Bab 9

81 9 4
                                    

* * *

Dimas sedang terbaring lemah di rumah sakit. Yahya, sang adik setia menjaga kakaknya. Jauh-jauh datang dari Polman demi menjaga Dimas.

Jujur saja, Yahya tak mau sang kakak sakit-sakitan. Malah ia muak terus menjadi perisai sebagai pelindung.

Setelah membuat teh hangat untuk Dimas, pria berambut cepak itu mencoba membangunkan kakaknya dengan menepuk pundak.

"Kak. Ayo bangun. Diminum dulu tehnya. Sekalian minum obat."

Dimas tak bergeming. Matanya terus terpejam. Justru, ia teringat kata-kata Gita di telepon. Membuatnya hampir sekarat bila mengetahuinya.

Kamu diledekin Pak Ihsan. Kamu enggak sadar dia menusukmu dari belakang?

Ucapan itu terus terngiang-ngiang. Tidak akan bisa menghilang dari kepalanya. Sejujurnya ia baru mengetahui sifat asli Ihsan. Yang ia percaya sebagai sahabat karib.

Sontak, Dimas terbangun. Matanya terbelalak. Membuat Yahya terkejut.

"Kak Dimas. Sudah bangun?"

Terdengar deru napasnya berulang kali, seperti mendapat mimpi buruk. Keringatnya mengucur di bagian pelipisnya.

"Kak. Ada apa gerangan sampai tiba-tiba kakak membesarkan mata seperti itu?" tanya Yahya heran.

"Kakak juga enggak tahu, kenapa kakak tiba-tiba terbelalak?" ucap Dimas parau.

"Kak. Aku dengar dari kak Gita. Kalau kakak terus-terusan bekerja sampai tidak memperhatikan kesehatan? Bahkan sampai tengah malam, kakak masih bekerja?" tanya Yahya membuat Dimas mengerutkan keningnya.

"Gita ngabarin kamu?"

"Iya. Dia nelepon aku tadi."

Dimas menatap langit-langit. Ia merasa tak enak pada Gita. Sungguh kasihan. Sampai ia tak mendengarkan nasihat Gita. Apa benar, rasa cintanya mulai memudar sejak tumpukan tugas dilayangkan padanya?

Makanya, jaga kesehatan. Kalau bisa, jangan paksa untuk bekerja. Memangnya kamu suka kerja beginian? Kerja soal seperti itu, kamu suka?

Masih teringat ucapan Gita yang serius mengkhawatirkannya. Dimas sampai merasa pening, bahkan saat berbaring. Ia memijat bagian pelipisnya untuk menghilangkan sakit kepala.

"Tolong, pesankan kakak bubur ayam," pinta Dimas pada sang adik.

"Tapi, makanan rumah sakit sebentar lagi ..."

"Kakak enggak suka makanan rumah sakit. Lebih baik buka aplikasi ojek online kamu, lalu pesan bubur ayam. Kalau kamu lapar, kamu bisa pesan apa yang kamu mau. Kakak bayar."

Seperti kebiasaan adik kebanyakan, Yahya antusias bila Dimas yang traktir. Ia bersorak kegirangan ketika tak perlu lagi mengeluarkan dompet hasil kerja paruh waktunya.

"Baik, kak. Siap."

Dimas kembali menatap langit-langit, setelah ia melihat sekilas sang adik meraih ponselnya di sofa kecil.

Satu jam yang lalu, ia sempat mengucapkan sepatah kata sebelum dirinya benar-benar terlelap. Namun kepalanya tak mampu mengingat apa yang ia ucapkan pada Gita di telepon. Mungkin karena kondisinya lemah, sehingga ingatan dalam otaknya belum tercerna dengan baik.

"Apa yang aku ucapkan pada Gita, ya?" gumam Dimas menerka-nerka.

"Totalya pas 74 ribu, kak," sahut Yahya dengan pose sedang berbaring di sofa, bersantai bersama ponsel pintarnya.

"74 ribu? Banyak banget," ucap Dimas terkejut.

"Ongkirnya mahal, kak."

"Terserah mau ongkir mahal atau kamunya yang rakus," ledek Dimas pada sang adik, kemudian ia berusaha untuk bangun dan bangkit merogoh dompet di saku celana RS yang dipakainya.

A Teacher Who Became Time Traveler #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang