Chapter 4
If "I love you", was a promise
Would you break it, if you're honest?—
"Kita putus."
Saat ini, harusnya laki-laki itu bereaksi. Atau setidaknya, itulah yang Sherly harapkan saat melontarkan ucapannya barusan.
Tapi, kenyataannya jauh berbeda. Reaksi laki-laki itu seakan menamparnya, menyadarkan dirinya dari fantasi-fantasi yang sama sekali tidak akan pernah terjadi.
"Yaudah."
Dan hanya itu yang ia dengar setelahnya.
Sherly terdiam di tempatnya. Ia memandang cowok dengan jaket hitamnya itu tanpa berkedip sekalipun. Apa-apaan ini? Apa memang seharusnya seperti ini?
Cowok itu jauh-jauh datang ke depan rumahnya yang berjarak kurang lebih 8 kilo meter dari tempatnya semula hanya untuk berkata "Yaudah" saat Sherlry mengatakan kalau ia ingin putus?
"Kenzo... kamu—"
"Kalo lo mau putus, yaudah. Gue balik."
Tiba-tiba saja sekelibat memori terngiang di kepala Sherly.
Dia seharusnya mendengarkan peringatan teman-temannya saat berkata bahwa Kenzo memang seperti itu.
Tidak berperasaan.
Dan tidak tulus.
Seharusnya Sherly mendengarnya. Saat ia diperingati bahwa Kenzo akan mundur setelah mendapat apa yang ia mau.
Seharusnya seperti itu.
"Kamu tau nggak alasan aku mutusin kamu?" tanya Sherly, mencoba menyadarkan Kenzo akan kesalahan yang telah ia perbuat.
Namun, Kenzo malah mendongak menatap langit malam lalu beralih ke arah jam tangan di pergelangan tangan kirinya yang telah menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh empat menit malam hari.
"Udah jam delapan lewat, ntar lo diomelin nyokap lo."
Kenzo masih ingat akan itu, tapi entah mengapa malah jadi terdengar menyebalkan di telinga Sherly. Karena, alih-alih menjawab Kenzo malah mengalihkan pembicaraan.
"Lo bener-bener gak tau, gak sadar, atau pura-pura?" Sherly kehabisan pikirannya.
Kenzo menghela napas panjang. "Lo yang minta putus, terus gue harus gimana? Mohon-mohon biar gak diputusin?"
Bukan.
Bukan itu yang Sherly mau. Ia hanya ingin Kenzo mengakui kesalahan yang telah ia lakukan. Itu saja.
"Tiga bulan kita pacaran, itu gak ada artinya sama sekali ya buat lo?" tanya Sherly.
Kenzo meletakkan helm hitam bergaris merah gelapnya di atas motor yang berdiri di samping kanannya dan menatap Sherly tepat di mata.
"Kalo gak ada artinya, ngapain gue jadi ojek lo? Ngapain gue, yang lagi sibuk latihan, harus nyamperin lo malem-malem begini?" Kenzo membalikkan pertanyaan.
Entah kenapa Sherly tidak terkejut dengan respon Kenzo barusan.
"Gitu ya?"
"Menurut lo?"
"Gue tau kita beda sekolah, dan lo susah buat nentuin jadwal antara ngumpul sama temen-temen lo dan gue, nganter gue, jemput gue, tapi lo masih harus latihan. Gue ngerti—"
"Tuh, lo ngerti. Terus masalahnya apa?"
"Gak bisa, kalo gue lagi jalan sendiri lo nanyain gue udah di mana? Lo tuh bisa, dua hari gak ngechat gue sama sekali, terus tiba-tiba nongol besoknya kayak gak terjadi apa-apa. Menurut lo itu bukan masalah?" Habis sudah kesabaran Sherly. "Hubungan itu pentingnya di komunikasi, Ken. Lo gak bisa seenaknya dateng dan pergi sendiri kayak gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Whatta Man
Teen FictionDear my fucking diary... Fuck my life. Screw you all. I'm out. • • • Whatta Man 2020, by Lian Melanie @greek-lady