menuju surga

12 0 0
                                    


Tersdar... ternyata aku mengingat masa lalu yang terlampau jauh. Dan aku mendengar nadzam-nadzam itu kini hampir sampai pada batas ahirnya. Para santri semakin bersemangat melafalkannya, berteriak keras memberi tanda bahwa nadzoman itu akan segera dirampungkan dan setelah itu akan berganti dengan puji-pujian.

"SAMMAITUHA AQIDATAL AWWAMI MINWWAJIBI FIDDINI BITTAMAAMI"

Bersamman dengan rampungnya nadzom itullah aku mendengar seseorang mengetok pitu yang sudah kubiarkan terbuka lebar.

"Tok..tok, tok... monggo kang. Saya pergi kemushola dulu"

Ucapnya sambil tersenyum, membungkuk, menganggukan kepala serta mengacungkan jempolnya kearah mushola. Senyuman yang indah dari wajah yang mempesona.

Aku membalas ucapan itu. Menganggukan kepala serta tersenyum kearahnya.

"Ohhh... iyaa ustadt. Nanti saya nyusul"

Ustadz Dliyaul fallah biasa para santri memanggilnya dengan ustadz Fallah ia adalah salah satu sahabat terbaikku. Ia bayak sekali membantuku. Ia lumayan ganteng, pintar, cerdas, pekerja keras, serta baik hati. Tapi dia juga terkenal mempunyai sifat yang keras dan tegas. Maklum... mungkin ia masih membawa sedikit sifat dari masa lalunya.

Udara malam sudah mulai terasa di tubuhku. Suara muadzin itu kini terdengar bukan lagi melafalkan nadzoman melainkan sudah berganti dengan puji-pujian. Orang Nu menyebutnya pujian. Suara muadzin yang merdu serta diikuti oleh para santri itu mengajak fikiran ini untuk kembali mengingatnya.

***

Adzan subuh tak berhasil membangunkanku. Matahari sudah mulai panas berterik diatas kepala. Mataku masih tertutup rapat oreh rasa lelah. Tadi juga terdengar beberapa teriakan dari ibuku, tapi tak kuhiraukan. Mataku ini sungguh malas sekali untuk dibuka dan melihat keindahan dunia. Mungkin rasa lelah dan kecewa inilah yang membuat mata itu malas utuk terbuka.

Sudah tiga malam aku mencarinya tapi tak kunjung aku menemukannya. Aku mencarinya di area makam sunan bonang, hingga tubuh ini lelah dan berdesak-desakan dengan penjunjung, bukan Cuma disitu saja, aku juga mencarinya di alun-alun kota, bolak balik mengitari kesana kemari tapi tak kunjung juga aku menemukan wajah periang penuh senyuman itu. Aku mulai frustasi dan memilh duduk di tepian area parkiran masjit agung tuban, mataku terus memandangi para pengunjung yang baru datang, berharap salah satu dari mereka adalah seseorang yang sedang aku cari. Aku rindu sekali kepadanya, ingin bertemu dan memberi tahu dia bahwa aku sudah berhasil menghafalkan do'a sebelum dan sesudah wudhu.

Ohhh iya... selepas kita berziarah waktu itu dia sempat mengajaku jalan-jalan dan berkeliling, ia juga membelikanku buku doa-doa harian. Katanya aku disuruh menghafalnya supaya bisa mendoakan orangtua dan jadi anak yang sholeh. Dan juga pada saat kita jajan-jalan itulah aku meliha tangisan dan senyuman indah dari gadis yang ternyata ia tercipta untuk menjadi bagian dari cerita hidup dan cintaku.

Matahari semakin meninnggi serta memanas. Aku mendengar suara teriakan lagi dari ibu yang kesekian kali mencoba membangunkanku. Masih tetap sama. Meskipun kuping ini kini mendengar teriakan itu lebih jelas dan keras dari yang sebelumnya, mataku masih tetap rapat terpejam. Hingga ahirnya tiada ampun lagi, berulang kali mulut bersuara namun tak diindahkan. Ahirnya gagang sapu itu kini yang bersuara. Wusssss... plakkk... dengan reflex mulutku menjerit kesakitan, tubuhku terbangun, mataku terbuka lebar. Memang kadangkala suatu hal itu tak bisa dan harus dihadapi dengan pembicaraan. Ada kalanya kita harus menghadapinya dengan tagan mengepal dan menghantamkannya.

"Pakkkkkk e...." jeritku keras.

Mendengar jeritan yang kesas itu, ibu malah semakin bertubi-tubi menghantamkan gagang sapu kearahku, aku merengek kesakitan. Satu dua kali tanganku masih bisa menghalau hantaman itu. Tapi rasanya tetaplah sakit. Aku segera meloncat dari tempat tidur, berlari keluar kamar berharap agar hantama itu bisa aku hindari. Ternyata salah,,. Ibuku masih saja mengejarku ia semakin marah sambil megomel-ngomel. Entah kalimat apa yang sedang diomelkanya itu. Aku tak lagi menggagasnya. Ibu sangat tidak suka sekali jika aku menjerit seperti itu. Tapi apa sebabnya? Apa dia tidak tahu bahwa aku merindukan sekali dengan sesosok bapak. Dan wajar saja aku menjerit dengan menyebut kata bapak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

laa buddaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang