Bab 4

99 14 3
                                    

* * *

Juli 2019

Pria berseragam serba krem buru-buru masuk ke gerbang sekolah. Tanpa lama-lama ia pun masuk ruang guru.

Sudah banyak guru-guru yang sedang bersiap mengikuti upacara bendera. Ia hanya tinggal menaruh tas sampingnya di meja kerja miliknya lalu mengikuti rekan-rekannya ke luar lapangan.

Sejak Dimas dinyatakan diterima di sebuah sekolah dasar negeri di Sumedang hampir 10 bulan lalu, ia terkejut sekaligus senang akhirnya impiannya terwujud. Meskipun minus Gita, namun kinerjanya di sana menjanjikan. Ia menjadi pusat perhatian oleh guru-guru sekolah dasar berakreditasi A itu. Lihatlah. Tanpa Gita, ia bisa membuat pekerjaannya cerah.

Mata Dimas terpaku pada semua murid-murid berseragam putih merah. Dengan topi dan dasi berwarna merah. Rasanya, semangat yang ia punya kembali membara. Melihat wajah cerah adik-adik gemas, sedang berbaris mengikuti upacara bendera.

Barisan para guru berderetan dari kiri sampai ke kanan. Tentu di sebelah kanan mereka adalah tiang bendera, dan di sebelahnya lagi adalah grup paduan suara.

Upacara sudah dimulai sejak MC berbicara. Dimas fokus menegakkan tubuhnya, walau panas matahari mendera. Ia tidak akan mungkin lengah karena matahari pagi. Hanya masalahnya, keringat yang mengucur. Jadi teringat Gita yang mengatakan 'so disgusting' padanya. Ia terus-terusan membeli tisu kering dan basah, supaya keringatnya cepat hilang.

Betapa bangganya seorang Dimas, bila melihat kegigihan para peserta upacara, terutama bagian pemimpin. Ia salut.

Tak terasa sudah sampai pada sambutan kepala sekolah. Ia masih bisa bertahan untuk berdiri di lapangan. Namun rasanya ia tak sanggup. Kakinya mulai lemah. Aneh. Padahal sebelumnya kondisinya fit sampai selesai upacara.

Jangan, Dimas. Jangan lengah! Tegakkan badanmu! Batin Dimas menyemangati dirinya. Ia tak mau sampai pingsan di tengah-tengah upacara. Bahkan tadi ia sudah sarapan untuk memulai hari.

Akhirnya ia tetap berdiri dengan energi yang masih tersisa di tubuhnya. Beruntung energinya tidak habis sia-sia, sehingga proses upacara berjalan lancar tanpa ada yang pingsan, baik guru maupun murid.

* * *

Jam 8 pagi, para guru tidak langsung ke kelas untuk mengajar. Mereka harus mengikuti rapat yang diselenggarakan setiap Senin. Dimas juga harus ikut rapat.

Tetapi kondisi pria itu mulai lemah. Entah apa sebabnya. Ia duduk di samping Pak Ihsan. Hanya sekadar merapikan meja rapat yang berserakan.

"Pak Dimas. Bapak kenapa?" tanya Pak Ihsan cemas.

"Enggak, kok. Enggak apa-apa," jawabnya meyakinkan kondisinya.

"Tunggu sebentar." Mata Pak Ihsan jeli ketika melihat Dimas menutupi wajahnya sebagian.

"Bapak berdarah!" seru pria berkumis tipis itu. Ia menunjuk bagian pelipis Dimas yang berdarah.

"Lebih baik, bapak enggak usah ikut rapat. Istirahat saja dulu di UKS. Biar kuantar."

Pak Ihsan berdiri membopong Dimas yang benar-benar sudah lemah. Dibantu guru lainnya, mereka harus membawa Dimas ke UKS. Walau yang sakit terus bersikeras dirinya baik-baik saja.

"Aku harus ikut rapat," sahut Dimas pelan.

"Jangan, Pak! Takutnya nanti bapak drop selama rapat. Lihat saja pelipis bapak. Darahnya sudah mengalir banyak," ujar Pak Ihsan melihat tetesan darah pelipis Dimas sampai di dagu.

"Sungguh kasihan bapak." Fuad merasa iba melihat kondisi rekan sejawatnya itu.

Jarak antara ruang guru dan UKS terbilang agak jauh. Harus melewati lapangan upacara dan lapangan basket. Karena kedua ruangan tersebut terpisah oleh beberapa gedung yang ada, termasuk ruang kelas bertingkat.

A Teacher Who Became Time Traveler #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang