirian." Tentu saja ibunya tidak menjawab dan hanya mengamati wajah yang mirip dengannya namun lebih muda dengan kulit yang kencang dan tidak pucat sepertinya. Matanya mirip seperti ayahnya, berwarna abu-abu.

Miranda keluar kamar ibunya, menuju kamarnya di lantai bawah. Rumah keluarga Benard terdiri dari dua lantai, loteng, dan rooftop. Lantai bawahnya terdiri dari ruang tamu, ruang makan, dapur, ruang kerja, kamar mandi, dan kamar tidur. Ada berbagai bingkai foto, lukisan dari pelukis terkenal yang kebetulan adalah teman kakek Miranda, jam dinding berbingkai ukiran bunga yang mengelilinginya, dan cermin dekat pintu masuk pada dindingnya. Sementara, lantai atas terdiri dari kamar mandi, kamar utama, dua kamar tidur lainnya, ruang baca, dan ruang keluarga. Tangganya terbuat dari kayu, begitu juga lantainya. Dindingnya berlapis wallpaper berwarna merah tua untuk lantai bawah dan warna biru tua untuk lantai atas.

Setelah kecelakaan yang menimpa Miranda, keluarganya hanya memakai lantai bawah dan membiarkan lantai atas tidak tersentuh. Gudang lantai bawah beralih fungsi sebagai kamar tidur yang digunakan Miranda dan ayahnya sekarang. Bukan rahasia lagi kalau Miranda takut untuk tidur sendirian. Sebenarnya Miranda sudah membujuk ayahnya untuk memindahkan ibunnya ke kamar lantai bawah juga, tetapi, ayahnya selalu berkata, "mamamu sudah nyaman di sana." dan meminta Miranda untuk tidak membahasnya.

Awalnya Miranda sangat tidak setuju. Namun, setelah dipikir, tempat tidurnya tidak akan cukup untuk tiga orang. Jadi, pada akhirnya, ia setuju dengan ayahnya.

Saat itu matahari sudah pergi sekitar tiga jam yang lalu. Langit malam kala itu sangat hitam tanpa bintang. Bulan juga bersembunyi di balik awan. Miranda sedang menggambar dengan pensil warnanya yang hampir semua ujungnya tumpul, belum sempat ia tajamkan.

Kring! Kring! Kring!

Miranda berlari mengangkat teleponnya di ruang tamu.

"Hallo?"

"Hallo, Miranda! Maafkan papa hari ini sepertinya tidak bisa pulang. Ada sesuatu yang terjadi di perusahaan," seru ayah Miranda dari seberang sana. Suaranya sedikit panik. "Kau tidak apa-apakan di rumah?'

"Tidak apa-apa, pa. Aku bisa menjaga diri," ucap Miranda sambil memainkan kabel telepon dengan ujung jarinya.

"Jangan lupa kunci pintu dan jendela. Jangan dekat-dekat kompor dan jangan membukakan pintu untuk siapa pun. Ya?"

"Jangan khawatir. Aku sudah 14 tahun, papa. Aku tahu itu." Miranda tersenyum mendengar kekhawatiran ayahnya.

"Kamu bisa tidur sendirikan?" ucap ayahnya.

"Aku akan tidur dengan mama dan dia...."

Sebelum Miranda meneruskan perkataannya, ayahnya memotong, "sudah jangan bercanda lagi." Miranda sedang tidak bercanda. "Papa percaya kepadamu dan telepon saja kalau terjadi sesuatu. Hati-hati di rumah." lanjutnya.

SCRATCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang