Bab 21

120K 10.7K 1K
                                    

Selamat Membaca











Saat Dewa sudah tertidur, Gladis berjalan ke arah sofa dan mengambil tasnya yang ada di sana. Gadis itu memandang ke arah Dewa sekali lagi, sebelum berjalan keluar ruangan.

Baru saja menutup pintu, Gladis dikejutkan dengan keberadaan David yang berdiri sambil menyandar di dinding di samping pintu ruangan Dewa.

“David, kamu udah lama?”

Lelaki itu berdiri tegak dan mengangguk.

Seketika, Gladis tidak bisa menghindari suasana canggung di antara mereka. “Kenapa nggak masuk aja?”

“Dan biarin kamu lihat betapa kacaunya keluargaku lagi?”

Gladis menggeleng. “Bukan itu maksudnya. Aku-”

David menggeleng. “Nggak apa-apa. Lagi pula, kamu udah lihat dan dengar semuanya.” Lelaki itu memandang ke arah belakang Gladis. “Taman yang ada di sana, bagus. Mau duduk sebentar di sana?”

Gladis mengerti maksud lelaki itu. David ingin mengajaknya bicara. Dia mengangguk dan keduanya berjalan bersisihan ke taman yang di maksud David tadi.

Mereka tengah duduk di bawah pohon rindang sambil memegang minuman dingin yang tadi David beli saat melewati mesin minuman tadi.

“Tamannya bagus. Kamu tahu dari mana?” Gladis berusaha mencairkan suasana canggung di antara mereka.

“Bunda chek up di sini satu bulan sekali.”

Gladis hanya manggut-manggut mengerti, lalu setelahnya keduanya hanya diam. Sampai akhirnya beberapa menit kemudian, David menoleh ke arah Gladis.

“Aku malu, Gladisa.”

Kening Gladis mengernyit. “Malu?” ulangnya. “Malu karena apa?”

“Hampir satu minggu kita nggak ketemu. Tapi, sekalinya ketemu, kamu malah lihat kejadian memalukan tadi,” ujarnya sambil tersenyum miris.

Gladis diam. Dua lelaki itu mengatakan hal yang serupa. Malu karena Gladis akhirnya mengetahui masalah mereka.

“Ayah aku kecelakaan, dan dia butuh donor ginjal secepatnya. Kamu tahu kan, nggak mudah buat memperoleh pendonor, sementara Ayahku benar-benar butuh itu untuk hidup.”

Gladis diam menunggu kelanjutan lelaki itu.

“Sampai akhirnya, aku sama Bunda datang ke rumah Papa, dia kakak dari Ayahku. Kami bilang apa yang terjadi, dan salahku yang waktu itu meminta ginjal Papa. Lalu, Papa yang sangat menyayangi Ayah, langsung mengiyakan tanpa berpikir panjang tentang kesehatannya.” David mendongakkan kepalanya sebentar, mencoba menghalau air mata yang hendak turun.

“Dewa melarang keras. Karena saat itu Papa juga baru sembuh dari sakitnya. Tapi, Papa tetap pada pendiriannya. Sampai satu minggu kemudian, operasi dilakukan. Dan hasilnya seperti sekarang. Aku kehilangan keduanya. Dewa marah. Dia marah besar. Dia melampiaskan semuanya ke aku dan Bunda. Dia menyalahkan kami. Saat itu, Bunda terlalu terkejut dengan berita kematian Ayah dan Papa, Bunda kena serangan jantung, dan jadi duduk di kursi roda seperti sekarang. Hidupku hancur, Gladisa. Aku nggak punya pegangan lagi saat itu. Aku kehilangan Ayahku. Aku kehilangan Papa. Dan aku kehilangan Dewa.” Lelaki itu tersenyum getir.

“Aku menyalahkan diriku bahkan sampai saat ini. Ketika melihat Dewa selalu memberikan tatapan penuh kebencian kepada aku dan Bunda, aku selalu merasa itu salahku. Aku penyebabnya.”

Tangan Gladis singgah di bahu David, menepuknya pelan. “Bukan salah kamu, Vid. Aku nggak tahu gimana perasaan kamu saat itu. Tapi, Tuhan selalu punya cara untuk menguji umatnya.”

RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang