(part 3)
Udara gunung yang dingin kian menerpa tubuh kecilku. Sembari menunggu adzan magrib, kami ngobrol di basecamp bersama pendaki lain. Awalnya malu, gak kenal tetapi akhirnya akrab juga. Mereka bernama Via, Fahmi, Singgih, dan Yogi. Mereka adalah rombongan kawan kuliah. Selain itu, kami bertemu dengan rombongan lain yang hanya berdua, namanya Radit dan Egi. Mereka berdua dari Surabaya dan sudah lumayan banyak penggalamannya. Mereka berdua akan mendaki gunung di sekitar Wonosobo hingga Magelang dalam satu periode ini, yang tak lain ada Gunung Sindoro, Sumbing, Prau, Kembang, dan Andong.
Karena keasikan ngobrol, kami tidak sadar bahwa magrib sebentar lagi tiba. Kami segera ke mushola yang dekat basecamp dan menunaikan ibadah sholat magrib. Usai itu, kami berenam memulai pendakian bersama. Kenapa berenam? Karena Radit dan Egi entah kemana.
Sebelum melangkah, saya bersama rekan-rekan berdoa dahulu. Dimana doa yang kita haturkan berbeda. Meskipun satu agama, tetapi keyakinan itulah yang membedakan cara kita. Jam menunjukan pukul setengah 7 malam dan kami bergegas untuk melangkah. Kali ini aku belum merasakan dingin. Kami berjalan menyusuri pemukiman dan melewati tangga yang cukup tinggi. Belum seberapa jauh kami melangkah, Via mengeluh bahwa dirinya lelah. Kami berenam istirahat sejenak, lalu melangkah lagi. Usai melangkah 6 sampai 8 tangga, Via mengeluh lagi. Kali ini, aku merasa tidak sabar jika harus menunggunya kembali. Bukan karena egois, tetapi aku akan merasa mual dan lelah ketika terlalu banyak istirahat. Aku juga tidak tahu apa sebabnya.Akhirnya, kami memutuskan untuk berpisah saja. Aku dan Mas Irvan jalan berdua dan mereka berempat. Sudah tidak apa, nanti juga pasti bertemu di puncak. Aku terus melangkah. Ku rasa aku cukup lelah, perutku mulai meronta karena sedari pagi aku belum makan. Sarapan pun belum, ya sudah tidak apa. Kami istirahat sejenak untuk minum, rasanya pengen ngeluh sebelum sampe pos dua. Hal itu karena rute yang kami lewati berupa tangga, jadi kerasa capeknya.
Ketika aku ingin mengeluh, aku teringat pesan kawanku sebelum berangkat mendaki. Dia mengirimkan pesan via wa, "jangan ngeluh". Dua kata sederhana yang membuatku merasa tenang dan semangat. Terimakasih Verdi, telah menguatkan ku pada perjuangan di ketinggian itu. Dialah yang membuatkan cover daripada cerita ini. Terimaksih, untuk supportnya.Tiba-tiba, kami dikejutkan oleh adanya kucing yang comel banget. Aku gendong dia sebentar. Tetapi berat juga. Akhirnya aku turunkan si kucing dan ia pun berlari keatas lagi, sembari menemani kami berdua. Jika kami berhenti, ia pun berhenti. Jika aku melangkah ia juga ikut melangkah. Lucu memang, sangat mengemaskan. Dia menemani kami, hingga puncak, hingga serasa bersama tour guide.
Kami berjalan menuju post 3 dan kami duduk pada bangku yang ada disana. Kami melihat ke bawah dan view yang indah tepampang jelas. Aku mulai terharu. Aku tidak sengaja melihat lampu kota yang berbentuk hati. Indah sekali, hingga tak bisa dituliskan dengan kata-kata dan di abadikan dengan kamera. Tetapi kalo tidak percaya, buktikan saja. Mendakilah ke Gunung Prau via Patak Benteng. Nanti kalian akan menemukan itu.
Saat melangkah, kami bertemu dengan banyak rombongan, tak jarang kami mendahuluinya. Kebanyakan dari mereka mengira, jika aku mendaki bersama pasanganku. Di gunung aku merasakan kasta itu tidak ada, semua sama. Sampai di post cacingan, aku merasa salah jalur hingga akhirnya aku terjatuh ke bawah sekitar 2 meter. Sedikit sakit, tetapi aku puas, karena aku melangkah tanpa bantuan tangan dari orang lain.
.
.
.
.
.
Jangan lupa dikasih bintang dan komentar. Terimakasih. Maaf masih banyak kesalahan. Selamat melanjutkan di part berikutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JEJAK LANGKAH
AventuraSebuah kisah yang aku abadikan lewat tulisan. Latar belakang cerita berasal dari real storyku. Cerita ini menceritakan perjalanan untuk mencapai ketinggian. Selamat membaca, jangan lupa kasih bintang dan komen ya. Terimakasih...