2🍁

234 133 92
                                    

Yang paling sering tertawa. Itu yang paling sering menyembunyikan lukanya dalam tawanya.
~Ly~

Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh kurang sepuluh menit. Ara sudah tiba di sekolah barunya. Ia sengaja berangkat pagi, karena ia tidak suka dengan jalanan yang macet. Ia pergi ke sekolah dengan mengendarai sepeda motor. Ia mendapatkan sepeda motor itu dari hasil kerjanya serta tabungannya. Sudah sedari dulu ia sangat rajin menabung. Ia sangat bersyukur bisa membeli sepeda motor itu dengan uangnya sendiri, walaupun hanya second.

Ia memasukki gerbang SMA Pelita Jaya. Kemudian, memakirkan sepeda motornya di parkiran. Beruntung sekolah masih sepi, jadi ia bisa berkeliling dulu agar mengetahui letak-letak ruangan di sekolah barunya.

Ia terus melangkah menyusuri koridor yang masih tampak sepi pagi itu. Ruangan demi ruangan ia lewati. Tiba-tiba langkahnya terhenti saat ia mengetahui ada salah satu siswa yang tengah asik bermain game di bawah pohon dekat lapangan bola. Ia membelakangi orang itu. Jadi, ia tidak bisa melihat jelas wajah siswa itu.
Ia ingin menyapanya. Tetapi, ia urungkan. Tekadnya sudah bulat, mulai saat ini ia tidak akan berurusan dengan laki-laki. Bukan apa-apa, melainkan ia sudah sangat muak dengan setiap laki-laki yang ia temui semasa hidupnya. Semuanya hanya bisa membuat hatinya hancur.

Ia pun memilih untuk duduk di pinggir lapangan. Lalu, ia mengeluarkan novel kesayangannya. Ya, ia sangat suka membaca. Bahkan, ia sudah pernah menerbitkan beberapa buku. Ia terus membaca kata demi kata, lembar demi lembar. Tetapi, tiba-tiba aktivitasnya terusik kala ada suara laki-laki yang terdengar sangat dekat darinya.

Ia pun mendongak, melihat siapa yang sudah mengacaukan aktivitasnya. Laki-laki yang ia lihat tadi? Yah, laki-laki dengan earphone melingkar di lehernya, baju yang dikeluarkan, rambut sedikit merah. Dua kata yang terlintas di pikiran Ara. Bad boy!

"Lo murid baru?" tanya laki-laki itu sembari duduk di sebelah Ara.

Bukannya menjawab. Ara malah mengabaikan laki-laki di sampingnya itu. Bukan tanpa alasan. Ia hanya tidak ingin berurusan dengan laki-laki lagi. Tetapi, sepertinya laki-laki di sampingnya ini tidak merasa sebal telah diabaikan Ara. Bahkan, dengan berani ia merebut novel yang tengah Ara baca.

"Kalau ada yang nanya dengerin, tatap matanya lalu jawab!" kata laki-laki itu tajam. Kini ia tidak lagi di samping Ara, melainkan sudah ada di depan Ara. Ara menatap laki-laki itu, kemudian merebut novel dari tangannya. Lalu, pergi meninggalkan laki-laki itu. Baginya, tidak penting jika ia menanggapi laki-laki bad boy itu. Hanya buang-buang waktu saja.
Ia juga heran, kenapa siswa bad boy itu sudah ada di sekolah sepagi ini. Yang ia tahu, biasanya siswa bad boy itu selalu datang ke sekolah paling akhir, bahkan sampai bolos. Tetapi, yang ia lihat sekarang sangat berbanding-balik. Benar-benar aneh.

Belum sampai beberapa langkah ia melangkah. Tiba-tiba ada yang mencekal tangannya. Dan lihat, siapa pelakunya. Tentu saja laki-laki itu. Ara tidak habis pikir, apa sih maunya laki-laki ini.

"Kita belum kenalan. Kenalin, gue Kevin Ferdiansyah. Nama lo siapa?"

"Lepasin tangan gue!" teriak Ara. Bagi Ara, tidak ada gunanya ia memberitahukan namanya kepada laki-laki ini.

"Gue lepasin kalau lo mau kasih tau, siapa nama lo!"

"Gue gak mau!"

"Yaudah. Ikut gue sekarang!" Ara tidak habis pikir. Dimana otak laki-laki ini. Dengan teganya, laki-laki itu---. Ah, ralat dia punya nama sekarang, namanya Kevin. Ya, Kevin terus menyeret Ara, entah mau dibawa kemana Ara tidak tahu.

"Lo mau bawa gue kemana?" teriak Ara, masih mencoba melepaskan tangannya yang kini sudah memerah.

Kevin berhenti, ia menatap lekat mata Ara. "Gue udah kasih tau sama lo. Kalau ada yang nanya, dengarkan, tatap matanya lalu jawab. Bukan diem aja kaya orang bisu!"

Tiba-tiba tubuh Ara bergetar. Keringatnya mulai membasahi wajahnya. Ia merasa takut. Jujur, ia sangat tidak suka dibentak. Ia tidak suka dikasari. Sudah sangat sering Papanya melakukan itu semua. Dan kini, di hari pertamanya sekolah. Ia malah dibentak oleh seseorang yang ia sendiri tidak kenal. Ia meremas ujuk roknya. Ia tidak boleh menangis. Ia tidak boleh terlihat lemah.

Kevin bingung. Melihat perempuan di depannya seperti orang ketakutan. Apa kata-katanya tadi terlalu kasar. Tetapi, bagi Kevin itu semua terlihat baik-baik saja. Karena, ia memang selalu bersikap seperti itu kepada siapa pun. Namun, sepertinya perempuan di depannya ini beda. Ia seperti orang yang sangat takut saat ada yang membentakknya.

"Maaf!" Singkat, padat dan jelas. Kata itu keluar dari mulut Ara sebelum ia berlari meninggalkan Kevin yang masih mematung itu. Kevin sengaja tidak mengejarnya. Mungkin, ia memang salah sudah membentak perempuan yang baru dikenalnya.

Kevin menatap punggung gadis itu yang kini sudah mulai menjauh, tak terlihat. Kemudian, ia tersenyum simpul. Satu kata yang terlintas di benaknya. Menarik!




.
.
.
Lanjut?








L I E S Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang