Mungkin, memiliki seseorang yang akan menepuk pundakmu ketika kau menangis karena patah hati, adalah sesuatu yang sungguh hangat bukan?
Itu adalah hal-hal sederhana yang selalu dipikirkan isi kepalaku yang tidak berani menantang dunia ini. Hal-hal sederhana yang sepertinya beberapa orang sulit untuk merasakannya, termasuk aku.
Jika boleh kukatakan ini, aku hidup dalam lingkungan tetangga yang bisa dibilang hidup di era modern rasa di jaman perbudakan. Kenapa? Mungkin beberapa orang juga mengalami hal yang serupa? Ikut campur bahkan saat itu bukan urusan sendiri. Ikut campur bahkan saat pemahaman masih terlalu dangkal untuk berdebat.
Seperti saat ini.
"Emangnya punya biaya buat nerusin kuliah? Bapaknya aja gak ada."
Aku menggeleng, ibuku tersenyum melihatku dari ambang pagar rumah. Lengkap dengan dua orang Ibu-ibu tetangga yang entah punya tata krama atau tidak tapi yang aku yakin, mereka tidak punya otak.
Bagaimana bisa menyindir seseorang tepat di depan wajahnya? Apa mereka tidak berpikir beberapa luka bahkan untuk dibalaskan tidak akan mendapatkan hukum karma?
Aku diam. Ibu tersenyum.
Aku yang baru saja pulang dari bekerja sore ini dengan hati yang begitu berantakan, terpaksa luluh sekejap ketika senyuman ibuku adalah tanda bahwa aku harus baik-baik saja.
Melangkah dengan mantap, aku melewati Ibu-ibu tadi. Tapi baru saja aku berhasil melewati pagar, mereka berhasil menghentikanku.
"Darimana Nak Rania? Abis pacaran di alun-alun ya?" yang aku tahu, saat aku menoleh, Ibu-ibu dengan gincu semerah darah ayam itu menatap aku dan ibuku bergantian dengan jijik. Entah apa yang meracuni kepalanya aku tidak tahu. Yang aku tahu sejak awal, dia memang begitu membenci ibuku dan gemar mengurusi urusan orang lain di sekitar rumah kami.
Serius, aku benci dengan orang-orang seperti mereka.
Mereka membuatku mengingat semua masa lalu dan membuat semua amarahku akan sikap Tuhan selalu jadi kambing hitam. Tidak lagi sepertinya, senyuman Ibuku tidak mampu menghentikanku.
Si Ibu gincu merah itu masih saja memasang wajah pongah dengan tatapan jijiknya. Lalu yang disebelahnya, terkesan lebih kalem. Ia seperti budak yang menuruti kemauan ratu tanpa bisa membantah.
Sebagai balasannya, aku memasang wajah poker. Persetan dengan dia yang akan berpikir aku anak kurang ajar atau bukan. Karena, aku juga berpikir sesuatu tentang si ibu ini. Apakah dia tidak pernah berpikir bagaimana jadinya jika anaknya berada di posisiku? Tapi rupa-rupanya untuk apa dia berpikir? Gaji suaminya yang ia agung-agungkan di sebuah perusahaan itu justru membutakan semua pikirannya. Bahkan, ketika ibuku membeli sebuah kulkas baru, dia yang kedinginan.
"Lalu?" balasku berusaha formal. Maklum, Si Gincu Merah sudah bau tanah.
Aku menghela napas. Lalu tersenyum sekenanya, "iya nih, Bu. Saya abis pacaran di alun-alun. Tapi tenang, pacar saya itu masih seumuran kok. Bukan om-om macam..." Ibu mengodeku, tapi kepalaku meneleng ke kanan, "Adel."
Bisa kalian bayangkan bagaimana wajah Si Gincu Merah saat aku menyebutkan nama anak perempuannya? Pucat. Jangan salah, ini memang mirip adegan sinetron di mana dia berniat menamparku. Tapi sayangnya, tidak ada tangan yang menghalangi seperti di sinetron-sinetron bak pahlawan kepagian, aku berhasil ditamparnya hingga sudut bibirku berdarah karena cincin emas kw-nya yang dipasangi batu kali.
"Dasar bocah kurang ajar! Kamu berani fitnah-fitnah anak saya ha?!"
Lalu seperti sinetron, ibuku menghampiriku dan berusaha meminta maaf. Tapi sayangnya adegan sinetron harus di-cut sampai di bagian itu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZELO
RandomKuucapkan selamat datang di dunianya, tapi jangan berani menetap bersamanya. Dia milikku, maka dari itu aku menuliskannya. Dari; Tinns Sky ©Maret2020