Masa lalu adalah kosa kata yang akan selalu mengejar manusia dengan resiko paling menakutkan. Ada beberapa masa lalu yang memiliki kenangan manis, ada juga yang bahkan jalan ceritanya jauh lebih menyedihkan dari sekedar membayangkan masa depan yang gagal.
Aku hidup hanya berdua dengan Ibu dalam sebuah rumah sederhana dengan banyak kaktus di halaman kecilnya. Ibuku bekerja sebagai seorang pegawai negeri sipil. Pergi pagi dan pulang sore adalah keseharian yang kami jalani. Ibu dengan pekerjaannya, dan aku dengan sekolahku.
Pada paragraf-paragraf sebelumnya, aku mengatakan bahwa Ibuku adalah perempuan paling mandiri sedunia bukan? Bagaimana tidak, ketika orang lain sedang merasakan hangatnya makan bersama di ruang makan bersama keluarga, Ibu justru memelukku yang sedang kedinginan di teras menunggu Bapak yang ternyata tidak pernah lagi pulang.
Saat itu aku kelas 3 SD, masih bocil-bocilnya sehingga mengerti permasalahan orang dewasa menjadi sesuatu yang belum bisa kudapatkan. Hari itu, Ibu dan Ayah bertengkar hebat. Ayah membawaku pergi ke rumah nenek meninggalkan Ibu yang menangis ingin aku ikut bersamanya. Dua hari setelah itu, aku sakit. Maag-ku kambuh dan tidak berhenti menangis, maka dari itu sejak dulu aku tidak suka bau kopi ataupun minum kopi. Alhasil, Bapak terlihat jengah. Aku kira beliau akan membawaku untuk berobat, tapi ternyata tidak.
Aku yang terus menangis diturunkan Bapak di depan pagar rumah Ibu lalu dipukul dengan karet ban dalam karna tidak berhenti menangis. Entah dari mana asal perempuan hebat dalam hidupku itu, tapi yang aku tahu, tangisku terhenti ketika pelukan Ibu adalah yang paling menenangkan kedatangannya.
Bapak pergi setelah itu. Tidak sampai empat puluh delapan jam, aku mendengar beliau telah menikah lagi dengan selingkuhannya padahal Ibu yang masih berstatus sebagai istri sah-nya. Dua bulan setelah itu, Bapak dan Ibu resmi berpisah di pengadilan agama dengan hak asuh atas diriku jatuh ke tangan Ibu. Lagi pula, aku yakin, Bapak juga tidak berpikir untuk memenangkan hak asuh karna menginginkanku untuk berada dalam cerita barunya, itu adalah hal yang tidak akan pernah dipikirkan Bapak.
Lamunanku buyar ketika Zelo datang dengan betadine yang ia bawa dari UKS dengan lari pontang-panting tadi. Lututku luka selepas main basket secara sembrono di lapangan. Terlebih, dengan memakai seragam osis bukannya olahraga.
"Ini jadi cewek tengil pisan! Bandel! Gak mau dibilangin! Kalau gue suruh diem tuh diem Ran, jan gerak-gerak."
"Berisik berisik berisik!"
"Gue tetesin betadine ke mulut lo nyahok!" Zelo berkata ribut, "Asin-asin gitu anyink!" lalu membuatku tersenyum karna ucapannya.
Kami sama-sama panik. Dia dengan ekspresi khawatirnya yang begitu kentara dan aku dengan sikap tengilku yang memang mendarah daging.
Aku menggeleng, dia berlutut di depanku sambil terus menekan kapas pada lututku yang luka. "Emang lo pernah nyicip betadine apa?" tanyaku penasaran. "Yaiyalah, mana asin bat sih gila," jawabnya.
Aku terkekeh, tidak heran, tokohnya memang penuh dengan kejutan ajaib.
"Ini bekas luka apaan? Lo pasti sering nangkep capung dulunya trus nyusruk kan?"
Aku menempeleng kepalanya pelan dengan dia yang pura-pura kesakitan. "Geger otak gue abis ini."
Lalu aku tertawa.
"Jawab dulu gih, ini kenapa bisa ada luka kek gini?"
Aku melirik bekas luka itu sekilas, "oh itu bekas dipukul ban dalem dulu."
Jika kalian kira aku adalah tipe tokoh cewek dalam novel yang sungkan untuk berbagi rahasia, maka kalian salah. Oleh karna itu, kalian harus membaca lebih lanjut untuk mengenalku. Terutama, Zelo.
Zelo bangkit dari posisi dia sebelumnya yang berjongkok. Ia duduk di sampingku di pinggiran lapangan lalu kami sama-sama memperhatikan orang-orang berlalu-lalang.
"Dipukul siapa?" entah ini perasaanku saja atau bukan, tapi nada suara Zelo melunak saat pertanyaan itu dia tanyakan. Aku menggeleng, "wajarlah, kebanyakan nangis jadi dipukul. Biasa."
Dia diam. Aku menoleh menatapnya.
"Gak percaya?"
Dia mengangguk.
"Lo pernah denger kalo beberapa orang tua mendidik anaknya keras supaya anak itu bisa tahan banting hadepin dunia yang sesungguhnya nanti pas udah dewasa."
"Pake titik koma ngomongnya Ran, pelan."
Aku menghembuskan napas pelan, lalu kulirik Zelo berkali-kali hingga aku muak sendiri. "Dulu gue nakal, makanya dididik pake cara gini. Gak masalah, ini..." aku menelan ludah susah payah, "karna didikan kek gini, akhirnya yang ngebentuk gue buat jadi cewek gak gampang nangis kek sekarang."
Ada jeda lama kami terdiam selepas aku mengucapkan kalimat panjang itu. Dalam hati, aku mengutuk habis-habisan bahwa Zelo mungkin telah ilfil atas didikan yang aku terima. Pernah aku membaca di salah satu tulisan orang di majalah, bahwa beberapa laki-laki tidak menyukai perempuan yang tangguh. Beberapa dari mereka lebih suka pada perempuan lemah lembut yang akan selalu menggantungkan harapannya pada sosok laki-laki.
Aku berusaha mencerna semua informasi itu di dalam isi kepala yang begitu sulit untuk dibahasakan ini. Zelo juga diam sedari tadi yang membuat semua asumsiku soal informasi tadi, begitu terlihat meyakinkan.
"Gue balik kelas dulu," kataku lalu bangkit. Zelo tetap diam saja. Entah apa yang ia pikirkan tapi ia sama sekali tidak menghentikanku untuk pergi.
Ada apa?
Meski aku penasaran, aku berusaha meredam keinginan untuk tahu lebih lanjut. Zelo tokoh dengan segala kejutannya, tidak menutup kemungkinan dia juga adalah tokoh dengan sejuta rahasianya.
***
Bekerja di tokoh Koko dengan switer rajut yang dibelikan Ibu di pasar minggu lalu membuatku jauh lebih bebas. Seragam sekolah yang aku pakai tertutupi, jadi, orang-orang tidak akan menatap heran lagi dengan pandangan, itu anak sma kerja?
Aku tidak bisa membuat Koko terlibat masalah mempekerjakan anak di bawah umur. Tidak juga bisa berhenti karena aku yang tidak suka diam saja di rumah. Lumayan bukan, bisa belajar untuk menghasilkan uang sendiri?
Saat aku mengepak beberapa helai kain bekas melap guci tua tadi di depan toko yang menghadap langsung ke jalan raya, entah ini perasaanku saja atau tidak, tapi aku melihat Zelo dari kejauhan.
Pelan namun pasti, motornya melaju melewatiku yang berdiri di depan toko. Aku diam, tidak tahu harus berbuat apa.
Zelo bahkan melewatiku begitu saja. Tanpa pernah ia menoleh sedikit pun padaku. Menghela napas sekali lagi, aku tersenyum getir.
"Lagi lagi Zelo, lo bikin gue selalu punya alesan buat gak berharap apapun sama lo."
Sebab, Zelo tidak sendiri.
Dia bersama dengan seseorang yang memeluk pinggangnya erat dari belakang. Seorang siswi sma yang seragamnya berbeda dengan kami. Orang yang sama, yang pernah menghentikan langkahku memberikan surat terakhir untuk Zelo pada hari itu.
Zelo Fajar Genova, harus kuakui kamu memang handal dalam memberi harapan lalu mematahkannya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZELO
RandomKuucapkan selamat datang di dunianya, tapi jangan berani menetap bersamanya. Dia milikku, maka dari itu aku menuliskannya. Dari; Tinns Sky ©Maret2020